Nurdianiwati, M.Pd |
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Sejak awal tahun 2018, kondisi rupiah terus melemah terhadap dolar Amerika. Pelemahan itu terjadi, akibat naiknya harga minyak Dunia dan kebijakan Bank Sentral Amerika The Fed, untuk menaikkan suku bunganya. The Fed, berencana akan menaikkan suku bunga tiga kali, yakni bulan Maret, Juni dan Agustus selama tahun 2018.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira mengatakan ada beberapa faktor yang menyebabkan pelemahan Rupiah salah satunya yaitu rilis data pertumbuhan ekonomi Indonesia 5,06 persen kemarin. Menurut Bhima, investor bereaksi negatif terhadap rilis data pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan I 2018 yang hanya mencapai 5,06 persen. Sentimen ini membuat pasar cenderung pesimis terhadap prospek pertumbuhan ekonomi tahun 2018 yang ditarget tumbuh 5,4 persen.
Jika pelemahan rupiah terus berlanjut, dampaknya, aliran modal asing yang keluar dapat semakin tinggi. Daya saing produk Indonesia baik domestik maupun ekspor, menjadi melemah, karena, beberapa sektor industri masih bergantung dari impor bahan baku dan barang modal. Akibatnya, biaya produksi akan naik dan ujung ujungnya harga barang akan menjadi lebih mahal. Risiko lain, yang akan dihadapi Indonesia, jika nilai kurs rupiah terus tergerus, beban pembayaran cicilan dan bunga utang luar negeri pemerintah maupun korporasi akan semakin besar.
Dari sektor domestik, pelemahan ini juga disebabkan oleh isu-isu ekonomi yang relatif masih sama, yaitu bagaimana pemerintah mempercepat belanja agar infrastruktur mulai dibangun dan meyakinkan investor untuk melakukan investasi langsung. Sayangnya, upaya melakukan investasi langsung ini terhambat oleh sentimen pasar yang masih negatif terhadap Indonesia.
Anggota Komisi XI DPR Hendrawan Supratikno berharap kondisi ini tidak berlama-lama. Dia meminta Bank Indonesia (BI) dan Kementerian Keuangan terus mewaspadai pergerakan dolar. BI harus segera mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menjaga agar nilai tukar rupiah tetap dalam batas-batas yang wajar. Langkah ini diperlukan agar kepercayaan masyarakat terhadap rupiah tetap terjaga.
Masalah Fundamental
Anjloknya rupiah terhadap dolar yang mengganggu kestabilan ekonomi kerap terjadi di negeri ini. Peristiwa serupa juga terjadi di Indonesia serta di negara-negara lain, termasuk di negara-negara maju sekalipun seperti amerika Serikat dan Jepang. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa masalah ini sesungguhnya merupakan salah satu ‘penyakit’ dari sistem ekonomi kapitalisme yang secara inheren rentan menimbulkan krisis.
Ada beberapa faktor fundamental yang menjadi sebab krisis pada sistem ekonomi kapitalisme termasuk pelemahan mata uang yaitu Pertama, penggunaan mata uang kertas (fiat money). Indonesia dalam menggunaan mata uang kertas (fiat money) nilai nominalnya tidak ditopang oleh nilai yang bersifat melekat pada uang itu (intrinsic value). Sehingga uang menjadi berharga sebab ia dilegalkan oleh stempel pemerintah atau otoritas moneter suatu negara. Dampaknya, jika ekonomi atau politik negara tersebut melemah, mata uangnya ikut melemah. Standar tersebut juga membuat pemerintah lebih mudah untuk menambah pasokan uang yang selanjutnya dapat mendorong kenaikan inflasi.
Kedua, sistem finansial yang berbasis riba dan bersifat spekulatif. Sektor finansial yang berbasis riba juga merupakan salah satu pemicu utama krisis ekonomi yang melanda negara-negara kapitalis di dunia ini. Transaksi perbankan dan jasa keuangan, juga perdagangan surat utang baik yang diterbitkan pemerintah maupun swasta, tidak lepas dari riba.
Kebijakan bank sentral untuk mengontrol inflasi, mengendalikan nilai tukar mata uang dan menstimulasi perekonomian juga menggunakan kebijakan yang antara lain berbasis riba. Sebagai contoh, jika bank sentral bermaksud memperkuat nilai tukar mata uangnya, maka salah satu cara yang dapat ditempuh adalah menaikkan suku bunga. Dengan demikian diharapkan minat orang untuk berinvestasi di negara tersebut khususnya di sektor finansial meningkat; permintaan mata uang negara itu pun akan meningkat sehingga nilainya menguat. Pada saat yang sama, sektor perbankan secara otomatis akan menaikkan suku bunga pinjaman meski membuat beban debitur meningkat.
