RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Manusia dalam kodratnya membawa sifat – sifat yang kompleks, inherenitas seperti dorongan hasrat, perasaan mencintai dan agresi merupakan salah satu watak yang sudah melekat didalam kerak alam bawah sadar. Ia adalah fondasi insting, yakni naluri untuk bertahan hidup. Dengan itu semua selain rasionalitas, peradaban dimungkinkan berkembang. Akan tetapi naluri – naluri destruktif manusia selalu menyertai.
Di sepanjang sejarah, dua entitas cinta dan benci (kekerasan) selalu mewarnai drama kehidupan. Kisah mitologi Yunani kuno Oedipus Rex yang diadopsi Sigmund Freud sebagai Oedipus komplexs dan Electra komplexs yang dipaparkan dalam psikoanalisa adalah representasi dari sifat paradoks dan ambigu manusia, ia mencintai tapi sekaligus juga berpotensi bertindak kasar (benci).
Apa yang digagas oleh psikoanalisa tak lain merupakan upaya untuk mengurai dan memetakan jiwa manusia yang kompleks tersebut agar pertentangan batin, cinta dan benci dapat ditilik akarnya, karena kompleksitas dorongan cinta memicu banyak peperangan atau kekerasan, baik di masa lalu ataupun di masa sekarang.
Ada kisah cinta kuno yang mengakibatkan destruksi massif divisualisasikan melalui film Troya. Cinta ini melibatkan anak dan ratu raja dari dua kerajaan yang berbeda, Troya dan Sparta, sebab dari cinta oleh penculikan ratu Sparta inilah yang menyebabkan perang besar dua kerajaan kuno dimasa lalu.
Kisah cinta senada juga terjadi di tanah Jawa 1357 masehi, saat itu Raja Majapahit Hayam Wuruk “takluk” pada kecantikan Dyah Pitaloka Citraresmi dari kerajaan Sunda.
Namun, rencana pernikahan ini gagal akibat dari “ambisi penaklukan” panglima Gajah Mada yang menyerang rombongan Prabu Linggabuana dari kerajaan Sunda. Perang ini berakhir dengan kematian Dyah Pitaloka yang bunuh diri.
Kisah – kisah tragis itu memberi gambaran pada segenap kesadaran manusia saat ini. Bagaimana perasaan cinta itu begitu kompleks diikuti banyak printilan, dampak dan akibat terutama tanggung jawab. Bahwa mencintai bukan hal sederhana dengan dimensi dan tingkat kerumitannya. Meskipun begitu, ia seharusnya dilengkapi oleh sifat dan sikap welas asih atau empati.
Dengan adanya rasa empatik atau perasaan welas asih ini, batin mampu merasakan penderitaan atau sesuatu yang bergejolak didalam diri yang lain. Dorongan merasakan atas sesuatu dari yang liyan ini merujuk pada gejala perkembangan jiwa manusia yang unggul atau super. Mirip dalam Ubermenchnya Nietzsche, yang melibatkan kreativitas, kemandirian, dan empati atau welas asih.
Cara merasakan hal lain ini juga dapat ditemui dalam altruisme psikologis, perilaku yang mementingkan orang lain. Bahkan, didalam ajaran Buddha sikap welas asih yang disebut karuna merupakan salah satu sifat luhur yang berkeinginan untuk menghilangkan atau menjauhkan penderitaan dari semua makhluk.
Pameran ini salah satu respon altruistik terhadap kondisi kemanusiaan saat ini untuk kembali mengutamakan dan menumbuhkan rasa welas asih yang direpresentasikan melalui karya seni grafis olek kelompok 7.
Perupa :
Ardian 30″ l Gemar Aridewo l Mayek Prayitno l Puji Bagio l Ruth Adelyne l Sari Koeswoyo l Taufik Rachman
Dibuka oleh : Vicky Sianipar
Penulis : Mayek Prayitno
Opening : Sabtu, 22 Februari 2025
Pukul : 17:00 – selesai
Tempat : Ruang Garasi, jl. Gandaria lV, No.2, Keramat Pela, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.[]
Comment