Pelecehan Terhadap Al-Quran, Bukti Ilusi Demokrasi?

Opini634 Views

 

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Telah terjadi kembali pelecehan terhadap kitab suci agama Islam yaitu Al-Quran di dua negara dalam waktu yang hampir berdekatan. Fenomena ini sungguh menciderai kebebasan beragama yang selama ini di kampanyekan serta diagung-agungkan. Peristiwa memalukan ini terjadi di Swedia.

Seperti dilansir AFP, Sabtu (29/8/2020), sekitar 300 orang turun ke jalanan wilayah Malmo, Swedia, dengan aksi kekerasan yang meningkat seiring berlalunya malam, menurut polisi dan media lokal.

Orang-orang itu menghadiri aksi anti-Islam yang masih terkait insiden sehari sebelumnya saat pengunjuk rasa membakar salinan kitab suci Islam tersebut, juru bicara polisi Rickard Lundqvist mengatakan kepada tabloid Swedia Expressen.

Rasmus Paludan, pemimpin partai garis keras anti-imigran Denmark, melakukan perjalanan ke Malmo untuk berbicara dalam aksi anti-Islam itu, yang diadakan pada hari yang sama dengan ibadah sholat Jumat.

Tetapi pihak berwenang mencegah kedatangan Paludan dengan mengumumkan bahwa dia telah dilarang memasuki Swedia selama dua tahun. Dia kemudian ditangkap di dekat Malmo.

“Kami menduga dia akan melakukan pelanggaran hukum di Swedia,” kata Calle Persson, juru bicara polisi di Malmo kepada AFP.

“Ada juga risiko bahwa perilakunya akan menjadi ancaman bagi masyarakat.”

Tetapi para pendukungnya tetap melanjutkan aksi dan tiga orang kemudian ditangkap karena dianggap menghasut kebencian rasial.

Adapun yang terjadi di Norwegia tak kalah menyakitkan lagi, sebagamana di lansir laman REPUBLIKA.CO.ID, Ketegangan memuncak di Ibu kota Norwegia, Oslo ketika seorang pengunjuk rasa anti-Islam merobek-robek halaman-halaman Alquran. Kepolisian Norwegia sampai menembakkan gas air mata untuk memisahkan dua kelompok yang bentrok.

Sedikitnya ada 30 orang yang ditangkap polisi Norwegia. Akibat bentrokan itu, unjuk rasa anti-Islam di Oslo pada Sabtu (29/8) membuat acara itu diakhiri lebih awal dari jadwalnya. Seperti dilansir Deutsche Welle (DW) pada Ahad (30/8), unjuk rasa anti-Islam itu diorganisir kelompok Stop Islamisasi Norwegia (SIAN). Unjuk rasa berlangsung di dekat gedung parlemen Norwegia.

Sementara itu dilaporkan kantor berita DPA ratusan pengunjuk rasa lainnya juga berkumpul dengan meneriakkan tidak ada rasis di jalanan kami. Situasi ini pun memuncak ketika seorang wanita yang merupakan anggota SIAN merobek halaman Alquran dan meludahinya. Wanita itu sebelumnya pernah didakwa kemudian dibebaskan atas ujaran kebencian. Dalam unjuk rasa itu, wanita tersebut mengatakan pada para pengunjuk rasa “lihat sekarang saya akan menodai Alquran,”

Ironisnya, peristiwa ini memperoleh pembelaan dari Perdana Menteri Norwegia, Erna Solberg. Solberg menyebut aksi itu sebagai bentuk kebebasan berpendapat (cnnindonesia.com, 02/09/2020).

Kembali berulangnya berbagai aksi pelecehan terhadap Al-Quran yang sistematis dilakukan dengan dukungan politisi di Swedia dan Norwegia. Hal ini membuktikan bahwa islamophohia adalah penyakit sistematis masyarakat sekuler.

