RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Rntahlah, terbuat dari apakah hati para pelaku korupsi di negeri ini sehingga tega mencuri jatah rakyat yang sedang dalam kondisi sulit. Seperti belum lama ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan Menteri Sosial, Juliari Peter Batubara sebagai tersangka kasus dugaan suap pengadaan barang atau jasa terkait bantuan sosial penanganan Covid-19 di lingkungan sosial. (kompas.com, 6/12/2020)
Sebuah hadiah pahit di penghujung tahun 2020. Sekali lagi pejabat tinggi negeri tak malu merampok sesuatu yang bukan menjadi miliknya. Lengkap sudah penderitaan rakyat. Betapa tidak, di saat sedang berjuang melawan pandemi, kini disuguhkan kenyataan yang menyakitkan. Dana bantuan sosial yang seharusnya menjadi miliknya masih juga dicurangi.
Rakus. Itulah julukan yang pantas bagi seorang koruptor. Bagaimana tidak, seorang pemimpin yang seharusnya mampu mengemban tugas-tugasnya. Justru berani merampok uang rakyat. Pilunya, hal itu dilakukannya di tengah rakyat yang sedang berjuang melawan wabah virus Covid-19.
Semestinya para penjarah harta rakyat mendapatkan hukuman yang seberat-beratnya atas perbuatannya. Sebagaimana diatur dalam pasal 2 UU Tipikor. Dalam ayat 2 pasal tersebut disebutkan bahwa ancaman maksimal hukuman ialah pidana mati bila korupsi dilakukan dalam keadaan tertentu. (jawapos.com, 15/12/2020)
Namun, apakah dalam sistem saat ini, hukuman mati dapat diterapkan dan mampu meredam tindakan korupsi di negeri ini?
Apakah hukum dan sanksi juga bisa menimbulkan efek jera? Sesuatu yang impossible. Hukum di negeri ini tumpul ke atas tajam ke bawah. Semua hanya wacana saja. Faktanya sampai saat ini belum ada kasus korupsi yang dihukum mati.
Begitupun dengan hukuman penjara tidak akan bisa membuat para koruptor jera. Jangankan menyesali perbuatannya dan akhirnya bertobat. Justru mereka semakin menjadi-jadi. Bahkan di dalam penjara, mereka masih dapat melakukan apapun yang mereka suka.
Bak rumput liar yang semakin subur. Itulah gambaran terhadap fenomena peristiwa korupsi yang kerap terjadi di negeri ini. Mereka dengan pongahnya menjarah, mencuri harta negara demi menumpuk kekayaan pribadi dan para kroni.
Jeratan sistem rusak ini pun telah melupakan peran pentingnya bahwa sebagai seorang wakil rakyat dan atau pejabat sudah seharusnya mengayomi, melayani dan memberikan yang sudah menjadi hak-hak rakyat.
Itulah sistem kapitalisme. Sebuah sistem yang menitikberatkan pada asas manfaat saja. Negara hanya menjadi pelayan para kapitalis. Hubungan kasih sayang kepada rakyat hanya fatamorgana. Tidak ada ketulusan dan keikhlasan. Siapa yang memberikan manfaat besar, maka dialah yang berhak mendapatkan pelayanan istimewa. Begitulah kapitalisme.
Ditambah dengan pemahaman sekularisme yang meninggalkan aturan agama dari kehidupan. Hal inilah yang membuat para petinggi negara berani korupsi. Mereka melabrak aturan Allah Swt.
Halal-haram sudah tidak diindahkan lagi. Mereka lupa bahwa setiap perbuatan yang dilakukan di dunia, pasti ada konsekuensinya yang kelak akan dipertanggung- jawabkan di hadapan Allah Swt. Jelaslaslah bahwa sistem kapitalisme-demokrasi sangat rentan bagi praktik rasuah yang merugikan rakyat ini.
Berbeda dengan sistem Islam. Islam adalah sistem yang baik dan proporsional , yang terlahir dari aturan yang suci, yaitu Al-Qur’an dan as-Sunnah. Aturan Islam sangat relevan diterapkan dalam setiap sendi kehidupan. Islam bukan hanya aturan biasa tetapi sebuah aturan yang sempurna, menyeluruh sehingga mampu menyelesaikan semua problematika kehidupan.
Dalam paradigma Islam, korupsi adalah tindakan khianat yang mencerminkan tingkah laku kemunafikan seseorang. Maka untuk mengatasi permasalah ini, negara dengan seperangkat aturannya telah membuat berbagai kebijakan.
Pertama, negara wajib memberikan pendidikan khususnya akidah Islam bagi setiap individu. Dengan begitu akan muncul keimanan dan ketakwaan yang kuat pada setiap jiwa kaum Islam. Maka kemungkinan amat tipis untuk melakukan tindakan korupsi. Sebab mereka sangat meyakini bahwa Allah Swt selalu mengawasi dan melihat apapun yang dilakukannya.
Kedua, negara wajib memberikan gaji dan memberikan fasilitas yang memadai kepada para pejabatnya. Maka semua kebutuhan yang diperlukan dapat terpenuhi. Seperti sandang, pangan, papan dan kebutuhan yang lainnya.
Ketiga, negara melarang keras setiap pejabat menerima suap dan hadiah. Sebab perbuatan itu jelas telah melanggar aturan Islam.
Negara pun berhak menghitung kekayaan yang dimiliki oleh pegawainya. Bahkan wajib menyita, bila didapati ada yang bukan dari hasil gajinya.
Dalam Islam pun, negara wajib memberi hukuman bagi siapa saja yang berani korupsi. Tentu dengan hukuman yang sesuai atas apa yang telah dilakukannya. Hukumannya itu bisa berupa peringatan, penyitaan harta, pengasingan, kurungan, cambuk bahkan sampai hukum mati.
Begitulah keadilan dalam Islam. Tidak mengenal kasta, jabatan. Semua yang bersalah wajib mendapatkan hukuman, termasuk korupsi. Namun, semua itu dapat terealisasi, bila syariat Islam diterapkan dalam setiap aspek kehidupan. Wallahu a’lam bish-shawab.[]
*Pegiat Literasi dan Alumni Branding for Writer
Comment