Nuni Toid*: Antara Janji Manis Politik  Dan Watak Demokrasi-Sekuler

Opini411 Views

 

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Pandemi masih menyelimuti negeri ini namun gaung dan hiruk pikuk  kampanye pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sudah digelar.

Seperti dikutip idn.times (2/9/2020), tahapan kampanye pemilihan (Pilkada) serentak di Kabupaten Bandung sudah berlangsung sejak 26 September hingga 5 Desember 2020 mendatang. Sejumlah kandidat peserta Pilkada terus memberikan janji politiknya kepada masyarakat agar terpilih sebagai bupati dan wakil bupati, (periode 2021-2026).

Seperti yang dilakukan pasangan calon (Paslon) Bupati Bandung nomor urut 3, Dadang Supriatna dan Syahrul Gunawan. Paslon nomor 3 dengan sebutan ‘Bedas’ ini memperkenalkan Kartu Tani yang akan diberikan kepada para petani jika terpilih sebagai bupati dan wakil bupati Bandung nanti.

Program Kartu Tani ini merupakan program kartu Peduli Umat Melayani Rakyat (PUMR) yang diusung Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) propinsi Jawa Barat bagi para calon Kepala daerah di ajang pemilihan Kepala daerah (Pilkada) serentak 2020.

Program ini bakal dianggarkan sebesar 50 miliar per tahun untuk para petani dengan tujuan untuk mengantisipasi banyaknya petani yang merugi. Kartu Tani ini digagas berdasarkan keprihatinan terhadap kondisi para petani di kalangan Kabupaten Bandung.

Peduli Umat Melayani Rakyat (PUMR) bukan hanya untuk petani, tetapi untuk wirausaha dan guru ngaji. Demikian penjelasan yang disampaikan Kang DS (Dadang Supriatna) yang mempunyai tiga program unggulan kartu PUMR yang akan menjadi prioritas bila dirinya memimpin di Kabupaten Bandung.

Begitupun dengan janji Paslon nomor urut 2,  Yena Iskandar Ma’soem yang menggandeng mantan pemain sepakbola Persib. Ia bertekad akan melakukan perubahan untuk Kabupaten Bandung lebih baik di berbagai sektor terutama sektor kesehatan, pendidikan, dan daya beli masyarakat menjadi fokus utamanya.

Dengan memberikan sentuhan perubahan di tiga sektor itu, maka Yena menilai kesejahteraan masyarakat dan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) di Kabupaten Bandung akan semakin meningkat dan bisa menjadi tertinggi di Jawa Barat bahkan di Indonesia.

Demikian penjelasan Yena yang apabila terpilih nanti mempunyai harapan ingin mewujudkan Kabupaten Bandung yang dinamis, agamis, harmonis dan akan mensejahterakan rakyat sebagaimana dikutip BandungRaya.net 1/10/2020).

Musim kampanye telah tiba. Rakyat pun disuguhkan pemandangan yang luar biasa. Para kontestan mulai sibuk memberikan janji-janji politiknya demi meraih perhatian dan simpati rakyat. Setiap lima tahun sekali rakyat merasa sangat diistimewakan.

Mengapa? Karena rakyatlah yang akan menentukan menang kalah para kontestan. Maka wajar, bila para kontestan berusaha sebaik mungkin untuk memikat hati dan menjatuhkan hak pilihnya.

Berbagai janji politik diobral. Karena sebuah janji dalam berkampanye adalah suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh para kontestan agar rakyat mengetahui visi dan misi yang mereka bawa untuk membangun daerahnya. Namun kenyataannya, janji yang diucapkan hanya lips service, pemanis bibir belaka.

Mereka bersemangat memberi harapan-harapan yang indah namun pada tataran praktis apabila sudah terpilih mereka lupa dengan janji-janji hingga akhirnya tidak direalisasikan sama sekali.

Maka wajar bila saat ini rakyat mulai kurang mempercaya dan menganggap janji-janji dalam pemilu adalah suatu hal yang sudah basi dan tidak perlu ditanggapi. Rakyat sudah mulai cerdas dan akan berpikir kembali untuk menentukan hak suaranya. Sehingga tidak heran saat ini banyak yang tidak memilih atau menggunakan hak pilihn.

Ironis bahwa di tengah rakyat yang sedang bergelut melawan pandemi dan kesulitan hidup yang semakin hari semakin menghimpit ditambah pengangguran semakin membengkak dan imbas PHK besar-besaran karena krisis ekonomi yang banyak menimpa perusahaan, kini rakyat dihadapkan dengan ajang pemilihan Kepala Daerah (pilkada) di tengah.

Kekhawatiran akan penularan virus bisa saja terjadi karena kerumunan massa nantinya. Walaupun sudah mengindahkan protokol kesehatan mereka bisa lupa atau lalai terhadap aturan protokol kesehatan.

Namun yang menjadi permasalahan saat ini adalah sebagian rakyat menjadi pragmatis. Mereka masih menaruh harapan pada calon kontestan pilkada tahun ini untuk bisa memberikan jalan keluar dari permasalahan yang saat ini sedang dihadapi rakyat.

Tentu saja harapannya tidak muluk-muluk, mereka hanya ingin ada perubahan signifikan dalam kehidupan, terutama dari sektor ekonomi. Agar kesejahteraan kembali mereka rasakan.

Mungkinkah Pilkada ini menjadi harapan rakyat untuk dapat hidup sejahtera seperti janji-janji para Paslon dapat terwujud?

