Novita Darmawan Dewi*: Karut Marut Pendidikan Sekular Di Masa Pandemi

Opini510 Views

 

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Pelaksanaan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) sampai saat ini masih banyak menemui kendala. Sebab, di daerah-daerah terpencil masih banyak ditemukan para siswa yang tidak memiliki smartphone.

Ketua Komisi X DPR RI, Syaiful Huda melihat adanya dilema, di satu sisi pandemi Covid-19 masih merajalela, sementara di sisi lain kegiatan belajar harus tetap berjalan. Oleh karena itu menurutnya instrumen yang paling mungkin dilakukan adalah memperkuat program PJJ, sehingga dibutuhkan terobosan dan inovasi dari Kemendikbud terkait PJJ ini. (https://jabarekspres.com/2020/ketua-komisi-x-dpr-ri-syaiful-huda-minta-percepat-kurikulum-darurat-pjj/)

Tidak Sinkron

Keputusan Pemerintah untuk tidak menyelenggarakan pembelajaran tatap muka di zona rawan Covid-19 memang patut diapresiasi. Namun pada tataran pelaksanaan, banyak kebijakan yang kontradiktif.

Sebagai contoh, Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Kamaruddin Amin mengatakan sebagian pesantren masih menyelenggarakan proses belajar mengajar dalam asrama pada masa pandemi Covid-19 (bisnis.com, 15/6/2020).

Selain itu di daerah juga ada kebijakan yang berbeda, misalnya di Jawa Timur. Diberitakan oleh cnnindonesia.com (11/6/2020), sejumlah pondok pesantren di Jawa Timur (Jatim) bersiap memanggil para santrinya untuk kembali mondok setelah dipulangkan karena pandemi virus corona (Covid-19). Terkait hal tersebut, Pemerintah Provinsi Jatim pun mencanangkan protokol khusus dengan tajuk “Pesantren Tangguh”.

Kontradiksi kebijakan ini menunjukkan bahwa terjadi ketidaksinkronan elemen pemerintah yang satu dengan lainnya. Kondisi ini tidak akan terjadi jika pemimpin tertinggi mampu mengomando para pejabatnya untuk satu kata terkait bagaimana melakukan pengelolaan terhadap sistem pendidikan di masa pandemi.

Satu komando, satu kebijakan yang selaras, sehingga terwujud kesamaan sikap menghadapi pandemi. Sayangnya hal ini tidak terwujud karena kepemimpinan yang lemah.

Identifikasi Masalah

Sejatinya, pemerintah perlu mengevaluasi ulang kurikulum yang diberlakukan. Kondisi pandemi adalah kondisi abnormal. Kesehatan dan keselamatan jiwa murid adalah prioritas. Kurikulum biasa yang berdasar kondisi normal tak bisa diterapkan pada masa pandemi. Jika dipaksakan, hasilnya adalah kecemasan massal pada murid dan orang tua.

Ketua Komisi X DPR RI, Syaiful Huda, juga meminta Mendikbud Nadiem Makarim untuk merumuskan ulang kurikulum pembelajaran jarak jauh (PJJ) selama pandemi virus corona yang belum diketahui kapan berakhirnya.

Sebab, dalam tiga bulan terakhir, siswa-siswi yang belajar dari rumah mengeluhkan kurikulum yang padat konten, sehingga tak mendorong anak untuk belajar mandiri.

Sebenarnya momen pandemi ini merupakan kesempatan emas untuk mengedukasi generasi agar tangguh menjaga diri, disiplin pada kebersihan dan kesucian, peduli kehidupan, pandai bersyukur pada Sang Pemberi Nikmat, ringan untuk berbagi, semangat beribadah, bergairah untuk mencari solusi atas masalah yang sedang terjadi, dan aneka aspek positif lainnya.

Semua aspek tersebut ada dalam kurikulum Islam. Bahkan kebiasaan baik di masa pandemi yaitu mencuci tangan, menjaga kebersihan, dan social distancing ada dalam ajaran Islam. Oleh sebab itu, kurikulum Islam akan menjadi bagian dari solusi terhadap pandemi, bukan perkara yang justru memperberat dampak pandemi. Ini karena Islam adalah ideologi yang memberi solusi sahih dari Sang Pencipta.

Mendesak Implementasi Kurikulum Alternatif Persfektif Islam

Kurikulum Islam ketika diterapkan pada masa pandemi, tidak akan menyebabkan kecemasan massal. Karena tolok ukur keberhasilan siswa bukan jawaban di atas kertas, melainkan pemahaman siswa yang bisa diukur secara alami. Orang tua dalam sistem Islam juga dididik untuk faqih dalam agama. Sehingga orang tua bisa ikut berperan aktif melakukan pengajaran dalam proses pendidikan anak-anaknya.

