Pemberdayaan Ekonomi Perempuan,  Simalakama Kaum Wanita?

Opini887 Views

 

 

Oleh : Novi Puji Lestari, Mahasiswi

________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Kondisi ekonomi yang sulit dan kenaikan bahan pangan yang semakin pelik membuat para ibu menjerit dengan keadaannya saat ini. Alasan “Mengubah Nasib” seakan menjadi magnet yang menarik para ibu untuk keluar rumah dan mencari penghasilan demi memenuhi kebutuhan. Hal tersebut membuat para ibu mau tak mau meninggalkan anak dan keluarganya.

Memang tak bisa dipungkiri, Kemiskinan di Negeri ini masih menjadi problematika lumrah yang belum bisa teratasi. Lebih dari itu, Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) memproyeksikan bahwa berdasarkan data BPS per September 2021, tingkat kemiskinan pada 2022 berpotensi melonjak dari 9,71% (26,50 juta jiwa) menjadi 10,81% (29,3 juta jiwa).

Maka, atas dasar itulah program pemberdayaan ekonomi perempuan terus diaruskan.

Baru-baru ini Menteri Sosial (Mensos) Republik Indonesia, Tri Rismaharini menyelenggarakan sebuah program kewirausahaan dengan melibatkan 1.500 ibu keluarga penerima manfaat (KPM) Program Keluarga Harapan (PKH) untuk berani mengubah nasib lewat berwirausaha. (kompas.com, 26 Juni 2022).

Hal tersebut disampaikan Risma dalam agenda Sosialisasi Penguatan Perekonomian Subsisten sebagai Upaya Perekenomian Masyarakat di Pendopo Kabupaten Malang, Jawa Timur (Jatim), Sabtu (25/6/2022).

“Ibu-ibu (KPM PKH) juga pasti bisa (seperti itu). Namun, mereka harus sanggup berkerja keras,” tuturnya.

Risma mengatakan bahwa PE digagas untuk memperbaiki nasib warga yang kurang mampu. Melalui program pemberdayaan UMKM, para ibu diajarkan dalam hal produksi, pengemasan, perizinan hingga pemasaran. Walhasil, banyak dari para pelaku UMKM yang berhasil meningkatkan penghasilan dengan memasarkan produk hingga ke luar negeri bahkan sampai merekrut banyak pekerja. (kompasjatim.com Senin, 27 Jun 2022).

Melihat fakta diatas, upaya yang dilakukan oleh Menteri Sosial memang patut diacungi jempol tersebab banyak para ibu yang berhasil memperbaiki kondisi perekonomiannya. Namun, jika kita telaah lebih dalam, program yang dicanangkan untuk para ibu ini tak mampu menjadi solusi yang solutif untuk memperbaiki permasalah utama kehidupan dalam keluarga.

Selama beberapa tahun ke belakang, perempuan memang digadang-gadang sebagai pahlawan ekonomi karena kontribusinya yang besar dalam menghasilkan pundi-pundi rupiah. Namun, di sisi lain peran perempuan sebagai ibu dan pendidik keluarga menjadi rumpang dan tak maksimal karena waktu yang terus dikerahkan untuk bekerja. Padahal peran ibu dalam membangun kesejahteraan dalam keluarga serta kualitas generasi mendatang sangat dibutuhkan. Perannya tak bisa tergantikan sekalipun oleh Sang ayah.

Fakta di atas menunjukan bahwa kesejahteraan keluarga terutama kaum perempuan masih menjadi PR besar bangsa dimana masih banyak Ibu yang kewalahan dalam membagi waktu antara mengurus keluarga sekaligus menjadi tulang punggung keluarga untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.

Dalam program yang dicanangkan ini, Pemberian berbagai bantuan mulai dari pemodalan, pelatihan, hingga pendampingan senantiasa diberikan dengan dalih mendongkrak harkat dan martabat seorang wanita sebagai pahlawan ekonomi keluarga.

