Nurul Fadila*: Analisa Dan Pengaruh Gender Hadapi Bencana Dalam Relasi Kuasa 

Opini852 Views

 

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Indonesia merupakan salah satu negara yang paling rawan dan termasuk yang berpotensi terkena dampak perubahan iklim. Sekitar tahun 1980-2008 tercatat ada sebanyak 239 bencana, terutama oleh gempa dan stunami yang berdampak pada sekitar 18 juta orang, dan kerusakan mencapai 21 milyar dollar.

Management anti bencana yang komprehensif meliputi strategi adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim karena ada keterkaitan kuat antara bencana dan perubahan iklim.

Ketidaksetaraan gender menciptakan kerentanan khusus pada laki-laki dan perempuan terhadapa dampak bencana, konflik dan perubahan iklim. Misalnya, kerentanan menurut gender di Nanggroe Aceh Darussalam ketika terjadi tsunami 2004, jumlah korban perempuan jauh lebih banyak karena berada dirumah.

Perempuan tidak pernah belajar berenang dan rok panjang mereka mempersulit proses melarikan diri. Padahal seharusnya relasi kuasa yang diberikan kepada lelaki dan perempuan harus seimbang, sehingga ketika terjadi bencana perempuan juga bisa menyelamatkan dirinya sendiri.

Kerentanan pasca bencana termasuk beban kerja dan tekanan kehidupan yang meningkat pada perempuan. Hak-hak perempuan dalam operasi tanggap darurat sering dilupakan dan diabaikan, dan tanpa konsultasi dan partisipasi sebagaimana layaknya.

Perempuan juga lebih rentan mengalami penderitaan dalam situasi konflik, misalnya pada konflik Aceh tahun 1999 diperkirakan 23% perempuan Aceh dimana 60% diantaran tidak pernah bersekolah, tiba tiba menjadi kepala keluarga karena suaminya meninggal dunia pasca konflik.

Dari 103 kasus kekerasan terhadap perempuan yang tejadi dari sebelum tahun 1999 sampai setelah penandatanganan nota kesepakatan pada tahun 2007, lebih dari setengahnya merupakan korban kekerasan seksual seperti pemerkosaan dan kekerasan seksual komisi terhadap orang hilang dan tindak kekerasan, kontras, mencatat 128 kasus 128 pemerkosaan selama masa darurat militer saja.

Forum LSM Aceh memperkirakan sekitar 15.000 perempuan meninggal selama terjadi konflik Aceh dan menyebabkan trauma psikologis bagi sekitar 7.000 perempuan.

Pemulihan pasca bencana dapat memberikan peluang untuk mengatasi ketidak-setaraan gender yang sistemik dan memajukan hak asasi perempuan. Dengan memberikan hak terhadap perempuan yang berisikan hak hak pribadi, politik, sosial, ekonomi, dan budaya perempuan dalam konteks Aceh yang spesifik dalam hukum syariah. Peran terhadap gender lebih rentan terhadap dampak perubahan iklim.

Karena pada iklim yang berbeda akan menyulitkan mereka yang berkerja di bidang sebagai produsen utama tanaman pangan. Hal lainnya seperti kelangkaan air pada musim kemarau yang mengakibatkan masalah-masalah lain terjadi. Inklusi gender dalam rekontruksi dan rehabilitas dapat memperkuat kesetaraan gender yang lebih memberdayakan perempuan.

Perhatian khusus pada peran dan prioritas perempuan dan laki laki berbeda dalam mengatasi bencana memberikan hasil yang lebih berkelanjutan. Laki-laki dan perempuan memilih pendekatan yang berbeda dalam memulihkan keadaan.

Perspektif gender masih harus diadopsi dan dilembagakan dalam kerangka hukum dan kebijakan tentang pemulihan dan manajemen bencana. Indonesia sudah mengambil langkah pengulangan bencana untuk mengatasi bencana-bencana yang dapat menimpa dan menangani masalah kerentanan gender terhadap bencana. Akan tetapi adanya relasi kuasa mengutamakan gender tidak dilakukan di semua bencana.

Rencana nasional untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim mengakui ancaman multi dimensi dari perubahan iklim terhadap manusia dan pembangunan nasional jangka pendek, sedang dan panjang tentang mitigasi dan adaptasi pasca bencana.

Bencana yang sama bisa membawa dampak yang berbeda bagi kelompok gender yang berbeda. Misalnya ketika terjadi gempa bumi dampak yang ditimbulkan bagi laki-laki dan perempuan tidaklah identik. Yang disebabkan oleh masalah kerentanan terhadap situasi yang mempengaruhi.

Misalnya gempa bumi, yang pada akhirnya banyak perempuan tersebut meninggal dengan tertimpa reruntuhan pasca gempa. Peran domestik seperti menyiapkan makan, melindung anak, mengajarinya tentu berbeda antara laki-laki dan perempuan.

Dampak bencana pada sektor‐sektor ekonomi dan sumber‐sumber penghidupan juga perlu mendapat perhatian khusus. Enarson menulis bahwa keamanan ekonomi adalah faktor kunci dalam kerentanan sosial. Bencana mengganggu perdagangan dan pasar, menghancurkan faktor produksi dan infrastruktur, dan secara agregat mempengaruhi kehidupan keluarga dan pekerjaannya.

Sebaliknya, kepastian pendapatan, akses kepada tabungan atau kredit, pekerjaan dengan proteksi sosial, memiliki ketrampilan yang laku di pasar, pendidikan dan training serta kontrol terhadap aset produktif akan memungkinkan orang bahkan dalam situasi yang berat akibat bencana, bisa bertahan hidup.

Dengan ini, mereka akan bisa mengurangi kerugian dari bisnis, bisa pindah tempat tinggal bila diperlukan, bisa membangun kembali rumah dan bisnisnya, dan tentu saja, akan bisa segera mengganti alat‐alat produksi yang dibutuhkan.

Bagaimana dengan dampak bencana bagi sektor ekonomi dan sumber penghidupan bagi perempuan, apalagi perempuan miskin? Bagi perempuan miskin, kemampuan untuk bisa menghasilkan uang setiap hari adalah strategi bertahan hidup yang esensial.

Sayangnya, mereka seringkali dihadapkan pada keterbatasan akses terhadap sumber‐sumber ekonomi. Menghadapi kondisi seperti ini, harus ada terobosan untuk meningkatkan derajat hidup perempuan, sehingga program bantuan bencana akan membuat mereka bisa hidup dengan bermartabat.

Program bantuan juga harus berhati‐hati dalam hal ini, karena ketidaktepatan pendekatan atau pendekatan yang mengabaikan perempuan, bahkan bisa berimplikasi pada semakin dalamnya ketimpangan gender.

Isu yang berkorelasi dengan ketidaksetaraan gender. Hasilnya terdapat kerentanan terhadap Pembatasan kultural, politik, perbedaan strata pendidikan. Perbedaan akses dan keterbatasan mobilitas juga mengakibatkan kurangnya informasi kepada perempuan.

Tanpa adanya informasi orang tidak tahu bahwa adanya kerentanan yang terjadi. Dalam relasi kuasa, perempuan dianggap lemah dan sangat rentan terhadap bencana, padahal pada hakikatnya perempuan juga harus diutamakan dan mendapatkan kesetaraan dengan laki-laki dan menunjung nilai-nilai keseimbangan.[]

Referensi:
Fatimah, Dati. Gender Mainstreming Dalam Resiko Penanggulangan Risiko Bencana. Analisis Kerentanan. Hal 1-31

*Mahasiswi Ar-Raniry,  Jurusan Sosiologi Agama

Comment