Seperti jauh panggang dari api. Walau sudah berkali-kali negeri ini mengadakan pemilu setiap lima tahun sekali namun tetap tidak membawa pengaruh apapun. Justru semakin terjadi kesenjangan yang dalam di segala bidang. Bahkan semakin buruk.

Silih bergantinya pemimpin di negeri ini pun sama saja,  tidak membawa ke arah perubahan yang diharapkan. Rakyat justru semakin sengsara dan terhimpit dari sudut ekonomi.

Bila saat ini kontestan memberi janji-janji manisnya dalam berkampanye dan masih dikungkung oleh sistem yang tidak mampu memberi keadilan maka tidak akan memberikan perubahan apapun.

Semua itu menjadi harapan-harapan semu belaka. Alih-alih berjanji memberikan perubahan, para kontestan yang terpilih nantinya menjadi sibuk dengan urusan golongan dan mulai melupakan janji manisnya.

Itulah watak dan cara berpikir ala demokrasi-sekuler. Mereka tidak tulus untuk mengabdikan dirinya pada rakyat. Rakyat hanyalah alat untuk meraih kepentingan semata.

Maka wajarlah bila para kontestan pilkada pada akhirnya mengingkari janji-janji politiknya. Mengapa? Tidak ada yang makan siang gratis. Kita semua tahu betul betapa mahalnya biaya yang harus dikeluarkan oleh para kontestan untuk meraih kursi kekuasaan. Mereka pun tidak berjalan sendiri, ada di belakang mereka yang berperan.

Tentunya para cukong dan pengusaha-pengusaha besar yang telah ikut berpartisipasi dengan memberikan suntikan dana segar yang harus dikembalikan bersama laba (keuntungan) yang tidak sedikit.

Akhirnya mereka berani melabrak aturan Allah Swt. Aturan agama dijauhkan dari kehidupan. Agama pun hanya sebatas keyakinan saja. Halal-haram sudah tidak dipedulikan.

Kejujuran sudah tidak menjadi tolak-ukurnya. Amanah pun diabaikan. Mereka semakin larut dalam kelalaian. Hingga melupakan akan ancaman Allah Swt yang artinya :

“Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti dimintai pertanggungj-awabannya,” (TQS al-Isra :34).

Begitulah sistem demokrasi-kapitalisme yang menjerat negeri ini. Walaupun kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat didukung slogannya yang sangat terkenal “Dari rakyat, untuk rakyat dan kembali ke rakyat”.

Tetapi pada kenyataannya tidaklah demikian. Rakyat hanyalah sebagai alat untuk mencapai kekuasaan belaka. Sebab sesungguhnya kekuasaan tertinggi hanyalah pada mereka yang telah menanam, memberikan modal terbesar bagi para penguasa negeri.

Maka undang-undang dibuat bukan untuk menjamin kesejahteraan rakyat namun untuk kepentingan golongan

Maka wajar bila sistem ini melahirkan pemimpin-pemimpin yang zalim kepada rakyatnya. Suka berdusta, mudah berjanji, mudah pula mengingkari. Pandai berkhianat, tidak amanah dan lain sebagainya.

Itulah demokrasi semu yang telah mengelabui rakyat. Lalu apakah rakyat rela dan membiarkan sistem ini terus-menerus mengemas kebohongan dan  menghalalkan segala cara plus menindas rakyat kecil?

Tentu saja tidak! Sudah saatnya mengembalikan sistem ini untuk menyadari adagium yang diusungnya, dari, oleh dan untuk rakyat. Bila tidak juga mau sadarkan diri rakyatpun siap mencampakkan sistem barat yang rusak ini.

Mayoritas rakyat indonesia yang muslim tentu berharap agar diimplementadikan sebuah sistem yang bersumber dari Allah Swt yaitu Al-Qur’an dan berpegang teguh pada ajaran Rasulullah saw yaitu as Sunnah.

Dalam sistem Islam kedaulatan penuh ada pada hukum syara yang bersumber langsung dari Allah Swt. Keadilan pun bukan sekedar isapan jempol tetapi menjadi sebuah keniscayaan yang dirasakan secara ril oleh segenap rakyat indonesia tanpa melihat layar belakang suku, agama dan ras.

Pemimpin atau Khalifah wajib berpegang teguh pada syariah Islam dalam setiap kebijakan. Sebab sudah dipastikan kebenarannya. Khalifah akan menjamin terpenuhinya semua kebutuhan pokok rakyatnya, seperti sandang, pangan dan papan.

Khalifah pun memberikan pelayanan kesehatan kepada rakyatnya dengan cuma-cuma (gratis). Begitu pula dengan pendidikan, Khalifah mewajibkan rakyatnya untuk belajar, menuntut ilmu tanpa memungut biaya apapun alias gratis.

Dengan keimanan, dan ketakwaan yang begitu besar kepada Allah Swt, maka dalam menjalankan roda pemerintahannya mampu bersikap adil, jujur, amanah, tidak berkhianat dan tidak menyengsarakan rakyat. Sebab semua kebijakan yang dibuat oleh Khalifah kelak dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt.

Itulah kepemimpinan dalam sistem Islam yang berdasarkan pada Al-Qur’an dan as-Sunnah.

“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu.” (TQS al-Baqarah : 208).Wallahu a’lam bish-shawab.[]

*Alumni Branding for Writer

Comment