Dalam sistem ekonomi kapitalisme, selain perbankan dan penerbitan obligasi, pasar saham menjadi salah satu sumber modal perusahaan yang berbentuk perseroan terbatas (PT). Perdagangan di pasar ini selain dipengaruhi oleh faktor-faktor yang bersifat fundamental juga dipengaruhi faktor-faktor yang bersifat spekulatif. Bahkan aspek spekulasi sangat dominan di pasar ini. Dengan adanya liberalisasi investasi, investor dapat menyerbu dengan mudah pasar saham satu negara dan sebaliknya mereka dapat membuat indeks saham negara tersebut anjlok hanya karena suatu isu yang belum pasti.
Ketiga, Liberalisasi perdagangan dan investasi. Faktor lain yang menjadi penyebab melemahnya rupiah dewasa ini adalah liberalisasi perdagangan dan investasi. Liberalisasi di sektor perdagangan membuat produk-produk asing membanjiri pasar domestik. Di sisi lain, akibat tidak adanya visi negara ini untuk menjadi negara yang tangguh dan mandiri, produsen dalam negeri dibiarkan bersaing bebas tanpa proteksi dan dukungan yang memadai. Akhirnya, barang-barang yang sangat penting seperti pangan dan produk industri-industri strategis yang semestinya diproduksi di dalam negeri, harus bergantung pada impor.
Pada saat yang sama, investor asing diberi keleluasaan untuk berinvestasi di berbagai sektor termasuk sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak seperti di sektor pertambangan dan infrastruktur publik. Dampaknya, aliran dana yang keluar dalam bentuk pendapatan investasi asing baik langsung, portofolio dan investasi lainnya (pendapatan primer) dari tahun ke tahun semakin besar.
Islam Punya Solusi
Kerusakan tatanan moneter Indonesia dan dunia secara umum, tentu membutuhkan solusi fundamental, bukan solusi tambal sulam. Islam sebagai agama sekaligus ideologi, telah memiliki solusi komprehensif atas segala persoalan manusia termasuk dalam masalah standar mata uang. Berdasarkan penggalian para ulama, Islam menetapkan bahwa mata uang yang wajib digunakan oleh negara adalah mata uang emas dan perak .Mata uang emas dan perak memiliki keunggulan, sebagai berikut:
Pertama, pada saat mata mata uang kuat seperti dolar AS kehilangan kepercayaan pada saat krisis, orang tetap ramai-ramai memborong emas/perak. Pasalnya, emas dan perak adalah komoditi, sebagaimana komoditi lainnya, semisal: kambing, besi, atau tembaga.Untuk mengadakannya perlu ongkos eksplorasi dan produksi. Komoditi ini dapat diperjualbelikan apabila ia tidak digunakan sebagai uang. Jadi, emas dan perak termasuk uang komoditi atau uang barang (commodity money). Artinya, emas dan perak mempunyai nilai intrinsik (qîmah dzâtiyyah) pada dirinya sendiri. Beda dengan uang kertas yang tidak memiliki nilai intrinsik pada barangnya sendiri.
Kedua, sistem emas dan perak mampu menjamin kestabilan moneter. Tidak seperti sistem uang kertas yang cenderung membawa instabilitas dunia karena penambahan uang kertas yang beredar secara tiba-tiba. Artinya, mata uang emas/perak tidak dapat dimanipulasi dan dicetak seenaknya oleh pemerintah sebagaimana halnya uang kertas. Dengan demikian standar mata uang emas/perak akan menghapus masalah inflasi yang selama ini ditimbulkan mata uang kertas. Yakni, kemerosotan nilai uang kertas karena banyaknya dan cepatnya uang beredar sehingga menyebabkan naiknya harga barang-barang.
Ketiga, sistem emas dan perak mampu menciptakan keseimbangan neraca pembayaran antar-negara secara otomatis untuk mengoreksi ketekoran dalam pembayaran tanpa intervensi bank sentral. Mekanisme ini disebut dengan automatic adjustment (penyesuaian otomatis) yang akan bekerja menyelesaikan ketekoran dalam perdagangan (trade imbalance) antar negara.
