Palestina Semakin Membara, Sejarah Kelam Peradaban Islam

Opini80 Views

 

Penulis: Ns. Sarah Ainun, S.Kep., M.Si | Pegiat Literasi

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Apa kabar Palestina? apa kabar Gaza? Bagaimana keadaan Masjidil Aqsa atau Baitul Maqdis, yang terletak di bumi Syam, yang kini dikenal sebagai Palestina, mencerminkan kondisi umat Islam—sejauh mana mereka bebas atau terbelenggu, bersatu atau terpecah, kuat atau lemah, serta merdeka atau terjajah, baik secara fisik maupun pemikiran, di panggung dunia.

Palestina adalah salah satu tempat paling sakral dalam ajaran dan sejarah peradaban Islam, Kristen, dan Yahudi. Sebagai kiblat pertama umat Islam. Namun, sepanjang sejarah, tempat suci ini sering kali menjadi pusat perebutan kekuasaan di antara berbagai bangsa dan agama, karena Bumi Syam dianggap sebagai “jantung dunia.”

Hal ini disebabkan bukan hanya oleh letaknya yang strategis—menghubungkan tiga benua (Eropa, Afrika, dan Asia)—tetapi juga oleh nilai spiritual dan historisnya yang mendalam.

Sejarah mencatat bahwa siapa pun yang menguasai wilayah Palestina, pusat Bumi Syam, akan memiliki kendali dan pengaruh besar dalam memimpin dunia, baik dalam aspek politik, ekonomi, budaya, maupun ideologi. Karena itu, wilayah ini memiliki sejarah panjang yang dipenuhi oleh berbagai peradaban besar yang berusaha menguasainya, mulai dari bangsa Romawi, Yahudi, hingga Islam.

Setelah peradaban Islam dibawah kekuasaan Kekhalifahan Turki Utsmaniyah diruntuhkan pada tahun 1924 oleh Inggris, Prancis, dan sekutu-sekutunya sebagai negara pemenang Perang Dunia, Bumi Syam menjadi rampasan perang yang dipecah menjadi negara-negara kecil, seperti Lebanon, Suriah, Yordania, Palestina, Sinai di Mesir, Tepi Barat, dan Gaza, termasuk wilayah yang saat ini diduduki dan berada di bawah kendali entitas Israel.

Peristiwa ini menjadikan kondisi umat Islam di dunia saat ini Sebagaimana digambarkan oleh Rasulullah Saw, beliau bersabda; “Jika penduduk Syam telah rusak, maka tidak ada kebaikan pada kalian. (karena itu), akan ada selalu dari kalangan umatku kelompok yang mendapatkan pertolongan sampai hari kiamat tiba orang-orang ini tidak akan dirugikan oleh orang-orang yang telah meninggalkan mereka” (HR. Tirmidzi).

Terpecahnya Bumi Syam menjadi awal perpecahan kaum Muslimin di seluruh dunia, yang melemahkan mereka dan menyebabkan runtuhnya peradaban Islam yang pernah menaungi dua pertiga dunia dengan ideologi Islam sebagai landasan negara.

Di bawah ideologi ini, sistem pemerintahan, politik, hukum, ekonomi, dan sosial didasarkan pada prinsip dan nilai-nilai Syariah Islam, yang menjadikan kaum Muslimin kuat, unggul di segala bidang kehidupan, dan hidup dalam kemuliaan.

Setelah sistem pemerintahan Islam dihapuskan, peradaban ini kemudian digantikan oleh peradaban Barat yang berideologikan sekuler kapitalisme, yang kini mendominasi hampir seluruh dunia, termasuk negeri-negeri kaum muslim.

Ideologi ini menekankan pemisahan agama dari urusan negara dan kebebasan individu, terutama dalam hal ekonomi dan politik. Nilai-nilai sekularisme dan kapitalisme perlahan menggantikan banyak aspek yang sebelumnya diatur dengan prinsip-prinsip Islam.

Penggantian peradaban Islam oleh peradaban Barat dengan ideologi sekuler kapitalisme membawa dampak besar terhadap negeri-negeri Muslim. Sistem hukum, ekonomi, dan sosial yang sebelumnya berbasis Islam mulai bergeser menuju sistem yang disusun sesuai nilai-nilai Barat.

