Nursih Ummu Sayyid: Pakaian Muslimah Sesuai Syariah

Opini688 Views

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA - Dalam surat An-Nur ayat 31 Allah berfirman, “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya.” (Qs An-Nur: 31)

Yang dimaksud dengan 'Yang biasa tampak daripadanya' adalah wajah dan kedua telapak tangan. Karena kedua anggota tubuh wanita inilah yang biasa tampak dari wanita-wanita Muslimah di hadapan Nabi saw. Dan kedua anggota tubuh wanita ini pula yang biasa tampak dalam pelaksanaan ibadah-ibadah tertentu seperti haji dan shalat.

Rasulullah saw juga bersabda:
"Sesungguhnya seorang anak perempuan jika telah haid (baligh), tidak boleh terlihat dari dirinya kecuali wajah dan kedua tangannya hingga pergelangan tangan. "(HR. Abu Dawud)

Sungguh telah jelas dalam dalil-dalil di atas bahwa aurat wanita adalah seluruh anggota tubuhnya kecuali wajah dan kedua telapak tangannya. Dan jelas pula bahwa wanita wajib menutupi auratnya.

Adapun seperti apakah pakaian yang harus dikenakan wanita untuk menutupi auratnya?

Dalam hal ini kita tidak boleh mencampuradukkan masalah tentang menutup aurat, dengan masalah pakaian dalam kehidupan umum dan masalah tabarruj dengan sebagian pakaian.

Lalu dengan apa wanita menutupi auratnya? Dalam hal ini syara tidak menentukan jenis pakaian tertentu untuk menutupi aurat wanita. Syara hanya mencukupkan diri agar tidak boleh terlihat auratnya.

Maka pakaian apapun yang menutupi seluruh tubuh wanita kecuali wajah dan kedua telapak tangan, dinilai telah menutupi aurat bagaimanapun bentuknya.

Hanya saja, syara telah mensyaratkan penutup aurat itu harus berupa pakaian yang bisa menutupi kulit dan warna kulitnya.

Sehingga tidak tampak bagian kulit yang berwarna putih, merah, coklat, hitam ataupun yang lainnya. Jika pakaian itu tipis atau transparan yang menampakkan warna kulitnya, maka pakaian tersebut tidak boleh dijadikan penutup aurat wanita.

Maka wajib bagi wanita menutupi auratnya dengan pakaian yang tidak tipis, sehingga tidak diketahui apa yang ada dibaliknya. Inilah masalah menutup aurat. Jika terdapat pakaian yang menutup aurat, bukan berarti seorang wanita boleh mengenakannya ketika ia berada di jalanan umum.

Sebab, syara telah menentukan pakaian wanita saat berada dalam kehidupan umum. Yaitu pakaian yang dikenakan saat keluar rumah seperti di jalanan umum, saat hendak menuntut ilmu, pergi ke pasar, sekolah, kampus, kerja dan sebagainya.

Dengan menggunakan jilbab (mula'ah (baju kurung/gamis) atau milhafah (semacam selimut/mantel)) yang mengulur ke bawah dan menutupi kedua kakinya dan juga khimar (kerudung) yang menutupi seluruh kepala, seluruh leher dan belahan pakaian di dada. Di atas pakaian rumah seperti (dress, daster, kaos, rok, celana dan lain-lain). Jadi jilbab dan khimar adalah pakaian luar yang dipakai saat keluar rumah.

Oleh karena itu, jika seorang wanita tidak mengenakan kedua pakaian ini. Maka ia tidak boleh keluar rumah dalam kondisi apapun. sekalipun seorang wanita menutupi auratnya, dengan memakai pakaian yang tidak boleh dipakai dalam kehidupan umum. Seperti, celana panjang, rok, dan kaos. Maka ia berdosa karena telah meninggalkan salah satu kewajiban yang telah diwajibkan oleh Allah swt terhadapnya.

Adapun dalil wajib memakai jilbab dan kerudung dalam kehidupan umum adalah firman Allah swt:

يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ

“Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. (Qs. Al-Ahzab: 59)

وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ

"Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya. (Qs. An-Nur: 31)

Juga apa yang telah diriwayatkan dari Ummu 'Athiyah, ia berkata:

أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِي الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى الْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ فَأَمَّا الْحُيَّضُ فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلَاةَ وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِينَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِحْدَانَا لَا يَكُونُ لَهَا جِلْبَابٌ قَالَ لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا

Rasulullah SAW memerintahkan agar kami mengeluarkan para wanita yakni hamba-hamba sahaya perempuan, wanita-wanita yang sedang haid, dan para gadis yang sedang dipingit, pada hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha.  Adapun wanita-wanita yang sedang haid, mereka memisahkan diri tidak ikut menunaikan shalat, tetapi tetap menyaksikan kebaikan dan (mendengarkan) seruan kepada kaum Muslim.  Aku lantas berkata, “Ya Rasulullah, salah seorang di antara kami tidak memiliki jilbab.” Rasulullah pun menjawab, “Hendaklah saudaranya memakaikan jilbabnya kepada wanita itu.” (HR. Muslim)

Maka, dalil-dalil di atas menunjukkan dengan jelas tentang pakaian wanita di kehidupan umum. Dan wajib bagi wanita untuk menutupi auratnya dengan kedua pakaian tersebut saat hendak keluar rumah.

Adapun syarat jilbab adalah 'irkha ilal asfal' yakni mengulur ke bawah sampai menutup kedua telapak kaki. Maka jelaslah, wanita wajib mengenakan pakaian yang longgar di atas pakaian kesehariannya saat hendak keluar rumah.

Jika ia tidak memilikinya, sementara ia ingin keluar, hendaklah meminjam kepada saudaranya. Jika tidak ada yang meminjaminya, ia tidak boleh keluar sampai pakaian tersebut didapatkannya. Jika ia keluar rumah tanpa memakai pakaian longgar yang terulur hingga ke bawah, maka ia berdosa, meskipun ia telah menutupi seluruh auratnya.

Karena, mengenakan baju longgar yang terulur sampai ke bawah hingga menutup kedua kaki adalah wajib bagi setiap wanita yang sudah baligh. Dan setiap yang melanggar mendapat dosa di sisi Allah swt. Dan layak dijatuhi sanksi oleh negara dengan hukuman ta'zir (kebijakan khalifah).

Adapun masalah tabarruj dengan sebagian pakaian, maka tidak boleh dicampuradukkan dengan masalah menutup aurat dan masalah pakaian wanita di kehidupan umum.

Celana panjang yang sudah menutupi aurat, sekalipun tebal bahannya, bukan berarti wanita boleh memakainya di hadapan laki-laki asing (bukan mahrom).

Sebab, celana panjang termasuk ke dalam tabarruj saat di depan ajnabi (laki-laki asing). Karena ia menampakkan kecantikan dan memperlihatkan perhiasannya. Meski, ia telah menutupi auratnya, namun ia telah bertabarruj.

Syara telah melarang tabbaruj atas wanita. Sekalipun seorang wanita telah menutupi auratnya, belum tentu ia tidak bertabarruj.

Karena itu, kita tidak boleh mencampuradukkan pembahasan menutup aurat dengan masalah tabarruj. Karena, keduanya merupakan masalah tersendiri yang terpisah satu sama lain.
Wallahu'alam.[]

Comment