Pajak Rumah, di Tengah Ekonomi Rakyat yang Susah

Opini88 Views

 

Penulis: Isnaini, S.I.Kom | Aktivis Muslimah

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Lagi lagi kenaikan target pajak menuai pro dan kontra di tengah masyarakat. Kali ini pemerintah menargetkan penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) naik menjadi 12 persen yang sebelumnya hanya 11 persen secara umum dari tahun 2022.

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) membangun rumah sendiri sebagaimana ditulis (cnnindonesia.com), naik menjadi 2,4 persen mulai tahun depan. Bertambahnya nilai target pajak ini berdasarkan Ketentuan yang diatur dalam Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

Tarif PPN membangun rumah untuk sekarang ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 61 Tahun 2022 tentang PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri. Sejak adanya peraturan menteri ini, masyarakat yang akan membangun rumah atau merenovasi rumahnya sendiri akan dikenai tarif pajak.

Belum usai kenaikan target pajak di semua jenis sektor, kini rakyat kembali dicekik dengan PPN rumah sendiri. Rakyat terus dibebani dengan berbagai pungutan pajak di tengah ekonomi mereka yang terasa sesak.

Himpitan ekonomi masyarakat bukan lah hal baru, kesejahteraan pangan sampai saat ini masih menjadi omong kosong para pejabat publik. Ditambah penerapan sistem ekonomi kapitalisme, rakyat sulit memiliki rumah dan pekerjaan yang ada tidak mungkin bisa membangun rumah yang memadai.

Sementara rakyat yang bisa bangun rumah yang layak dan memadai dikenai pajak yang tinggi. Bukannya meringankan, negara justru memberi beban yang semakin besar. Bayangkan saja besaran nilai pajak yang harus dikeluarkan oleh rakyat setara biaya yang dikeluarkan untuk membangun bangunan dalam setiap masa pajak sampai bangunan selesai.

Sudah jelaslah bahwa, negara berlepas tangan dalam menjamin kebutuhan papan/rumah masyarakat. Karena penetapan pajak ini adalah sebuah keniscayaan sistem demokrasi kapitalisme sekuler yang menerapkan sistem ekonomi kapitalis, menjadikan pajak sebagai sumber utama pendapatan negara.

Berbeda dengan sistem Islam, penerapan sistem ekonomi Islam menjamin kesejahteraan pangan dan papan. Negara sudah pasti menyediakan pekerjaan dengan gaji yang layak untuk masyarakat melalui kemudahan akses pekerjaan.

Negara dalam konsep Islam juga tidak akan mengambil pajak sebagai pendapatan utama negara. Karena sumber pendapatan negara berasal dari kepemilikan umum sehingga akan bebas pajak.

Tidak ada sejarahnya negara dengan  konsep Islam membebani rakyat dengan pajak yang begitu tinggi di segala sektor. Kecuali dalam kondisi tertentu yang membutuhkan penarikan pajak pada laki lak muslim yang kaya saja.

Setiap warga yang memiliki harta terbatas dan tidak memiliki kelebihan harta, tidak akan di pungut pajak. Selain itu, pungutan pajak bersifat tidak tetap yang hanya diberlakukan jika Baitul Maal (kas negara) kosong. Artinya jika kas Baitul Maal sudah terpenuhi, maka pungutan dihentikan.

Konsep Islam menjadikan harta kepemilikan umum sebagai pendapatan utama negara, seperti sumber daya alam yang melimpah. Hasil sumber daya alam tersebut kemudian didistribusikan ke Baitul Maal dan warga negara yang berhak mendapatkannya, karena negara 100% menjamin kebutuhan papan dan pangan rakyat.

Sedangkan Baitul Maal adalah tempat penyimpanan uang kas negara. Uang kas tersebut juga didistribusikan untuk keperluan anggaran belanja negara dalam segala sektor seperti pendidikan, ekonomi, kesehatan, politik, serta kegiatan jihad di jalan Allah.

Dengan demikian, kesejahteraan hidup tanpa pajak hanya akan dapat diraih dalam sistem ekonomi Islam. Rakyat hidup makmur tanpa harus membayar pajak, karena sistem Islam berasaskan ketaqwaan kepada Allah.  Allah sebagai tolak ukur setiap kebijakan dan perbuatan yang pasti tidak menyengsarakan. Wallahu a’alam bisshawab.[]

Comment