Pajak Dalam Sistem Ekonomi Islam Dan Kapitalisme

Opini680 Views

 

 

 

Oleh: Novita Darmawan Dewi, Pegiat Komunitas Ibu Ideologis

__________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Pemerintah Kabupaten Bandung mengeluarkan program penghapusan denda pajak untuk meningkatkan pendapatan daerah. Bupati Bandung, Dadang Supriatna mengatakan sudah ada peraturan bupati yang mengatur penghapusan denda tersebut.

Menurutnya, kurang lebih ada piutang sebanyak Rp500 miliar yang belum teraih.

Sebagaimana dilansir dara.co.id, Dadang mengatakan, diupayakan pada periode Juli hingga Agustus ini tidak ada denda dengan harapan menjadi potensi meningkatnya pendapatan demi menjaga stabilitas.

Dadang mengungkapkan, pajak di bawah Badan Usaha Milik Daerah (BLUD) ini sekitara Rp460 miliar dan yang baru masuk sekitar 46 persen saja. Padahal tahun 2021 ini hanya menyisakan beberapa bulan lagi.

Pajak Bukan Sumber Utama Pendapatan Negara

Dalam sistem ekonomi selain Islam, pajak dan berbagai pungutan menjadi tulang punggung dan urat nadi pendapatan negara. Meminjam Istilah seorang ahli pemerintahan Barat, Arthur Vanderbilt, “Pajak adalah urat nadi (lifeblood) pemerintah.”

Sebab itulah dalam sistem ekonomi mereka, berbagai pungutan/pajak digencarkan bahkan warga miskin juga dikejar berbagai pungutan/pajak.

Berbeda dengan Sistem ekonomi Islam. Islam tidak menjadikan pajak sebagai sumber utama pendapatan negara. Islam telah menetapkan bahwa sumber utama pendapatan negara bukan pajak.

Pasalnya, Kas Negara atau Baitul Maal dalam sistem pemerintahan Islam memiliki sumber pemasukan yang tetap seperti zakat, jizyah, kharaj, ‘usyr, harta kepemilikan umum (seperti tambang migas dan mineral), anfal, ghanimah, fai, khumus, infak dan sedekah, dan sebagainya.

Sumber pemasukan ini amat besar dan mampu mencukupi kebutuhan umat. Tidak ada pungutan lain di luar ketentuan syariat tersebut.

Pajak hanya berlaku temporer dengan  mempertimbangkan situasi dan kondisi ekonomi negara yang tidak lepas dari syariat pula.

Adakalanya negara dibolehkan untuk memberlakukan pajak (dharibah). Namun demikian, konsep dan pelaksanaannya jauh berbeda dengan sistem pajak hari ini. Pajak (dharibah) dalam Islam hanya diberlakukan saat negara benar-benar krisis keuangan, sementara negara tentu membutuhkan dana segar untuk membiayai berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran yang diwajibkan atas mereka.

Sebagai misal,  untuk keperluan jihad fi sabilillah, membayar gaji (pegawai, tentara, juga biaya hidup pejabat), memenuhi kebutuhan fakir miskin, juga penanganan bencana alam dan wabah.  Pungutan itu bersifat temporer bukan pemasukan rutin dan permanen. Apalagi menjadi sumber pendapatan utama negara.

Ketika krisis sudah terlewati dan Kas Negara (Baitul Maal) telah aman, maka pungutan itu akan dihentikan. Jadi pajak (dharibah) dalam Islam bukan merupakan pendapatan rutin dan utama negara seperti dalam sistem kapitalisme sekuler.

Objek pajak dalam Islam pun berbeda. Pungutan ini tidak diambil dari semua warga negara. Nonmuslim (ahludz dzimmah) tidak dikenai pajak. Mereka hanya dikenai jizyah yang disesuaikan dengan kemampuan mereka. Pajak dalam Islam hanya dibebankan atas warga muslim yang kaya saja. Sabda Nabi saw.

“Sedekah terbaik adalah yang berasal dari orang kaya.” (HR al-Bukhari)

Dengan aturan seperti ini, keadilan akan tercipta. Kebutuhan rakyat tetap terpenuhi dengan jaminan dari negara. Mereka tidak dipersulit dengan berbagai pungutan.

Para penguasa pun akan legawa ketika diingatkan akan kewajiban mereka untuk bekerja keras dan bersungguh-sungguh memenuhi hajat rakyat. Mereka takut jika sikap melalaikan kewajiban tersebut akan berbuah siksa pada Hari Akhir.

Suatu ketika Abu Maryam al-’Azdy ra. menasihati Khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan. Ia berkata kepada Muawiyah, “Saya telah mendengar Rasulullah saw. bersabda,

‘Siapa yang diserahi Allah mengatur kepentingan kaum muslim, kemudian ia tidak memenuhi hajat, kepentingan, dan kebutuhan mereka; maka Allah akan menolak hajat, kepentingan, dan kebutuhannya pada Hari Kiamat.’ Mendengar nasihat itu, Muawiyah segera mengangkat seorang untuk melayani segala kebutuhan orang-orang (rakyat).” (HR Abu Dawud)

Berkebalikan dengan hari ini, banyak orang kaya menikmati berbagai fasilitas kemudahan hidup dari negara semisal pengampunan pajak (tax amnesty).

Sebaliknya, rakyat diburu dengan aneka pajak yang memberatkan. Mereka, para pembuat kebijakan ekonomi itu tidak takut dengan doa yang dipanjatkan baginda Nabi saw.

“Ya Allah, siapa saja yang mengurusi urusan umatku, lalu dia menyusahkan mereka, maka susahkanlah dia. Siapa saja yang mengurusi urusan umatku, lalu dia menyayangi mereka, maka sayangilah dia.” (HR Muslim).[]

Comment