Novita Tristyaningsih, Amd.Ak*: Generasi Khairu Ummah Bukan Kpopers

Opini1450 Views

 

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Ali Imran: 110).

Ungkapan “Khairu Ummah” merupakan gelaran istimewa yang disematkan Allah untuk kaum muslimin. Terlintas oleh kita keadaan generasi terdahulu pada masa Rasulullah Saw hingga tabi’ut tabi’in, bagaimana mereka mengukir sejarah dengan tinta peradaban emas gemilang.

Mereka banyak menghasilkan karya-karya bermanfaat untuk umat, khususnya para generasi muda. Hingga saat inipun karya mereka masih kita pakai.

Mulanya Rasulullah menanamkan akidah tauhid kepada kaum beriman hingga terinternalisasi ke dalam jiwa mereka.

Dengan landasan akidah yang kokoh itu, para kader pemimpin dididik dengan kesungguhan. Maka terwujud keberanian dalam menegakkan nilai kebenaran dan tercipta adab yang menghiasi kepribadian Islam. Semua upaya itulah yang telah melahirkan generasi terbaik di Madinah al-Munawwarah.

Namun, saat ini gelaran istimewa itu seolah jauh dari kehidupan kaum muslimin, khususnya generasi muda. Mereka disibukkan dengan hal-hal yang melalaikan hingga kemaksiatan.

Seperti dilansir tirto.id, wakil presiden RI Ma’ruf Amin berharap tren Korean Pop atau K-Pop dapat mendorong munculnya kreativitas anak muda Indonesia. Ia berharap anak muda lebih giat mempromosikan budaya bangsa ke dunia internasional.

K-Pop, Hiburan Ala Kapitalisme

Sudah menjadi rahasia umum bagaimana tren kehidupan artis K-Pop. Hidup di bawah tekanan industri hiburan ala Kapitalisme. Mereka harus tampil menarik di depan layar, dengan menjaga tubuh agar tetap ideal dan good looking.

Untuk mendapatkan hasil tersebut, pada umumnya mereka melakukan operasi plastik untuk mendapatkan wajah yang memukau. Di samping itu, tren bunuh diri di kalangan artis K-Pop kerap terjadi.

Hal tersebut merupakan kondisi tragis yang dialami mereka. Salah satu di antara mereka menuliskan pesan sebelum menghabisi nyawanya sendiri. Membeberkan rasa sakit yang dialaminya selama menjadi idola. Ia dikabarkan menjadi korban kekejaman industri hiburan di Korea Selatan. Diduga ia mendapatkan tindak pelecehan dan kekerasan seksual.

Hal itu menggambarkan dunia hiburan ala kapitalisme mengutamakan daya tarik sehingga menghasilkan daya jual yang tinggi. Tidak bisa dipungkiri, lekat dengan orientasi meraup materi sebanyak-banyaknya.

Hal itu merupakan salah satu ciri khas Kapitalisme. Tidak tampak kebahagiaan sejati yang mereka jalani. Tekanan batin hingga depresi menyelimuti hidup mereka. Maka, hiburan Kapitalisme hanya menghasilkan kebahagiaan semu yang berakhir tragis.

“Ketertarikan warga Indonesia terhadap Korea, juga telah mendorong meningkatnya wisatawan Indonesia ke Korea. Diharapkan wisatawan Korea juga semakin banyak datang ke Indonesia,” ujar Ma’ruf. (Tirto.id, 20/09/20).

Kebudayaan yang rusak tidak patut dijadikan contoh, apalagi hanya memancing pendapatan negara. Karena kebudayaan rusak yang diadopsi generasi millenials berdampak fatal terhadap masa depan dan peradaban bangsa.

Sejatinya semua komponen mendukung generasi millenials untuk mengimplementasikan Islam secara menyeluruh dan menjadi lifestyle. Karena sudah terbukti melahirkan generasi khairu ummah di masanya.