Adapun, berbagai pelecehan yang terjadi terhadap segala sesuatu yang berbau Islam merupakan produk islamophohia yang terus-menerus dikampanyekan para penguasa Barat untuk membenarkan tindakan mereka. Termasuk untuk mendapatkan legitimasi dukungan dari rakyat mereka. Tidak mengherankan, kebencian mereka terhadap umat muslim memang telah dipelihara sejak kekalahan mereka di Perang Salib pada masa lampau. Serta dendam terhadap berbagai futuhat yang dilakukan Khilafah Islamiyah di benua Afrika hingga Eropa.

Dan, semua fenomena pelecehan itu membuktikan bahwa nilai-nilai demokrasi, pluralisme, dan toleransi hanyalah omong kosong belaka. Hanya sebatas nilai-nilai yang dipaksakan kepada umat muslim saja, namun tidak untuk mereka.

Meski, negara barat menganggap tindakan pelecehan itu adalah melanggar hukum, namun munculnya aksi sejenis ini menggambarkan kegagalan sistematik untuk menjamin kebebasan dan keadilan beragama.

Adapun Islam, telah sejak lama bisa mempraktikan toleransi. Dimulai sejak kekuasaan Daulah Islamiyah meluas ke Jazirah Arab, pafa masa Rasulallah SAW. Beliau memberikan perlindungan atas jiwa, agama dan harta penduduk Ailah, Jarba’, Adzrah dan Maqna yang mayoritas penduduknya beragama Kristen. Nabi saw. juga memberikan perlindungan atas harta, jiwa dan agama penduduk Khaibar yang mayoritasnya beragama Yahudi.

Beliau juga memberikan perlindungan kepada penduduk Juhainah, Bani Dhamrah, Asyja’, Najran, Muzainah, Aslam, Juza’ah, Jidzam, Qadla’ah, Jarsy, orang-orang Kristen yang ada di Bahrain, Bani Mudrik, Ri’asy dan masih banyak lagi.

Praktik ini menunjukkan bahwa Nabi saw toleran terhadap orang-orang kafir, dan tidak memperlakukan mereka semena-mena.

Setelah Nabi Muhammad saw wafat, tugas kenegaraan dan pengaturan urusan rakyat dilanjutkan oleh para khalifah. Kekuasaan Islam pun meluas hingga mencakup hampir 2/3 dunia. Kekuasaan Islam yang membentang mulai dari Jazirah Arab, Jazirah Syam, Afrika, Hindia, Balkan, dan Asia Tengah itu tidak mendorong para khalifah melakukan tindakan-tindakan intoleran terhadap orang-orang kafir.

Fakta menunjukkan, penerapan syariah Islam saat itu berhasil menciptakan keadilan, kesetaraan dan rasa aman bagi seluruh warga negara, baik Muslim maupun kafir. Dalam bukunya, Holy War, Karen Amstrong menggambarkan saat-saat penyerahan kunci Baitul Maqdis kepada Khalifah Umar bin al-Khathathab ra.,

“Pada tahun 637 M, Umar bin Khaththab memasuki Yerusalem dengan dikawal oleh Uskup Yunani Sofronius. Sang Khalifah minta agar dibawa segera ke Haram asy-Syarif. Di sana ia berlutut berdoa di tempat Nabi Muhammad saw. melakukan perjalanan malamnya.

Sang Uskup memandang Umar penuh dengan ketakutan. Ia berpikir, ini adalah hari penaklukan yang akan dipenuhi oleh kengerian yang pernah diramalkan oleh Nabi Daniel. Pastilah, Umar ra. adalah sang Anti Kristus yang akan melakukan pembantian dan menandai datangnya Hari Kiamat. Namun, kekhawatiran Sofronius sama sekali tidak terbukti.”

Setelah itu penduduk Palestina hidup damai, tenteram. Tidak ada permusuhan dan pertikaian meskipun mereka menganut tiga agama besar yang berbeda, Islam, Kristen dan Yahudi.

Begitulah Islam ketika diterapkan menjadi landasan peraturan sebuah negara, akan menjamin lahirnya masyarakat yang mampu menjaga kemurnian ajaran Islam, namun tetap bisa menjaga harmoni antar individu umat beragama. Wallohua’lam bishowab.[]

Comment