Pembangunan Infrastruktur Antara Kesejahteraan Rakyat Dan Korporat 

Opini1131 Views

 

 

Oleh: Suriani, S.Pd.I, Pemerhati Kebijakan Publik

__________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA –Salah satu persoalan pelik yang hingga kini masih dihadapi negeri ini adalah Utang Luar Negeri (ULN). Terlebih selama Indonesia menjadi salah satu negara yang terpapar virus Sars Cov 2, memberi dampak yang sangat besar terhadap keuangan negara.

ULN Indonesia di bawah kepemimpinan Jokowi-Ma’ruf Amin terus meningkat. Berdasarkan publikasi di Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) KiTa Kementerian Keuangan, utang pemerintah Indonesia per akhir September 2021 bertambah Rp 86 triliun, sehingga total ULN Indonesia mencapai Rp 6.711,52 triliun. (Kontan.co.id, 4/10/2021)

Utang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pun dikabarkan membengkak, akibat sejumlah bandara baru mengalami sepi penumpang. PT Angkasa Pura I selaku pengelola bandara milik BUMN melalui Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo mengatakan bahwa salah satu bandara tersebut adalah bandara baru Yogyakarta (YIA). (KumparanBisnis.com, 05/12/2021)

Bandara YIA diresmikan oleh Presiden Jokowi di tengah masa pandemi, tepatnya pada 28 Agustus 2020. Tentu keputusan untuk membuka bandara baru di masa pandemi adalah keputusan yang kurang tepat. Pasalnya, selama pandemi bandara mengalami penurunan drastis jumlah penumpang sehingga AP I harus menanggung biaya operasional yang cukup besar.

Hal tersebut diperkuat oleh penjelasan Wakil Menteri BUMN yang mengungkapkan beban utang PT Angkasa Pura I (AP I) telah mencapai Rp 35 triliun dan rate loss (kerugian rata-rata) per bulan RP 200 milyar. (KumparanBisnis.com, 04/12/2021)

Sayangnya, meski telah jelas perhitungan atas resiko atas pembangunan infrastruktur saat ini, terlebih recovery APBN selama masa pandemi belum mampu dilakukan oleh negara, tak menyurutkan langkah pemerintah “jor-joran” membangun infrastruktur. Dengan alasan penguatan penyediaan pelayanan dasar serta dukungan atas peningkatan produktivitas melalui infrakstruktur konektivitas dan mobilitas pemerintah terus melanjutkan pembangunannya.

Presiden Jokowi dalam pidatonya pada kegiatan Nota Keuangan dan RUU APBN menjelaskan bahwa pemerintah berencana akan membangun enam bandara baru yakni: Bandara Nabire Baru, Papua, Bandara Siboru, Papua Barat, Bandara Mentawai Baru, Sumatra Barat, Bandara Madina, Sumatra Utara, Bandara Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara dan Bandara Pohuwato, Gorontalo. (GoodNews.id, 21/08/2021)

Logika Pembangunan Gagal Ala Kapitalisme

Sejatinya, orientasi utama dari pembangunan infrastruktur oleh negara adalah untuk kepentingan rakyat sehingga mobilitas dan distribusi hajat hidup masyarakat terpenuhi secara merata.

Namun pemerintah menggunakan logika pembangunan infrastruktur kapitalisme di mana kapitalsime beranggapan bahwa infrastruktur diperlukan untuk menarik daya iklim investasi para investor, mempermudah jalur traspsi impor kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) yang dikuasai oleh investor maupun untuk mengembangkan bisnis dri perusahaan-perusahaan yang dikelola oleh swasta maupun asing.

Sehingga nampak jelas bahwa tujuan dari pembanguna infrastruktur yang dilakukan oleh pemerintah adalah demi menjaga kepentingan investor. Alhasil, kebijakan pemerintah dalam hal ini menunjukkan loyalitas dan ketundukannya kepada korporat dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat.

Sejumlah infrastruktur yang dibangun oleh pemerintah yang selanjutnya akan dikelola oleh swasta atau asing dengan model komersialisasi. Ujung-ujungnya, pemanfaatan oleh rakyat atas infrastruktur tersebut mengharuskannya untuk mengeluarkan sejumlah harga. Dengan kata lain, rakyat harus membayar jika ingin memanfaatkan infrastruktur tersebut. Jadi, alih-alih memberi kemudahan bagi rakyat sebagaimana yang dinyatakan oleh pemerintah, pemungutan harga justru menambah beban biaya rakyat.

Tak hanya rakyat yang mendapatkan dampak buruknya. Negara pun akan mengalami kerugian dari logika pembangunan kapitalisme tersebut dari sisi mekanisme pembiayaan. Pemerintah banyak melakukan divestasi saham proyek infrastruktur pada swasta. Banyak pembangunan tol yang dananya dari utang dan dijual ke swasta untuk menutupi utang BUMN.

