RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Dalam pendidikan, perempuan masih menjadi nomor sekian untuk di utamakan. Para feminis memandang perempuan tidak memiliki kebebasan karena perempuan pada akhirnya akan menjadi seorang istri dan ibu yang hanya bertugas di sumur, kasur dan dapur.
Sehingga para feminis ini menuntut untuk kesetaraan gender. Agar perempuan bisa mengekspresikan diri dan menggali potensi dirinya.
Di Indonesia sendiri, faktor ekonomi (patriarki) seolah menjadi hal yang tidak dapat dielakkan oleh kaum perempuan. Padahal menurut psikolog pendidikan Reky Martha, pendidikan dapat menjadi peluang perempuan menyejahterakan hidupnya.
Menangani situasi yang sedang mendera para perempuan di dunia, para feminis membuat ide-ide untuk memperjuangkan hak-hak perempuan.
Salah satunya adalah BPfA, yang merupakan kesepakatan dari negara-negara PBB dalam rangka melaksanakan konvensi CEDAW (Convention on Elimination of All Forms Discrimination Against Women) pada tahun 1995 di Beijing.
BPfA menghasilkan 12 bidang kritis dan setiap 5 tahun harus dilaporkan perkembangannya oleh setiap negara. Salah satunya adalah pendidikan perempuan dan pelatihan.
pada Rabu (4/3) dari UNICEF, Entitas PBB untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan (UN Women), dan Plan International.
Laporan yang dirilis jelang sesi ke-64 Komisi Status Perempuan pekan depan itu memaparkan jumlah anak perempuan yang putus sekolah turun 79 juta orang dalam dua dekade terakhir, dan dalam satu dekade terakhir anak perempuan memiliki kemungkinan lebih besar untuk melanjutkan ke sekolah menengah dibanding anak laki-laki.
Kemajuan global dalam mengurangi jumlah anak putus sekolah di tingkat dasar mengalami stagnasi, baik anak perempuan maupun laki-laki sejak tahun 2007.
Meskipun terdapat kemajuan dalam pendidikan selama 25 tahun terakhir, kekerasan terhadap wanita dan anak perempuan masih terjadi di banyak wilayah di berbagai belahan dunia.
Pada 2016, 70 persen korban perdagangan orang yang terdeteksi secara global adalah wanita dan anak perempuan, sebagian besar untuk tujuan eksploitasi seksual.
Selain itu, 1 dari setiap 20 anak perempuan berusia 15-19 tahun, atau sekitar 13 juta anak perempuan, mengalami pemerkosaan dalam kehidupan mereka, salah satu bentuk pelecehan seksual paling kejam yang dapat dialami wanita dan anak perempuan.
Sejatinya masalah perempuan saat ini adalah karena Sekulerisme yang mengambil alih dunia. Dengan ideologi Sekuler-Kapitalis, perempuan menjadi barang komoditi untuk dieksploitasi.
BPFA25+ hanya menjadi “Injury Time” dalam mencari solusi global permasalahan perempuan. Fakta yang menjadi titik akar masalah hanya diselesaikan dengan fakta yang baru tanpa mencabut dari akar masalahnya.
Pada tahun 1924 masehi, Khilafah runtuh dan digantikan dengan sistem sekulerisme. Perempuan pun diatur dengan aturan sekuler. Profil mereka di eksploitasi tanpa batas, di media perempuan bebas berekspresi, dan kebebasan untuk perempuan terbuka lebar. Dengan dalih “Demi Aktualisasi Perempuan dan Hak Asasi Perempuan serta Kesetaraan Gender.”
Mereka merasa bahwa selama ini perempuan tidak bebas dan terkekang dengan aturan islam yang dianggap kuno.
Padahal semua itu adalah upaya untuk menjauhkan perempuan dari islam.
Propagnda Barat yang berdalih “menyelamatkan perempuan” rutin diproyeksikan berbagai program agar diambil oleh negeri-negeri Muslim.
Islam memandang perempuan sebagai sesuatu yang mulia dan berharga.
Dalam islam, perempuan terjamin dari segi keamanan, kesejahteraan dan pendidikan.
Perempuan dijaga oleh makhromnya dan juga negara. Bahkan pada jaman kekhilafahan seorang bangsa Yahudi yang menjahili seorang muslimah di sebuah pasar, sehingga tersingkaplah jilbabnya dan terlihat auratnya. Orang itu langsung diusir oleh khalifah saat itu.
Selain dijamin keamanannya, perempuanpun diberi peran yang mulia, yaitu sebagai warobaytul bayt (Ibu dan pengatur rumah tangga), Ummu madrasatul ‘Ula (Pendidik utama) dan Ummu ajyal (Pencetak generasi unggul).
Perempuan dididik dengan baik agar mampu mencetak generasi terbaik standar islam.
Maka perempuan sudah sepatutnya menuntut ilmu dan menjadi perempuan yang cerdas.
Perempuan tidak dibiarkan mencari nafkah untuk dirinya sendiri karena perempuan memiliki wali.
Sebagai mana Allah berfirman yang artinya:
“…Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya…”
(TQS. Al-Baqarah 2: Ayat 233)
Namun Islam juga tidak melarang perempuan untuk bekerja tetapi bukan untuk menafkahi dirinya atau keluarganya, melainkan untuk mengamalkan dari ilmunya untuk keberlangsungan pendidikan umat.
Maka kesetaraan gender atau ide-ide feminisme lainnya bukanlah solusi untuk perempuan, melainkan hanya sebagai Injury Time pada masalah perempuan.
Islam telah mendetailkan sedetail mungkin penjagaan untuk perempuan dan solusi kebodohan.
Lantas, syari’at mana lagi yang ingin kita dustakan? Wallahu a’alam. []
*Aktivis dakwah, Mentri Keagamaan BEM STIE Prima Graha
Comment