Penulis: Fadilah Rahmi, S.Pd | Guru dan Aktivitas Muslimah
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Rakyat harus kembali menelan pil pahit dengan kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat di awal tahun 2025 ini.
Dilansir dari CNN Indonesia, 25 Desember 2024. Pemerintah memastikan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen pada tahun 2025. Kebijakan ini diatur dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2024 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Sesuai dengan uu tersebut, kenaikan berlaku mulai 1 Januari 2025.
Bersamaan dengan ini, Pemerintah sebagaimana ditulis antaranews.com (19/12/24) menyiapkan paket stimulus untuk mendukung rumah tangga, yakni bantuan beras sebanyak 10 kilogram per bulan yang akan dibagikan pada Januari dan Februari 2025, PPN DTP untuk tiga komoditas, dan diskon sebesar 50 persen untuk listrik di bawah 2.200 VA.
Dampak Kenaikan PPN
Meskipun kenaikan pajak hanya 1% dari 11% menjadi 12%, namun kenyataannya nominal kenaikan pajak yang harus dibayarkan mencapai 9%. Kebijakan diyakini akan berdampak signifikan terhadap masyarakat, meski pemerintah mengklaim kenaikan pajak ini hanya berlaku untuk beberapa jenis barang dan jasa, terutama barang mewah. Nyatanya yang paling terdampak terhadap kebijakan ini tentulah kelas ekonomi menengah ke bawah.
Pengamat ekonomi sekaligus Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eko Listyanto seperti ditulis tempo (12/11/24) mengatakan bahwa kenaikan PPN akan menggerus konsumsi masyarakat sehingga memperlambat ekonomi.
Meskipun pemerintah menawarkan bantuan sosial (Bansos) dan subsidi, hal ini hanya diberikan selama dua bulan saja, sedangkan dampak kenaikan pajak ini akan terus masyarakat rasakan kedepannya.
Dengan pendapatan masyarakat yang rendah dan beban pajak yang tinggi tentu akan semakin “mencekik” kehidupan ekonomi masyarakat.
Bantuan pemerintah (bansos dan diskon biaya Listrik) untuk rakyat sebagai kompensasi kenaikan PPN sejatinya tidak akan meringankan beban rakyat. Kebijakan ini dianggap sebagai kebijakan populis otoriter, kebijakan ini tentu tidak akan mensejahterakan masyarakat karena bersifat jangka pendek tidak akan menyelesaikan masalah ekonomi yang lebih besar.
Dalam sistem demokrasi kapitalis yang dianut di Indonesia dan berbagai negara-negara lainnya, kenaikan PPN memang menjadi salah satu konsekuensi yang harus dihadapi karena sistem ini menjadikan pajak sebagai sumber pendapatan negara untuk membiayai pembangunan. Meski nyatanya tidak semua masyarakat menikmati hasil pembangunan tersebut.
Selain pajak, sumber pendapatan APBN juga berasal dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti pemanfaatan Sumber Daya Alam (SDA) migas, pertambangan mineral dan batubara, kehutanan, perikanan, dan panas bumi.
Indonesia adalah negara yang sangat kaya dengan SDA tersebut. Namun sangat disayangkan SDA Indonesia banyak yang diprivatisasi, yaitu dimiliki oleh segelintir individu swasta dan asing. Selain itu maraknya kasus korupsi SDA yang merugikan negara juga tidak diberikan sanksi yang sesuai, seperti kasus korupsi timah Rp 300 triliun hanya divonis 6 tahun 6 bulan dan denda Rp 1 miliar.
Solusi Dalam Sistem Islam
Dalam Islam, SDA yang melimpah merupakan milik bersama yang harus dikelola negara dan hasilnya dikembalikan untuk kebutuhan masyarakat seperti fasilitas kesehatan, pendidikan dan pembangunan yang diberikan dengan harga yang murah bahkan gratis. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. bersabda:
“Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Dikutip dari kitab Sistem Ekonomi Islam karya Taqiyuddin an-Nabhani, selain SDA sumber pendapatan negara di antaranya anfal dan ghanimah, yaitu segala sesuatu yang dikuasai oleh kaum muslim dari harta orang kafir melalui peperangan di medan perang.
