Nita Savitri,drg*: Ilusi Kesejahteraan Di Tengah Ledakan Utang

Opini677 Views

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Utang, dan kembali berutang seakan sudah menjadi solusi bagi masalah ekonomi negeri ini. Dari awal negara ini didirikan, dan berlanjut sampai sekarang. Tidak luput adanya jeratan utang yang membelenggu walau berganti kepemimpinan negara.

Apalagi di masa pandemi Covid-19, hampir semua negara mengalami keterpurukan ekonomi. Termasuk Indonesia sebagai negara berkembang, berupaya bangkit dengan menambah utang luar negerinya.

Sampai akhir September 2020, total utang Indonesia tercatat lebih dari 5.700 triliun rupiah. Diantaranya total utang pemerintah yang tercatat 864,29 triliun rupiah.

Menkeu Sri Mulyani mengungkap sejauh ini utang Indonesia dalam kondisi aman dan terkendali. Juga adanya perencanaan utang dalam Perpres 72/2020. Sehingga beliau malah heran terhadap pihak-pihak yang mengkhawatirkan utang.

Apalagi sekarang terdapat perpanjangan masa cicilan utang yang dinamakan Debt Service Suspension Inisiative (DSSI). DSSI adalah inisiatif untuk memberikan fasilitas relaksasi bagi pembayaran utang negara-negara rentan, yang saat ini dihadapkan pada kondisi ekonomi dan fiskalnya yang sangat sulit. (CNBC, Indonesia, 22/11/20)

Lonjakan kenaikan dalam waktu dua minggu, Presiden telah menambah utang baru. Jumlah totalnya utang bertambah sebesar lebih dari Rp 24,5 triliun. Utang baru tersebut merupakan kategori pinjaman bilateral.

Rincian utang luar negeri itu berasal dari Australia sebesar Rp 15,45 triliun dan utang bilateral dari Jerman sebesar Rp 9,1 triliun. Kesemuanya untuk penanggulangan pandemi Covid-19. (Kompas.TV, 21/11/20)

Walau Bank Indonesia melaporkan bahwa Indonesia menduduki peringkat ketujuh setelah China, Brazil, India, Rusia, Meksiko, dan Turki, negara ini masih menganggap sebagai hal yang wajar dan membanggakan.

Pemerintah menanggapi bahwa hal ini karena perbandingan yang di maksud tidak menyertakan negara-negara maju. Sehingga terlihat bahwa posisi Indonesia, masuk dalam golongan 10 negara dengan ULN terbesar. Ditambah adanya struktur ULN Indonesia tetap didominasi ULN berjangka panjang. ( Kompas.com, 14/10/20)

Melonjaknya ULN ini menuai banyak kritik. Salah satunya datang dari mantan Menteri Keuangan (Menkeu) Rizal Ramli. Ia menyebut, pemerintah dinilai keliru jika terus menambah ULN. Baik utang dari pinjaman bilateral (dari satu negara ke negara lain), atau dari obligasi. (Kompas.com, 22/11/20).

Bahkan Ekonom Institute for Development of Economics and Finance atau Indef, Bhima Yudhistira mengkritik dengan semakin bertambah utang negara, maka setiap satu orang penduduk di era pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin tercatat akan menanggung utang Rp 20,5 juta, dengan perhitungan utang pemerintah Rp 5.594,9 triliun per Agustus 2020 dibagi 272 juta penduduk.(Warta Ekonomi, 20/10/20)

Bank Dunia pun memuji sikap Pemerintah dalam mengendalikan jumlah utang. Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Padjaitan mengungkapkan bahwa ketika orang berpikir utang Indonesia berlebihan, Bank Dunia justru mengapresiasi kehati-hatian pemerintah Indonesia.

Luhut juga menceritakan bahwa Bank Dunia turut memberi pujian kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang dinilai cermat melakukan perhitungan dan menjaga level utang.

Di sisi lain, politisi Fadli Zon berpendapat bahwa pujian Bank Dunia kepada pemerintah Indonesia itu wajar lantaran ia menganggap bahwa yang menjadi patokan adalah harapan Bank Dunia itu sendiri, bukan rakyat.(Suara.com, 21/6/20)

Bank Dunia ketika memberi pinjaman kepada negara yang butuh utang, tentu sudah melihat prospek keuntungan yang bisa diambil dari negara yang berutang. Adanya utang dalam sistem Kapitalis, pasti disertai bunga/riba. Berupa kelebihan dari jumlah pinjaman. Nilai utang berikut bunganya distandarkan kepada Dollar.

Mata uang negara adidaya, Amerika Serikat. Maka naik-turunnya nilai Dollar akan menentukan besarnya utang. Dan hal ini bisa digunakan tuk mengendalikan kebijakan negara yang berutang. Tuk bertujuan menguasai kekayaan SDA-nya.

Adanya transaksi utang dikarenakan, anggaran pendapatan negara tidak mencukupi kebutuhan pembelanjaan dan pembangunan negara.

Pemasukan negara berkurang, sementara pengeluarannya meningkat. Salah satu sumber pemasukan negara Indonesia selain utang, adalah pajak. Dikarenakan banyak perusahaan gulung tikar, di masa pandemi.

Maka jumlah pajak pun menurun. Banyaknya terjadi PHK, karena perusahaan tidak sanggup membayar gaji karyawan yang ‘diam’ di rumah. Berakibat menurunnya daya beli masyarakat, karena tidak mempunyai atau menipisnya simpanan uang.

Inilah permasalahan yang tak kunjung selesai bagi negara berkembang yang menjadi ‘pengekor’ Kapitalis. Ketidak berdayaan ekonomi, politik, hankam memang menjadi tujuan negara pemberi utang.

Ketika hampir semua sumber daya alam dikuasai oleh asing, dan negara dimiskinkan dengan ketergantungan terhadap utang sebagai pemasukan negara. Walau utang jangka panjang sekalipun, tetaplah utang plus bunganya akan diwariskan terhadap generasi mendatang.

Hal ini bertolak belakang dengan Sistem Islam, yang mengutamakan kemandirian. Tidak tergantung kepada negara lain. Negara memiliki sumber pendapatan yang banyak.

Selain berasal dari harta kepemilikan umum berupa sumber daya alam yang melimpah, juga terdapat harta Fa’i, Kharaj, ghanimah, zakat dan jizyah. Jika negara dalam keadaan paceklik/krisis, negara akan mengenakan pajak bagi warga negara yang mampu saja. Tidak berlaku merata bagi seluruh rakyat.

Maka InsyaAllah kesejahteraan bisa terwujud bila diterapkan sistem Islam yang akan memberi jaminan terpenuhinya kebutuhan primer warganya.

Hasil pengolahan yang mandiri dari SDA akan meniadakan utang. Sehingga negara bebas menentukan kebijakan bagi kesejahteraan seluruh rakyat. Wallahua’lam bishawwab []

Nita Savitri,drg*: Ilusi Kesejahteraan Di Tengah Ledakan Utang

Comment