PT Waskita Toll Road (WTR) adalah salah satu perusahaan investasi jalan tol terbesar di Indonesia pada bulan April melepas sahamnya sebesar 20% di ruas tol Semarang-Batang dan 34,99% sahamnya di ruas tol Cinere-Serpong ke PT Sarana Multi Infrastruktur. Divestasi juga dilakukan oleh WTR yang melepas 30% sahamnya di ruas tol Medan-Kualanamu kepada Road King Expressway (RKE) milik investor Hong Kong. (TrenAsia.com, Mei 2021)

Terbaru, Angkasa Pura II menyerahkan 49% sahamnya atas Bandara Internasional Kualanamu, Medan kepada GMR Group asal India dan Aeroports de Paris Group (ADP) asal Prancis dengan sistem Build Of Take (BOT) selama 25 tahun. (Kumparan.com, 26/11/2021).

Divestasi yang dilakukan atas sejumlah infrastruktur milik negara tersebut sangat berpotensi merobohkan ketahan pembangunan negara. Jika hal itu berlanjut ke infrastruktur-infrastruktur lainnya, negara akan kehilangan banyak kekayaannya dan investor-investor asing akan meraup keuntungan sebesar-besarnya di negeri ini.

Konsep Islam Dalam Pembangunan

Maka dapat disimpulkan bahwa rencana penyerahan pembangunan dan pengelolaan sejumlah bandara baru hanya akan memberi keuntungan bagi swasta dan asing, bukan menyelamatkan harta negara dan mengutamakan kepentingan rakyat. Kebijakan tersebut hanya akan merugikan negara dan rakyat.

Berbeda dengan sistem Islam, pembangunan infrastruktur diorientasikan pada kepentingan rakyat. Sebab infrastruktur merupakan fasilitas umum yang dibutuhkan oleh semua orang. Seperti halnya air, listrik, bahan bakar dan sebagainya, fasilitas umum seperti jalan raya darat, laut, udara dan sebagainya adalah merupakan infrastruktur yang dibutuhkan semua manusia dan negara wajib untuk menyediakannya.

Penggunaan dari fasilitas umum tersebut dalam Islam dimanfaatkan oleh masyarakat dengan gratis tanpa dipungut biaya apapun oleh negara. Dalam pembangunan infrastruktur, akan diperhatikan terlebih dahulu urgensi pembangunannya, apakah infrastruktur tersebut jika tidak dibangun akan mengakibatkan kerusakan bagi masyarakat atau tidak.

Jika sangat urgen untuk dibangun demi terpenuhinya kemashalatan masyarakat, perlu diperhatikan kembali kemampuan pembiayaannya. Baitul Maal sebagai lembaga keuangan Islam jika memiliki kelebihan anggaran setelah pengalokasian kebutuhan pokok rakyat maka pembangunan akan dilakukan, namun jika anggaran Baitul Maal tidak cukup untuk membiayainya maka pembangunannya menjadi tanggungjawab kaum muslimin. (Syaikh Abdurrahman al-Maliki, Politik Ekonomi Islam)

Dalam pembangunan infrastruktur, negara dalam sistem Islam tidak menjadikan utang luar negeri sebagai sumber perolehan anggaran, terlebih dengan sistem ribawi yang jelas haram dalam Islam. Negara akan memproteksi sejumlah sumber daya alam, seperti minyak, gas, dan tambang. Negara bisa memanfaatkan hasil dari SDA tersebut untuk membiayai pembanguna infrastruktur setelah terpenuhi kebutuhannya rakyat atasnya.

Penguasa dalam negara Islam juga bisa memungut pajak atas rakyat ketika Baitul Maal tidak memiliki kas untuk membiayai infrastruktur yang mendesak dibutuhkan oleh rakyat.

Pungutan pajak itu semata untuk kepentingan pembiayaan sarana dan prasarana vital, sehingga setelah itu selesai, pungutan pajak harus segera dihentikan. Pajak juga hanya diambil dari kaum muslim, laki-laki dan mampu. (Syaikh Abdul Qadim Zallum, Sistem Keuangan Dalam Islam)

Demikianlah Islam dalam mengatur pembangunan sarana dan prasarana, semata demi kepentingan rakyat, bukan demi kepentingan korporat swasta dan asing sebab akan dikelola langsung oleh negara dan tidak diserahkan kepada swasta maupun asing.

Mekanisme tersebut jika diterapkan akan mampu memperkuat ketahanan negara dan pemenuhan kebutuhan masyarakat dapat terpenuhi secara merata dan tepat sasaran.

Salah satu bukti keberhasilan peradaban Islam dalam membangun infrastruktur dengan pesat adalah pembangunan jalan-jalan yang canggih di kota Baghdad, Irak. Jalannya sudah dilapisi aspal pada abad ke 8 M. (DR. Kasim Ajram, The Miracle of Islam Science). Padahal negara-negara Eropa baru membangun jalan beraspal pada abad ke 18 M. Wallahu A’lam.[]

Comment