Nabi SAW mengajarkan, “Muru auladakum bi as-shalati wa hum abna’ sab’in.” (Ajarkanlah kepada anak-anakmu shalat, ketika mereka berusia tujuh tahun). Hadits ini sebenarnya tidak hanya memerintahkan shalat, tetapi juga hukum syara’ yang lain.

Anak-anak di usia dini ditanamkan akidah yang kuat, seperti pada usia emas. Ketika beranjak tujuh tahun, mulai diajarkan tentang syari’at Islam seperti halnya sholat.

Pada masa lalu, keluarga kaum Muslim merupakan madrasah pertama bagi anak-anaknya.

Didikan Islam sudah melekat sejak dalam kandungan. Para orang tua membiasakan anak-anak mereka untuk menghafal Alquran dengan cara memperdengarkan bacaannya.

Aktivitas itu membuat mereka mampu menjadi hafidz Alquran sebelum baligh. Di usia emas seperti ini, anak-anak dapat dibentuk menjadi apapun, tergantung orang tuanya.

Karena itu, di era khilafah bermunculan pemuda yang sudah mampu memberikan fatwa. Seperti, Muhammad bin Idris as-Syafii yang kita kenal dengan Imam Syafi’i merupakan salah satu generasi peradaban Islam yang sudah bisa memberikan fatwa saat usianya belum genap 15 tahun.

Selain penguasaan ilmu pengetahuan yang begitu luar biasa, mereka juga dibiasakan oleh orang tua mereka untuk mengerjakan shalat, berpuasa, berzakat, shodaqoh hingga berjihad.

Para orang tua juga negara mendukung pembentukan generasi tangguh, ksatria, dan cerdas, output pendidikan tidak membentuk para pekerja yang menghasilkan materi. Tetapi, menjadi manusia yang bertaqwa kepada Allah dan bermanfaat untuk umat.

Dengan bekal ilmu yang membentuk aqliyah dan nafsiyah Islam yang mantap serta bermental ksatria, kehidupan pemuda di era khilafah jauh dari hura-hura ataupun mengidolakan manusia, dugem, dan kehidupan hedonis lainnya.

Mereka tidak mengonsumsi alkohol, atau narkotika baik sebagai dopping, pelarian, atau sejenisnya. Karena keimanan mereka kepada qadha Allah membuat tawakal mereka semakin mantap, sabar dalam menjalani kehidupan sehingga terhindar dari stres dan depresi, apalagi sampai bunuh diri.

Berbagai pintu maksiat ditutup rapat oleh negara. Sanksinya tegas dan keras serta memberikan efek jera pada pelaku maupun yang menyaksikannya, sehingga berpikir ulang untuk melanggar aturan tersebut.

Karena kehidupan mereka jauh dari kelalaian, maka generasi muda di era khilafah sangat produktif dalam menghasilkan karya-karya. Banyak karya ilmiah yang dihasilkan saat usia masih muda. Seperti Imam an-Nawawi, bisa menghasilkan berjilid-jilid kitab ketika umurnya masih 20 tahunan. Pun para ilmuwan Islam di bidang sains, teknik, dan sebagainya terlahir dari peradaban Islam.

Agar masyarakat, khususnya generasi muda tidak terperosok dalam kemaksiatan, maka mereka harus disibukkan dengan ketaatan. Seperti membaca, mendengar atau menghafal Alquran, hadits, kitab-kitab tsaqafah para ulama’, atau berdakwah di tengah-tengah umat, berjihad, dan menuntut ilmu sampai menghasilkan sesuatu yang bermanfaat untuk umat.

Hal tersebut tentu saja membutuhkan peran negara dengan sistemnya yang agung. Peradaban emas seperti ini hanya pernah terjadi dalam sistem kepemimpinan Islam, yakni khilafah, bukan yang lain.Wallahu’alam bisshowab.[]

*Member Komunitas Aktif Menulis

Comment