RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA Kasus pandemi virus Corona masih menghipnotis warga dunia. Semua media baik cetak maupun elektronik menggaungkan penyebaran virus dan penambahan korban terinfeksi setiap harinya.
Per tanggal 30 Maret korban positif 1.414, sembuh 75 orang, meninggal 122 pasien. Demikian dilaporkan jubir Menkes Ahmad Yurianto dalam siaran live setiap sore.
Walau ada indikasi kesembuhan, tapi laju cepat covid-19 telah menyebar di seluruh pulau besar Indonesia. Dari pejabat internasional, nasional sampai rakyat biasa tak luput disapa oleh virus dari Wuhan, Cina.
Sudah banyak wilayah memilih karantina lokal bagi daerahnya. Tercatat Papua, Tegal, Bali, Maluku sebagai langkah yang jitu memutus penyebaran Covid-19.
Walau berbeda dengan kebijakan pemerintah pusat yang masih menganggap belum perlu karantina, tapi cukup dengan menumbuhkan kesadaran social /physical distancing dan himbauan larangan mudik.
Meroketnya jumlah pasien Covid-19, per-harinya di Indonesia membuat sejumlah kalangan menilai perlunya lockdown. Mengingat penyebaran virus ini ditunjang dengan perpindahan manusia maka adanya social distancing bahkan physical distancing yang kini tengah dicanangkan, dinilai belum cukup memutus penularan Covid-19.
Penerapan social distancing, memang membuat sebagian masyarakat patuh berdiam diri dalam rumah masing-masing. Mereka keluar hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan emergency lainnya. WFH (Work From Home) bagi kalangan pebisnis, ASN, pegawai kantor swasta, guru dan pelajar yang bersekolah dari rumah memang sudah dicanangkan dan kini diperpanjang dua pekan berikutnya.
Tetapi banyak juga dari kalangan masyarakat yang terpaksa keluar rumah karena tuntutan kebutuhan mencari nafkah buat keluarga. Mereka adalah pekerja di sektor informal, yang menggantungkan hidupnya di jalan setiap harinya. Pedagang keliling dan kaki lima, Ojol, sopir angkutan, dan pekerja harian lainnya yang tidak akan mendapat uang jika mereka tidak keluar rumah untuk bekerja.
Pertimbangan kenapa tidak memilih lockdown, Presiden telah menyatakan adanya perbedaan karakter, budaya dan disiplin dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan negara lain (Katadata,24/03/20).
Dalam rapat terbatas dengan Gugus Tugas Percepatan Penanggulangan Bencana, Presiden dalam teleconference dari istana Bogor menegaskan bahwa cukup dengan physical distancing dan pembatasan sosial berskala besar, yang lebih efektif dan disiplin dengan kebijakan darurat sipil dalam menangani masalah ini (Kompas.com,30/3/20).
Banyak kalangan menyayangkan keputusan tersebut, terkait tidak pas dengan situasi bencana pandemi Covid-19 jika ditangani dengan darurat sipil.
Ahli ekonomi dari Universitas Indonesia, Faisal Basri menyatakan solusi lockdown alias karantina wilayah yang tepat untuk menghambat laju virus ini. Memang akan berdampak pada tekanan ekonomi di awal tapi akan cepat memutus penyebaran Covid-19 dan menyelamatkan jiwa masyarakat lebih besar (Tirto.id,28/03/20).
Sementara aktivis dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menyatakan agar pemerintah tetap mengacu kepada UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan sebagai payung hukum dalam mengatasi pandemi Corona.
Melalui juru bicara Presiden, Fadjroel Rachman menjelaskan bahwa kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dikaitkan dengan Karantina Kesehatan. Membatasi ruang gerak masyarakat dalam skala besar yang dicurigai terjadinya penularan wabah. Sedangkan adanya darurat sipil dipakai jika keadaan sangat buruk (Suara.com,303/20).
Jika ditinjau dari perbedaan kebijakan ahli dan aktivis masyarakat dengan pemerintah adalah ada tidaknya jaminan kebutuhan hidup oleh negara semasa lockdown/karantina wilayah dengan sebatas PSBB.
Inilah yang disayangkan oleh banyak pihak, kenapa pemerintah lepas tanggung jawab dari apa yang menjadi kewajibannya untuk menanggung kebutuhan hidup rakyat selama masa pandemi.