Proses ini tidak hanya menyebabkan perpecahan di antara kaum muslim, namun juga menjadikan negeri-negeri kaum muslim lemah, terpecah dan terjajah, baik secara politik, budaya, maupun ideologi.

Bahkan, kaum Muslim di banyak negara menghadapi berbagai tantangan, seperti krisis identitas karena nilai-nilai Barat sering kali bertentangan dengan ajaran Islam.

Ketimpangan ekonomi yang tajam, kemiskinan yang meluas, ketidakadilan sosial, meningkatnya kriminalitas, maraknya kemaksiatan, serta kerusakan generasi yang semakin nyata menjadi masalah umum di banyak negara Muslim yang menerapkan sistem sekuler kapitalisme, sehingga mereka hidup terpuruk dalam kesengsaraan dan kehinaan.

Selain itu, berbagai konflik dan peperangan di negara-negara Muslim, terutama di Timur Tengah, terus berlangsung, baik antara sesama negeri Muslim maupun dengan negara-negara Barat, melibatkan kekuatan-kekuatan besar yang memiliki kepentingan ekonomi dan geopolitik.

Hal ini terlihat jelas dalam situasi saat ini di Palestina, khususnya di Gaza, di mana terjadi pembantaian dan genosida terhadap saudara-saudara Muslim Palestina yang dilakukan oleh entitas Zionis Israel dengan dukungan negara-negara seperti AS, Inggris, Prancis, Jerman, dan negara Barat lainnya, yang secara terang-terangan disaksikan oleh miliaran mata di dunia.

Meskipun tingkat kebiadaban yang di luar nalar terlihat dari tindakan penjajah yang membatai, membakar hidup-hidup rakyat Palestina yang lemah dan tak berdaya. Setiap hari, puluhan bahkan ratusan korban—anak-anak, wanita, dan orang tua syahid dengan kondisi mengenaskan, tanpa kepala atau anggota tubuh lainnya akibat serangan darat dan udara yang dilancarkan oleh Zionis Israel, atau syahid dalam kondisi kelaparan yang dibuat atau disengaja akibat blokadi yang diberlakukan Zionis penjajah.

Namun, mirisnya, respons pemimpin negeri-negeri Muslim hanya diam dan mengecam sebagai retorika serta lip service politik, sementara rakyat Palestina ditinggalkan sendirian untuk berjuang menanggung amanah mempertahankan tanah kharaj, yang merupakan tanah kaum Muslimin.

Bahkan, tidak sedikit pemimpin negeri Muslim yang berkhianat terhadap perjuangan rakyat Palestina dengan mengikat perjanjian kerja sama diplomasi dengan penjajah Zionis Israel, baik secara terang-terangan maupun dalam diam. Sikap dan kondisi umat Muslim hari ini mencerminkan salah satu sejarah paling kelam dalam peradaban Islam.

Untuk Itu, umat harus segera membangun kesadaran dan bergerak untuk menyatukan kembali negeri-negeri Muslim yang telah terpecah belah dengan menegakkan kembali negara yang menjadi payung pelindung bagi umat Islam.

Payung itu adalah negara Islam, yang tidak akan memiliki hambatan apapun untuk mengirimkan tentara Muslim dalam melaksanakan kewajiban jihad guna membebaskan negeri-negeri Muslim dari penjajahan. Sebagaimana firman Allah SWT

Dan bunuhlah mereka (yang memerangimu) di mana pun kamu jumpai dan usirlah mereka dari tempat mereka mengusirmu. Padahal, fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan. Lalu janganlah kamu perangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangimu di tempat itu. Jika mereka memerangimu, maka perangilah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir. Namun, jika mereka berhenti (memusuhimu), sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Perangilah mereka itu sampai tidak ada lagi fitnah dan agama (ketaatan) hanya bagi Allah semata. Jika mereka berhenti (melakukan fitnah), tidak ada (lagi) permusuhan, kecuali terhadap orang-orang zalim” (QS. Al-Baqarah: 191-193).

Sebagaimana dicontohkan Rasulullah SAW dan para sahabat, setelah Beliau berhasil membebaskan Masjidil Haram di Makkah dari kekuasaan kafir Quraisy, segera mengarahkan pandangannya ke arah pembebasan Masjidil Aqsa. Masjidil Haram, yang juga disebut Ardul Haram (tanah yang disucikan oleh Allah SWT), merupakan masjid pertama yang didirikan di muka bumi ini.

