Oleh : Irohima, Praktisi Pendidikan
_________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Pernyataan bahwa perempuan boleh berpuasa saat haid yang diunggah akun instagram @mubadalah.id memicu kontroversi si tengah Publik. Unggahan itu menyebutkan tidak ada satupun ayat Alquran yang melarang perempuan haid berpuasa.
Disebutkan juga bahwa hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Aisyah RA dan riwayat lain menyebutkan bahwa Rasulullah Saw hanya melarang shalat bukan puasa bagi perempuan haid (detiknews).
Pernyataan ini ditolak dan dikecam oleh lembaga-lembaga Islam karena menyalahi aturan.
Menurut wakil ketua MUI Anwar Abbas dan PBNU terdapat banyak hadits yang menyatakan larangan bagi perempuan haid yang berpuasa.
Rasulullah Saw bersabda, “Bukankah wanita itu jika sedang haid, tidak shalat dan tidak berpuasa?” Mereka menjawab ,Ya” (HR.Bukhari).
Dari hadits di atas, Anwar Abbas menyimpulkan bahwa perempuan yang sedang haid tidak boleh berpuasa tetapi wajib menggantinya di hari lain. Kesimpulan ini juga sudah menjadi kesepakatan para ulama yang harus dipatuhi oleh setiap muslim.
Munculnya berbagai pandangan keliru seperti bolehnya perempuan haid berpuasa bukanlah yang pertama kali. Sebelumnya pemikiran dan pandangan keliru terkait syariat acapkali terjadi, sebut saja adanya pendapat yang membolehkan masuk rumah ibadah agama lain, ikut serta dalam perayaan hari raya agama lain hingga ada pendapat yang mengatakan tidak wajibnya jilbab atas muslimah dengan mengatas-namakan fikih progresif.
Tentu hal ini sangat memprihatinkan karena pandangan keliru terkadang muncul dari sosok yang disebut “Kyai” yang notabene adalah orang yang sudah dianggap memilki kekuatan bahkan pengaruh untuk mengubah prinsip seseorang.
Ini jelas akan menimbulkan kebingungan di tengah umat dalam menyikapi isu isu tertentu. Pandangan keliru dan kontroversial juga cenderung akan memecah belah umat.
Munculnya berbagai pandangan keliru dan nyeleneh adalah dampak dari sistem demokrasi liberal yang dianut bangsa ini yang mendorong liberalisasi syariah dan menyuburkan pandangan keliru, menyimpang dan menyesatkan umat.
Kebebasan berpendapat dalam demokrasi membuat sebagian orang mengeluarkan pendapatnya tanpa sekat, tanpa dalil, dan tanpa ilmu, bahkan mengabaikan ketentuan yang sudah jelas jelas sumber hukumnya.
Lebih parahnya lagi memakai dalil yang terdapat dalam Alquran dan sunnah namun dengan tafsir yang salah.
Masalah khilafiyah atau perbedaan pendapat sejatinya memang lazim terjadi sejak dulu disebabkan hukum atau ketentuan mengenai suatu masalah yang berbeda karena berdalil kepada nash yang dapat dipahami secara berbeda pula namun dilakukan dengan metode yang memenuhi syara hingga tak menimbulkan perselisihan dan kontroversi.
Tapi hal itu tidak berlaku dengan apa yang terjadi sekarang. Sistem demokrasi yang meniscayakan kebebasan berpendapat telah mengembangbiakkan pemikiran liar dan keliru sehingga menyesatkan umat dan yang diambil tanpa metode yang memenuhi syara dan berujung pada keraguan dan perpecahan.
Sungguh memprihatinkan, kejadian ini selalu berulang terjadi. Umat pun seringkali mengalami kebingungan.
Islam sangat jelas mengatur tentang penetapan hukum dalam menyikapi suatu kasus atau masalah tertentu. Penggalian hukum akan dilakukan oleh orang yang benar benar mempunyai kompetensi untuk menggali hukum dan memenuhi syarat sebagai penggali hukum.
Orang yang menggali hukum dalam Islam disebut Mujtahid dan seorang Mujtahid akan melakukan penggalian hukum sesuai dengan prosedur syara dan hanya memakai sumber hukum yang ditetapkan oleh Islam. Sumber hukum Islam sendiri terdiri dari 4 bagian yaitu:
Alquran yaitu kalam Allah SWT yang diwahyukan kepada Rasulullah Saw melalui Jibril, kedudukannya sebagai sumber hukum sangat jelas dan tidak seorangpun memiliki perbedaan atasnya.
Al sunnah yang disebut juga dengan Al Hadits, kedudukannya sebagai sumber hukum untuk memberi penjelas atau penguat hukum
Ijma” yang merupakan kesepakatan para mujtahid tentang hukum syara setelah Rasulullah tiada.
Qiyas yaitu bentuk dalil hukum sistematis yag diambil dengan mengeluarkan suatu hukum yang serupa dari hukum yang telah ditetapkan oleh Alquran dan sunnah.
Dalam penggalian hukum, seorang Mujtahid pun jika mendapati hasil ijtihad mujtahid lain yang jauh lebih kuat dalil dan penelusurannya maka harus meninggalkan hasil ijtihadnya sendiri dan menerimanya sebagai sebuah kebenaran yang boleh diamalkan karena telah diijtihadkan secara memenuhi syara.
Oleh karena itu Islam mensyaratkan bagi seorang Mujtahid haruslah benar benar menguasai dan memahami hukum syara, hafal Alquran dan juga hadits.
Jika hasil ijtihad seorang mujtahid saja harus ditinggalkan bila terdapat hasil ijtihad lain yang lebih kuat, apalagi kalau pendapat yang sama sekali tidak melalui proses secara syari tentu tidak akan dibiarkan muncul dan berkembang luas di masyarakat seperti yang sering terjadi saat ini.
Islam akan menjamin penetapan hukum yang tegas, jelas dan sesuai syara serta mendidik masyarakat untuk bersikap bila mana muncul statement atau prilaku yang bersebrangan dengan syara untuk tidak diikuti dan tidak perlu dicari-cari pembenarannya.
Aturan yang jelas dan tegas dalam Islam akan meminimalkan bahkan menghilangkan munculnya perilaku atau statement nyeleneh yang bisa menyesatkan dan membingungkan umat. Wallahualam bisshawab.[]
_____
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat menyampaikan opini dan pendapat yang dituangkan dalam bentuk tulisan.
Setiap Opini yang ditulis oleh penulis menjadi tanggung jawab penulis dan Radar Indonesia News terbebas dari segala macam bentuk tuntutan.
Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan dalam opini ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawab terhadap tulisan opini tersebut.
Sebagai upaya menegakkan independensi dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ), Redaksi Radar Indonesia News akan menayangkan hak jawab tersebut secara berimbang.
Comment