Mekanismenya: jika suatu negara (misal negara A) impornya dari negara B lebih besar daripada ekspornya, maka akan makin banyak emas dan perak yang mengalir dari negara A itu ke negara B. Ini karena emas dan perak digunakan sebagai alat pembayaran. Kondisi ini akan mengakibatkan harga-harga di dalam negara A turun, lalu menyebabkan harga-harga komoditi dalam negara A lebih murah daripada komoditi impor dari negara B, dan pada gilirannya akan mengurangi impor dari negara B. Sebaliknya, dalam sistem uang kertas, jika terjadi ketekoran semacam ini, negara A akan mencetak lebih banyak uang, sebab tak ada batasan untuk mencetaknya. Tindakan ini justru akan meningkatkan inflasi dan menurunkan daya beli pada uang di negara A.(M. Shiddiq AlJawi: 2008).
Dalam sistem emas dan perak, negara tidak mungkin mencetak uang lagi, selama uang yang beredar dapat ditukar dengan emas dan perak pada tingkat harga tertentu. Sebab, negara khawatir tidak akan mampu melayani penukaran tersebut. (Zallum, Al-Amwâl fî Daulah al-Khilâfah, 2004: 226).
Keempat, sistem emas dan perak mempunyai keunggulan sangat prima, yaitu berapapun kuantitasnya dalam satu negara, banyak atau sedikit, akan mencukupi kebutuhan pasar dalam pertukaran mata uang.Jika jumlah uang tetap, sementara barang dan jasa bertambah, uang yang ada akan mampu membeli barang dan jasa secara maksimal. Jika jumlah uang tetap, sedangkan barang dan jasa berkurang, uang yang ada hanya mengalami penurunan daya beli. Walhasil, berapa pun jumlah uang yang ada, cukup untuk membeli barang dan jasa di pasar, baik jumlah uang itu sedikit atau banyak. (Yusanto, 2001: 144).
Hal yang sama tidak dapat dikatakan untuk sistem uang kertas. Jika negara mencetak semakin banyak uang kertas, daya beli uang itu akan turun dan terjadilah inflasi. Jelaslah, sistem emas dan perak akan menghapuskan inflasi. Sebaliknya, sistem uang kertas akan menyuburkan inflasi. (Zallum, 2004: 227).
Kelima, sistem emas dan perak mempunyai kurs yang stabil antar negara.Standar emas/perak akan mengurangi masalah perdagangan internasional akibat ketidakstabilan kurs mata uang. Pasalnya, nilai mata uang negara ditentukan oleh nilai emas dan perak itu sendiri, tidak bergantung pada kekuatan ekonomi dan politik suatu negara. Dengan demikian, pebisnis yang mengandalkan komoditas impor tidak khawatir barang yang diimpor akan menjadi lebih mahal karena mata uang negaranya melemah (depresiasi) atau nilainya diturunkan oleh pemerintah (devaluasi). Pelaku usaha yang melakukan ekspor juga tidak cemas komoditas mereka menjadi lebih mahal di negara lain akibat kurs mata uang mengalami penguatan. Walhasil, mata uang emas akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih pesat dan stabil. (Lajnah Maslahiyah DPP HTI, 2015).
Keenam, sistem emas dan perak akan memelihara kekayaan emas dan perak yang dimiliki oleh setiap negara. Jadi, emas dan perak tidak akan lari dari satu negeri ke negeri lain. Negara manapun tidak memerlukan pengawasan untuk menjaga emas dan peraknya. Mengapa? Sebab, emas dan perak itu tidak akan berpindah secara percuma atau ilegal. Emas dan perak tidak akan berpindah kecuali menjadi harga bagi barang atau jasa yang memang hal ini dibolehkan syariah.Dengan kata lain, tidak akan ada keuntungan investasi asing yang dapat diterjemahkan sebagai kerugian mata uang dalam negeri. (M. Shiddiq AlJawi: 2008).
Itulah enam alasan bahwa sistem mata uang emas dan perak layak digunakan di dunia ini. Namun tinggal satu masalah lagi, bagaimana cara mengembalikan penggunaan sistem mata uang emas dan perak tersebut? Jawabnya, tentu perubahan tersebut bukan dilakukan oleh individu atau komunitas tertentu, namun harus melalui kebijakan negara. Dalam konteks negara Islam (Khilafah)
Comment