Pelegalan Penyuka Sesama Jenis Berkedok HAM

Opini849 Views

 

Oleh : Uswatun Khasanah, staff Notaris dan PPAT Kabupaten Brebes

__________

RADARINDONESIANEWS.COM JAKARTA — Kabar yang merisaukan bagi beberapa negara di Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) yang bersiap melegalkan hubungan sesama jenis (LGBT), seperti Singapura. Indonesia juga dengan tegas dan pasti menentang pelegalan tersebut. Munculnya isu LGBT di Indonesia seringkali datang silih berganti.

Beberapa negara di Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) bersiap untuk melegalkan hubungan sesama jenis. Misalnya, Singapura kini bersiap untuk melegalkan hubungan sesama jenis. Jika itu terjadi, mereka akan mengikuti Thailand dan Vietnam yang telah resmi melegalkan pernikahan sesama jenis

Meski demikian, isu LGBT perlu mendapat perhatian karena kekuatan komunitas LGBT dinilai cukup kuat dan solid. Bahkan, soliditas ini dapat mendorong mereka untuk mengekspresikan ide-ide mereka di forum internasional.

Wakil Gubernur Jawa Barat, Uu, menanggapi mengenai isu pelegalan LGBT, dengan alasan bahwa pemerintah Indonesia tidak akan mengeluarkan keputusan atau mengizinkan dekriminalisasi LGBT atau hubungan sesama jenis. Sebab, sangat bertentangan dengan dasar negara, yaitu Pancasila.

“Dalam Pancasila itu kan sila pertama Ketuhanan yang Maha Esa. Sudah jelas, seluruh kebijakan pemerintah tak akan keluar dari Pancasila dan ada sila yang pertama yang maksudnya keimanan dan ketakwaan bagi seorang muslim sudah pada tahu bagaimana hukumnya LGBT. Jadi, saya sangat yakin pemerintah tak akan gegabah membuat keputusan,” ujarnya, dikutip dari laman Tribunews.com, Selasa, 23/08/2022.

Singapura dikenal dengan nilai-nilai konservatifnya, tetapi seruan untuk mencabut UU 377A era kolonial telah berkembang dalam beberapa tahun terakhir. Singapura adalah tempat terakhir di Asia yang didedikasikan untuk hak-hak LGBT, setelah India, Taiwan dan Thailand. Sikap pemerintahan sebelumnya adalah membela 377A, yang melarang seks antar laki-laki, tetapi juga berjanji untuk tidak menegakkan hukum untuk menenangkan kedua belah pihak.

Diharapkan pemerintah Indonesia tidak terpengaruh dengan legalisasi hubungan sesama jenis di beberapa negara Asia Tenggara (ASEAN). Pemerintah juga disarankan bekerja sama dengan organisasi keagamaan untuk memantau perkembangan lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) di tanah air.

Sebelumnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Barat meminta pemerintah menindak tegas perkembangan lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). Hal ini sebagai tanggapan atas rencana kebijakan pemerintah Singapura untuk mencabut larangan LGBT.

Sistem kapitalis sekuler yang saat ini ada di seluruh dunia menjamin kebebasan individu untuk berbicara. Realisasi kebebasan ini ada dua. Pertama, setiap orang bebas mengungkapkan keinginannya, termasuk seksualitasnya. Kedua, setiap orang tidak boleh melanggar kebebasan orang lain. Memang benar bahwa konsep kebebasan ala sekuler menciptakan karakter individualistis dalam masyarakat.

Prinsip kebebasan berbicara juga menekan rasionalitas masyarakat. Mereka dipaksa untuk menafsirkan penyimpangan sebagai “normal”. Kaum pelangi tidak lagi malu untuk mengakui dan mengekspos orientasi seksual mereka yang tidak normal.

Seolah-olah argumen hilang ketika hak asasi manusia menjadi senjata, pemerintah pun berwajah muram, memilih untuk diam dan paling tidak mengkritiknya. Tidak ada langkah tegas untuk mengatasi masalah ini. Bahkan, situasinya semakin buruk. Kaum pelangi terus menggembar-gemborkan konsep mereka kepada seluruh generasi.

Akar masalah melegitimasi penyimpangan terletak pada paradigma sistem. Oleh karena itu, penting untuk mengkritisi hal ini dari sistem saat ini. Kebebasan berkedok hak asasi manusia telah menjadi senjata ampuh untuk menekan penalaran kritis tentang penyimpangan.

Sistem kapitalisme sekuler, ibu dari konsep kebebasan, juga merupakan sesuatu yang harus kita kritik. Selama pikiran bebas tetap ada di hati orang, keadaan tandus akan menyelesaikan masalah ini. Bias seksual juga tidak bisa begitu saja ditempatkan dalam konteks kebebasan pribadi, karena memiliki efek domino dalam ranah interaksi sosial.

Ternyata, petualangan sodomi telah meresapi beberapa generasi. Ibarat penyakit menular, bias orientasi seksual mereka bisa menular ke orang lain. Untuk menjaga kesehatan kehidupan sosial masyarakat, negara berkewajiban melestarikan masyarakat agar interaksi yang terjadi tetap dalam koridor hukum syariah dan tidak dalam kerangka kebebasan.

Sistem kapitalisme sekuler, ibu dari konsep kebebasan, juga merupakan sesuatu yang harus kita kritik. Selama pikiran bebas tetap ada di hati orang, keadaan tandus akan menyelesaikan masalah ini. Bias seksual juga tidak bisa begitu saja ditempatkan dalam konteks kebebasan pribadi, karena memiliki efek domino dalam ranah interaksi sosial.

Negara wajib melakukan pendidikan masif tentang bagaimana menyalurkan naluri ini menurut hukum Syariah. Selain itu, negara berkewajiban melindungi masyarakat dari berbagai informasi dan konten yang mengandung LGBT. Negara harus mengontrol arus informasi di media, karena media saat ini menjadi media yang paling banyak digunakan untuk menunjukkan cara hidup masyarakat pelangi. Kegiatan preventif tersebut harus dibarengi dengan serangkaian sanksi bagi pelanggarnya.[]

Comment