Namun, Rasulullah SAW juga sangat memahami pentingnya Masjidil Aqsa, disebut oleh Allah Swt dalam Al-Qur’an sebagai Ardhul Mubarokah (bumi yang diberkahi Allah), masjid kedua dalam sejarah yang berdiri di muka bumi, dan merencanakan pembebasannya.

Oleh karena itu, setelah pembebasan Makkah, Rasulullah Saw sebelum beliau wafat secara intensif mendidik dan berdakwah kepada para sahabat dan umat Islam tentang pentingnya Masjidil Aqsa.

Meskipun beliau tidak memimpin dan menyaksikan langsung pembebasan Masjidil Aqsa, beliau mewariskan peta perjuangan dan telah meletakkan dasar-dasar perjuangan yang kuat kepada para sahabat dan bagi umat Islam khusunya untuk melanjutkan misi besar ini.

Arahan ini bukan hanya berupa strategi militer, tetapi juga melibatkan pendidikan spiritual dan kesadaran umat Islam akan nilai penting Masjidil Aqsa dalam agama dan sejarah mereka.

Rasulullah SAW menanamkan dalam hati para sahabat bahwa pembebasan Masjidil Aqsa dari kekuasaan Romawi, yang saat itu beragama Nasrani, adalah bagian dari tugas mulia dan merupakan amal yang sangat luar biasa besar pahalanya bagi mereka sebagai penjaga agama dan kebenaran.

Dakwah beliau bukan hanya tentang menaklukkan wilayah secara fisik, tetapi juga tentang menyatukan umat Islam di bawah satu tujuan besar: menjaga dan memuliakan tempat-tempat suci yang telah Allah SWT amanatkan kepada mereka, serta menyebarkan risalah Islam ke seluruh dunia sebagai agama yang membawa kedamaian, keselamatan, dan menjadi rahmat bagi seluruh alam.

Setelah wafatnya Rasulullah SAW, kekhalifahan Islam berkembang pesat di bawah kepemimpinan para sahabat yang terdidik dan meneruskan perjuangan beliau.

Salah satu tonggak sejarah penting terjadi pada masa Khalifah Umar bin Khattab, tepatnya pada tahun 15 Hijriah (636 Masehi), ketika Baitul Maqdis berhasil dibebaskan dari kekuasaan Romawi tanpa pertumpahan darah yang berarti dan ditetapkan sebagai tanah kharaj (tanah milik kaum Muslim) selama kurang lebih 466 tahun, sebelum kota ini akhirnya direbut dan jatuh ke tangan Tentara Salib pada tahun 1099 Masehi dan dikuasai selama 88 tahun.

Kemudian pada tahun 1187 Masehi, seorang panglima Muslim yang terkenal dengan keberanian dan kebijaksanaannya, Shalahuddin Al-Ayyubi (Saladin), berhasil membebaskan kembali Baitul Maqdis dari kekuasaan Tentara Salib. Pertempuran besar yang dikenal sebagai Pertempuran Hattin menjadi titik balik bagi kemenangan umat Islam.

Setelah memenangkan pertempuran tersebut, Shalahuddin memimpin pasukan menuju Baitul Maqdis dan mengepung kota tersebut. Shalahuddin memutuskan untuk menerima penyerahan damai dari para pemimpin kota.

Pembebasan ini merupakan salah satu pencapaian besar dalam sejarah Islam dan menjadi bukti betapa pentingnya visi Rasulullah SAW tentang posisi strategis Masjidil Aqsa. Pembebasan ini juga menegaskan kembali betapa Masjidil Aqsa memiliki makna mendalam, bukan hanya sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai simbol kesatuan, persatuan, kekuatan dan kebangkitan umat Islam di seluruh dunia hingga hari ini.

Sejarah mencatat bahwa ketika Bumi Syam, termasuk Masjidil Aqsa, berada di bawah kendali umat Islam, kedamaian, keselamatan, dan keamanan dirasakan oleh semua orang, bukan hanya umat Islam, tetapi juga oleh pemeluk agama lain yang hidup berdampingan dengan damai.