Kini adalah saat yang tepat untuk mengevaluasi total sistem pendidikan kita. Jika pendidikan masih fokus pada transfer materi dan bukan pembentukan kepribadian, selama itu pula pendidikan akan jadi beban berat siswa.

Dalam Islam, pendidikan adalah kebutuhan pokok seluruh rakyat yang wajib dipenuhi oleh negara (Daulah Khilafah). Oleh karena itu, negara menjamin setiap rakyatnya baik laki-laki maupun perempuan dari segala kalangan mendapatkan pendidikan berkualitas tanpa memungut biaya.

Islam menjadikan aqidah sebagai dasar kurikulum pendidikan. Dengan keyakinan penuh bahwa untuk mewujudkan generasi berjiwa pemimpin memerlukan kurikulum berkualitas yang disusun berdasarkan dan berorientasikan ideologi Islam bukan pasar.

Materi dan metode pendidikan didesain sedemikian rupa sehingga peserta didik memahami dan meyakini bahwa eksistensi Allah Swt dengan segala sifat-sifat uluhiyahnya adalah realitas.

Kesadaran ini dimanifestasikan dengan memandang keridhoan Allah Swt sebagai kebahagiaan tertinggi, dan keterikatan kepada syariat Allah Swt adalah hal yang mutlak. Disamping itu peserta didik memandang Islam sebagai sistem kehidupan satu-satunya yang layak bagi manusia.

Di atas prinsip-prinsip ini nilai-nilai akhlak mulia benar-benar menghiasi segenap aktivitas pelajar.

Agar output pendidikan menghasilkan SDM yang sesuai harapan, harus dibuat sebuah sistem pendidikan terpadu. Artinya, pendidikan tidak hanya terkonsentrasi pada satu aspek saja. Sistem pendidikan yang ada harus memadukan seluruh unsur pembentuk sistem pendidikan yang unggul.

Dalam hal ini, minimal ada 3 hal yang harus menjadi perhatian, yaitu: Pertama, sinergi antara sekolah, masyarakat dan keluarga. Pendidikan yang integral harus melibatkan tiga unsur di atas. Sebab, ketiga unsur tersebut menggambarkan kondisi faktual obyektif pendidikan.

Saat ini ketiga unsur tersebut belum berjalan secara sinergis, di samping masing-masing unsur tersebut juga belum berfungsi secara benar.

Buruknya pendidikan anak di rumah memberi beban berat kepada sekolah/kampus dan menambah keruwetan persoalan di tengah-tengah masyarakat seperti terjadinya tawuran pelajar, seks bebas, narkoba, dan sebagainya.

Pada saat yang sama, situasi masyarakat yang buruk jelas membuat nilai-nilai yang mungkin sudah berhasil ditanamkan ditengah keluarga dan sekolah/kampus menjadi kurang optimal. Apalagi jika pendidikan yang diterima di sekolah juga kurang bagus, maka lengkaplah kehancuran dari tiga pilar pendidikan tersebut.

Kedua, kurikulum yang terstruktur dan terprogram mulai dari tingkat TK hingga Perguruan Tinggi. Kurikulum sebagaimana tersebut di atas dapat menjadi jaminan bagi ketersambungan pendidikan setiap anak didik pada setiap jenjangnya.

Selain muatan penunjang proses pembentukan kepribadian Islam yang secara terus-menerus diberikan mulai dari tingkat TK hingga PT, muatan tsaqâfah Islam dan Ilmu Kehidupan (IPTEK, keahlian, dan keterampilan) diberikan secara bertingkat sesuai dengan daya serap dan tingkat kemampuan anak didik berdasarkan jenjang pendidikannya masing-masing.

Pada tingkat dasar atau menjelang usia baligh (TK dan SD), penyusunan struktur kurikulum sedapat mungkin bersifat mendasar, umum, terpadu, dan merata bagi semua anak didik yang mengikutinya.

Di tingkat Perguruan Tinggi (PT), kebudayaan asing dapat disampaikan secara utuh. Ideologi sosialisme-komunisme atau kapitalisme-sekularisme, misalnya, dapat diperkenalkan kepada kaum Muslim setelah mereka memahami Islam secara utuh. Pelajaran ideologi selain Islam dan konsepsi-konsepsi lainnya disampaikan bukan bertujuan untuk dilaksanakan, melainkan untuk dijelaskan dan dipahami cacat-celanya serta ketidaksesuaiannya dengan fitrah manusia.

Semua konsep Pendidikan Islam yang komprehensif tersebut bisa kompatibel di masa apapun termasuk di masa pandemi seperti saat ini, tinggal pertanyaanya, maukah kita menerapkan sistem agung dari Allah Swt ini? Wallâhu a’lam bi ash-shawâb.[]

*Pegiat di Komunitas Ibu Ideologis (‘Tas Bude’)

Comment