Pajak Sembako, Rakyat Kian Menjerit

Opini580 Views

 

 

Penulis: Hamsina Halik, A. Md, Pegiat Revowriter

__________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Rencana pengenaan pajak terhadap sembako menambah daftar panjang persoalan yang kini dihadapi rakyat. Bagaimana tidak, dampak pandemi terhadap perekonomian sangat terasa dan kini harus ditambah lagi dengan pajak sembako yang akan berdampak pada kenaikan harga.

Wacana tersebut tertuang dalam Draf Revisi Kelima Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP). Bahan pokok yang akan dikenakan pajak antara lain, beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, telur, susu, buah-buahan, sayur-sayuran, ubi-ubian, bumbu-bumbuan, dan gula konsumsi seperti dikutip kompas.com, (9/6/2021).

Wacana ini sontak menuai keresahan di tengah masyarakat. Saat ini, rakyat sudah begitu kesulitan untuk bertahan hidup di tengah pandemi dengan ketidakstabilan harga bahan-bahan kebutuhan. Apatah lagi jika kemudian wacana pajak ini benar-benar terealisasi, maka beban hidup mereka akan bertambah lagi. Rakyat semakin tercekik dengan pajak ini.

Namun, hal ini dibantah oleh kemenkeu bahwa pajak mencekik rakyat. Menurut Rahayu, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan, pajak sejatinya menciptakan keadilan dengan sistem gotong royong.

Menurutnya, seperti dilansir cnnindonesia.com, (12/6/2021), yang mampu membayar pajak, namun kontribusinya rendah, bisa semakin disiplin pajak untuk membantu mereka yang kurang mampu atau rakyat kecil.

Namun, fakta yang ada selama ini adalah rakyat kecil selalu menjadi korban akan kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh rezim.

Jika dikatakan bahwa pajak akan menciptakan keadilan dengan sistem gotong royong maka seharusnya tidak ada rakyat yang hidup dalam jurang kemiskinan yang terdalam.

Tetapi apa yang terjadi saat ini adalah sebaliknya, begitu banyak rakyat yang sangat kesulitan bertahan hidup. Jangankan memiliki tempat tinggal yang layak ditempati, untuk sekali makan saja sudah begitu sulitnya terpenuhi.

Beginilah nasib rakyat yang hidup di bawah sistem kapitalisme neoliberal. Pajak menjadi andalan utama pendapatan negara.

Alih-alih memikirkan kesulitan yang tengah dihadapi rakyat, para penguasa justru memikirkan keuntungan dari rakyat?

Maka tak heran jika sembako, pendidikan dll menjadi sasaran pajak. Bahkan sebelumnya, nasi bungkus, bea materai, kresek hingga emak-emak penjual online menjadi incaran. Nyaris semua kebutuhan rakyat tak luput kena pajak pembelian.

Padahal, negeri ini terkenal dengan sebutan gemah ripah loh jenawi dengan sumber daya alam yang melimpah ruah tiada habisnya, seperti minyak mentah, gas alam, timah, tembaga dan emas.

Juga memiliki wilayah alam yang mendukung dengan tingkat keanekaragaman hayati terbesar kedua di dunia setelah Brazil.

Dengan kekayaan yang luar biasa ini, seharusnya rakyat hidup sejahtera. Namun, sangat disayangkan pengelolaannya diserahkan kepada asing. Sementara negara tak memiliki sumber pendapatan.

Sehingga negeri ini tak mampu menghantarkan rakyat pada kesejahteraan.

Alhasil, pajak pun menjadi sumber pendapatan utama dan rakyat yang menjadi korban. Rakyat dengan terpaksa membayar pajak, namun peruntukannya tak memberi kesejahteraan.

Beda halnya dengan sistem Islam. Pajak dikenakan kepada rakyat apabila kas baitul mall dalam keadaan kosong.

Ketika ada kebutuhan mendesak dan darurat yang perlu dipenuhi, sementara sumber pemasukan negara yang lain tidak ada, maka dalam keadaan seperti ini negara merasa perlu menarik pajak dari rakyat. Pajak ini pun hanya dibebankan kepada orang-orang kaya saja.

Namun, sumber pendapatan utama negara dalam Islam bersumber dari pos pengelolaan sumber daya alam yang dikelola secara mandiri yang hasilnya adalah untuk kesejahteraan rakyat.

Selain itu, juga dari pos lainnya sebagaimana ditetapkan syara, seperti fai, kharaz, dan lain-lain.

Inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh negara dalam memenuhi kebutuhan rakyat maupun dalam penyelenggaraan pembangunan. Negara tidak menjadikan pajak sebagai sumber pendapatan negara sebagaimana dalam sistem kapitalisme neoliberal. Wallahu a’lam []

Comment