Di bawah naungan pemerintahan Islam, Bumi Syam menjadi tempat di mana setiap individu, tanpa memandang agama, bangsa, atau warna kulit, memperoleh hak yang sama untuk mendapatkan jaminan perlindungan dan keamanan.

Nilai-nilai Syariah Islam yang diterapkan dalam pemerintahan tidak hanya berfokus pada kemaslahatan umat Islam, tetapi juga pada hak dan perlindungan bagi pemeluk agama lain.

Salah satu contohnya adalah ketika Khalifah Umar bin Khattab membebaskan Baitul Maqdis (Yerusalem) pada tahun 636 M. Umar menjalin Perjanjian Aelia dengan masyarakat Nasrani setempat, di mana umat Kristen dijamin keselamatan, kebebasan beragama, dan perlindungan atas tempat-tempat ibadah mereka. Demikian pula ketika Baitul Maqdis dibebaskan oleh panglima Shalahuddin Al-Ayyubi pada tahun 1187 M.

Shalahuddin memastikan bahwa umat Kristen dan Yahudi dapat tinggal dan beribadah dengan aman, bahkan setelah konflik Perang Salib. Sikap ini menggambarkan prinsip-prinsip keadilan dan kemanusiaan yang diterapkan dalam pemerintahan Islam di Bumi Syam.

Sebaliknya, kedamaian ini hilang ketika Masjidil Aqsa dan wilayah Palestina jatuh ke tangan bangsa-bangsa lain yang memiliki ambisi kekuasaan dan karakter penjajahan. Ketika bangsa Romawi, Tentara Salib, dan Zionis Yahudi menguasai Bumi Syam, Palestina mengalami periode kelam yang ditandai dengan kekejaman dan penindasan.

Sejak bangsa-bangsa ini menginjakkan kaki di Palestina, ribuan umat Islam disiksa, dibantai, dan diusir dari tanah mereka sendiri. Salah satu contoh paling kelam adalah pada tahun 1099 M ketika Tentara Salib merebut Yerusalem.

Dalam peristiwa tersebut, terjadi pembantaian massal terhadap kaum Muslim, di mana ribuan pria, wanita, dan anak-anak dibunuh secara brutal, tanpa memandang usia atau jenis kelamin.

Saat ini, situasi serupa kembali terjadi di bawah pendudukan Zionis Israel. Penindasan, kekerasan, dan pengusiran terhadap umat Islam di Gaza dan wilayah Palestina lainnya terus berlangsung.

Di bawah kekuasaan Zionis, warga Palestina menghadapi pembatasan ketat, kehilangan hak untuk hidup bebas di tanah mereka, dan mengalami diskriminasi serta penindasan.

Sementara itu, Masjidil Aqsa, tempat suci bagi umat Islam, sering kali menjadi sasaran penghinaan dan kekerasan. Tragisnya, sejak peristiwa Toufanul Al-Aqsa pada 7 Oktober 2023, kekejaman Zionis Israel mencapai puncaknya dengan praktik genosida yang semakin menggila.

Kondisi ini mencerminkan perbedaan yang sangat kontras antara periode di mana Islam memimpin wilayah tersebut, membawa kedamaian bagi semua pihak, dan saat ketika wilayah tersebut jatuh ke tangan bangsa-bangsa yang mengusung mental penjajahan.

Saat ini, umat Islam di negeri-negeri Muslim tidak bisa bergerak atau berdiri sendiri-sendiri untuk membebaskan Masjidil Aqsa dan saudara-saudara Muslim di Palestina dari cengkeraman penjajah Zionis Israel dan sekutu-sekutunya.

Umat juga tidak mampu melepaskan diri dari belenggu penjajahan pemikiran yang telah merusak akidah dan memengaruhi setiap aspek kehidupan mereka.

Hal ini menjadikan umat Islam hari ini lemah, terpecah belah, terbelenggu, terjajah, dan hidup dalam kehinaan, baik secara fisik maupun pemikiran.

Untuk itu, sebelum melakukan tindakan lebih lanjut, umat perlu mengikuti apa yang diwariskan Rasulullah SAW, yang memberikan teladan dalam menegakkan negara yang menerapkan Islam secara kaffah.

Rasulullah telah mencontohkan jalan yang harus ditempuh, dan umat wajib meneladaninya untuk mencapai persatuan, kekuatan dan kemuliaan kembali.[]

Comment