Harta fai, merupakan segala sesuatu yang dikuasai oleh kaum muslim dari harta orang kafir (harbi) dengan tanpa pengerahan pasukan juga tanpa kesulitan serta tanpa melakukan peperangan.
Harta khumus adalah 1/5 bagian yang diambil dari ganimah. Kharaj, merupakan hak kaum Muslim atas tanah yang diperoleh dan menjadi bagian ganimah dari orang kafir, baik melalui peperangan maupun perjanjian damai.
Lalu harta jizyah, hak yang Allah berikan kepada kaum Muslim dari kaum kafir sebagai tanda tunduknya mereka kepada Islam. Lalu, harta usyur merupakan hak muslim yang diambil dari harta dan perdagangan ahli zimi dan penduduk dar harbi yang melewati perbatasan negara.
Selanjutnya, harta tidak sah dari penguasa dan pegawai negara, harta hasil kerja yang tidak diizinkan syara’, serta harta yang diperoleh dari hasil tindakan curang lainnya (harta ghulul), adalah harta yang diperoleh oleh para wali, amil, dan para pegawai negara dengan cara yang tidak syar’i.
Harta ini haram dan bukan miliknya sehingga mereka wajib mengembalikan harta itu kepada pemiliknya jika diketahui. Namun jika tidak diketahui, harta itu disita dan diserahkan kepada baitul mal. Lalu harta orang-orang murtad.
Sehingga pajak dalam islam bukanlah sumber pendapatan utama negara, pajak diwajibkan atas masyarakat pada kondisi kas negara (baitul mal) tidak ada uang atau harta serta ada pembangunan yang wajib dilaksanakan. Pajak ini pun hanya berlaku bagi masyarakat yang mampu atau memiliki kelebihan harta dan sifatnya hanya kondisional saja seperti ketika terjadi bencana alam, sehingga tidak selalu dipungut dari rakyat.
Namun ketika masalah sudah teratasi pungutan pajak akan dihentikan, sehingga tidak membebani atau menzalimi rakyat.
Islam juga mewajibkan sedekah yang menjadi sumber pemasukan baitul mal berupa zakat. Zakat merupakan sejumlah nilai atau ukuran tertentu yang wajib dikeluarkan dari harta yang jenisnya tertentu pula. Zakat hanya wajib bagi kaum muslim, selain mereka tidak diambil.
Kesimpulan
Maka menaikkan PPN tidak akan mampu mengatasi masalah ekonomi Indonesia. Kenaikan pajak dengan memberikan bansos maupun subsidi bukalah solusi hakiki.
Seharusnya kita kembali kepada kehidupan Islam yang mewujudkan kesejahteraan masyarakat serta tidak membebani masyarakat dengan pungutan pajak yang besar kepada setiap lapisan masyarakat seperti sistem kapitalis saat ini.
Islam mewajibkan penguasa berbuat baik dan memenuhi kebutuhan pokok rakyat, karena penguasa adalah raa’in atau pemimpin yang mengurusi umat. Penguasa dalam Islam menjadi kunci lahirnya kebijakan yang berpihak pada rakyat. Karena sosok pemimpin dalam Islam memiliki kepribadian Islam yang kuat dan ketakwaan yang tinggi sehingga melakukan pengurusan dan mengatur regulasi di tengah masyarakat sesuai dengan syariat Islam.
Menetapkan pos pemasukan negara sesuai dengan yang ditetapkan oleh syara’ sehingga sumber pendapatan yang beragam dalam Islam akan mampu membiayai pembangunan dan menciptakan kesejahteraan rakyat individu per individu. Wallahu a’lam bishawab.[]
Comment