Adanya sosialisasi stay at home dan himbauan untuk tidak mudik akan sia-sia jika kebutuhan perut tidak diperhatikan. Mereka berdalih jika di rumah saja, ancaman kelaparan akan menerpa. Sedangkan untuk kaum urban jika mereka tinggal di perantauan sementara pintu nafkah ditutup, mustahil bisa makan dan mengirimi uang ke kampung halaman.
Maka dua kelompok inilah yang mestinya dapat jaminan kebutuhan hidup dari pemerintah agar mereka tidak keluar atau mudik.
Lockdown dengan menutup akses masuk dan keluar negara, memang akan berdampak pada penghentian ekonomi nasional dan internasional. Tetapi justru inilah yang akan memutus penyebaran Covid-19 secara cepat.
Itu pula yang dilakukan China, Malaysia, Italia, India, Prancis, Spanyol, Venezuela dan negara lainnya menutup negaranya selama dua minggu sampai sebulan atau dua bulan.
Solusi lockdown sebenarnya sudah tidak asing. Islam sebagai sistem yang sempurna telah menerapkannya di masa Rasulullah dan sahabat Umar bin Khattab ketika menghadapi wabah penyakit kusta di daerah Syam. Sahabat Umar yang waktu itu menjabat pemimpin negara Islam (khilafah) telah memerintahkan menutup akses masuk dan keluar Syam dan mengurungkan niat beliau untuk berkunjung ke wilayah tersebut.
Hal ini setelah sahabat Abdurrahman nin Auf membacakan hadits Rasulullah SAW :
إِذَا سَمِعْتُمْ بِالطَّاعُونِ بِأَرْضٍ فَلاَ تَدْخُلُوهَا، وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلاَ تَخْرُجُوا مِنْهَا
Artinya: “Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu.” (HR Bukhari).
Gubernur Syam, Ubaidah bin Jarrah memberi jaminan kebutuhan hidup kepada semua penduduknya baik yang sakit dan sehat. Memisahkan orang sakit dengan yang sehat. Beliau turun langsung menengok rakyatnya yang sakit, hingga akhirnya beliau pun tak luput dari serangan wabah dan meninggal syahid karenanya.
Adanya jaminan kebutuhan pokok dalam Islam merupakan tugas pemimpin sebagai pelayan umat yang memenuhi kebutuhan pokok rakyat di kala wabah ataupun tidak. Kebutuhan pangan, pakaian, rumah, pendidikan dan kesehatan dijamin oleh negara dengan mengelola harta kepemilikan umum secara mandiri tidak memberi kesempatan asing ataupun swasta untuk menguasainya yang terdiri dari :
– segala sesuatu yang menjadi kebutuhan penting bagi seluruh masyarakat, yang ketiadaannya akan membuat kehidupan masyarakat tidak berjalan dengan baik. Kelompok ini seperti bahan bakar minyak, air, tanah gembalaan dsb, yang menyangkut kebutuhan vital seluruh masyarakat.
– Berbagai komoditas yang secara alami tidak mungkin menjadi milik pribadi seperti lautan, sungai, gunung, taman, jalan dan fasilitas umum lainnya.
– Barang tambang yang nilai depositnya tidak terbatas/ melimpah besar, seperti kekayaaan tambang mineral meliputi emas, tembaga, uranium, alumunium, besi, timah, dll.
Harta dari kepemilikan umum inilah yang bisa menjadi pos penyaluran kebutuhan warga negara agar terpenuhi secara makruf jika situasi darurat bencana.
Maka dapat dibayangkan kondisi warga yang akan mematuhi pemimpinnya ketika terpenuhi hajat hidupnya dan tercapainya kesejahteraan secara merata bagi seluruh warga negara.
Inilah sistem mulia dari Rasulullah SAW yang kejayaannya sudah teebukti berlangsung selama 13 abad lebih.
Sistem yang tidak memikirkan untung-rugi terhadap rakyat. Justru adanya rakyat membuat para pemimpin senantiasa mengutamakan mereka di atas kepentingan pribadi/ kelompok karena beratnya pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT pada saat yaumil hisab.
ISLAM dengan aturannya yang universal menjadi kado istimewa buat manusia sebagai rahmatan lil alamin tanpa membedakan latar belakang status, suku dan bangsa. []
*Praktisi kesehatan, Penulis, Komunitas Ibu Peduli Negeri
Comment