Namun, alih-alih mampu menjadi solusi terbaik masalah keluarga di Indonesia, sibuknya sang ibu di luar rumah justru menjadi bumerang bagi dirinya dan keluarganya. Ironisnya, saat para perempuan berkesempatan untuk mencari penghasilan di luar rumah, hal itu sekaligus membuka gerbang permasalahan lainnya bagi mereka seperti terjadinya subordinasi, diskriminasi, kekerasan dan pelecehan seksual yang terus menghantuinya.

Lebih dari itu, program pemberdayaan perempuan juga justru berdampak pada bertambahnya beban perempuan dalam menjalankan perannya sebagai Ibu Rumah Tangga.

Hal ini seakan menjadi eksploitasi peran perempuan karena mereka harus memenuhi kebutuhan keluarga tanpa adanya support dan jaminan keamanan dari negara. Krisis ekonomi yang berulang menjadikan mereka tidak pernah mendapatkan kesejahteraan finansial.

Kurangnya perhatian dan kasih sayang pada sang buah hati menyebabkan dekadensi moral dan kriminalitas makin mewabah, hingga struktur keluarga pun kian goyah. Semua ini tentu kian menambah kesulitan bagi kaum ibu untuk memerankan tugas pentingnya secara optimal.

Belum selesai masalah lost generation pun menghantui di hadapan mata. Angka perceraian pun kian memperpuruk keadaan dari hari ke hari. Berdasarkan Laporan Statistik Indonesia, jumlah kasus perceraian pada 2021 mencapai 447.743 kasus, meningkat 53,50% dibandingkan 2020 yang mencapai 291.677 kasus.

Jika kita lihat berbagai dampak di atas, wajarlah kita bertanya tentang apa yang diinginkan proyek pemberdayaan ekonomi perempuan yang diaruskan secara global? Bukannya menjadi pencabut akar permasalahan ekonomi, proyek ini justru menjadi masalah baru yang dirasakan para ibu.

Inilah fakta yang terjadi di zaman sekuler liberal hari ini. Kaum hawa dibiarkan berjuang sendirian, padahal mereka seharusnya mendapatkan setidaknya tiga jaminan yakni jaminan secara finansial untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, jaminan pendidikan sebagai modal untuk mendidik anak agar menjadi generasi yang berkualitas, serta jaminan keamanan agar proses pendidikan berjalan dengan baik tanpa adanya hambatan dan gangguan. Sayangnya, tiga jaminan ini tidak akan terwujud dalam sistem liberal yang menomor wahidkan keuntungan materi semata.

Bukankah lelaki bertanggung jawab penuh dalam menafkahi kebutuhan hidup keluarganya? Namun sayang seribu sayang, fakta menunjukan bahwa lapangan pekerjaan begitu sulit terjamah para kepala keluarga. Wal hasil mereka tak mampu memenuhi kebutuhan para istri dan anak-anaknya.

Berbeda dengan sistem Islam yang menjamin hak-hak wanita dalam hal peran politisnya sebagai Ibu, anak, istri, dan anggota masyarakat. Islam tak akan memikulkan beban bekerja karena memang itu bukan tugas utama seorang wanita. Islam akan mewajibkan seluruh kepala keluarga untuk berkerja sekaligus memfasilitasi mereka dengan lapangan pekerjaan dan gaji yang layak. Tentunya, dengan pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang terbaik baik berupa kepemilikan umum dan kepemilikan negara tanpa ada campur tangan asing dan aseng didalamnya.

Inilah bukti bahwa Islam mampu menjadi sistem terbaik bagi masyarakat kita. Dengan mengimplementasikan aturan-aturannya, para anggota keluarga terkhusus Sang Ibu mampu menciptakan suasana keluarga yang sejahtera dengan memenuhi hak dan kewajibannya tanpa harus keluar dari fitrahnya sebagai seorang arsitek Peradaban Cemerlang di masa mendatang.[]

Comment