RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Aroma Pilkada sudah menyebar. Walau pandemi Covid-19 masih belum sirna, ajang perhelatan Pemilihan Kepala Daerah tetap dilakukan.
Telah banyak partai yang mengumumkan calon untuk maju bertarung dalam pilkada Desember 2020 mendatang.
Pilkada walikota Solo, menyedot perhatian masyarakat. Salah satu kandidatnya Gibran Rakabuming, putra sulung Presiden Jokowi.
Gibran yang berpasangan dengan Teguh Prakosa saat ini sudah mendapatkan dukungan resmi dari PDI-P, parpol tempat Jokowi bernaung. Keputusan resmi inilah yang menuai protes banyak kalangan.
Sebelum nama Gibran Rakabuming muncul di bursa pencalonan, DPC PDIP Kota Solo memutuskan Wakil Wali Kota Solo petahanan Achmad Purnomo berpasangan dengan Sekretaris DPC PDIP Solo, Teguh Prakosa yang diajukan ke DPP PDIP untuk mendapatkan rekomendasi.
Nama Pasbalon Wali Kota Solo periode 2020-2025 itu terjaring lewat tingkat anak ranting sampai cabang partai. Sedangkan Gibran Rakabuming yang sebelumnya tidak tercatat sebagai anggota PDIP, melakukan manuver politik yang pertama bertemu Ketua DPC PDIP Kota Solo, FX Hadi Rudyatmo, yang merupakan Wali Kota Solo (Pikiran Rakyat, 23/7/20).
Selain Gibran, menantu Jokowi, Bobby Nasution juga tengah berupaya mendapatkan dukungan parpol untuk maju di pemilihan wali kota Medan 2020 (Kompas,18/7/20). Bobby Afif Nasution atau Bobby Nasution yang berniat maju di Pilkada Medan hingga kini belum mendapat persetujuan resmi. Dalam pengumuman 45 rekomendasi Pilkada 2020, PDI-P belum merilis siapa yang bakal diusung di Pemilihan wali kota Medan.
Banyak kalangan menilai hal tersebut sebagai langkah membangun dinasti politik bagi petahanan seperti diungkap oleh pengamat politik dari Universitas Al Azhar Ujang Komarudin. Pencalonan keluarga Presiden di pilkada akan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang.
Sebab, Presiden memiliki semua sumber daya untuk bisa memenangkan calonnya mulai dari kekuasaan, jaringan, birokrasi, hukum, finansial, dan lain-lain (Kompas,18/7/20).
Walau hal ini disanggah oleh Presiden Jokowi dengan beralasan bahwa anaknya adalah bagian dari rakyat Indonesia.
Juga berhak untuk mencalonkan diri dalam pilkada sebagaimana rakyat lainnya. Dirinya tidak akan mencampuri menang/kalahnya anaknya. Semua ditentukan oleh rakyat yang memilih. Adanya dinasti politik terjadi jika dirinya secara spesifik menunjuk anggota keluarganya menduduki jabatan tertentu (Kompas,13/7/20).
Oligarki dan Dinasti Politik
Oligarki adalah bentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya secara efektif dipegang oleh kelompok elit kecil dari masyarakat, baik dibedakan menurut kekayaan, keluarga, atau militer.
Istilah ini berasal dari kata dalam bahasa Yunani untuk “sedikit” dan “memerintah” (wikipedia.org). Pun menurut KBBI dijelaskan oligarki adalah pemerintahan yang dijalankan oleh beberapa orang yang berkuasa dari golongan atau kelompok tertentu.
Dinasti politik adalah kekuasaan yang secara turun temurun dilakukan dalam kelompok keluarga yang masih terikat dengan hubungan darah tujuannya untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan.
Dengan Dinasti politik pergantian Kepemimpinan mirip Kerajaan, Sebab kekuasaan di wariskan turun temurun dari pemilik dinasti kepada ahli warisanya agar kekuasaan tetap berada di lingkungan keluarga (Wikipedia.org)
Menurut akademisi Universitas Gajah Mada, Kuskrido Ambardi dalam diskusi akhir tahun FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta politik dinasti dan kartelisasi (oligarki) politik adalah dua hal yang berbeda.
Jika dinasti itu dilakukan pribadi-pribadi. Sedangkan kalau oligarki itu (dilakukan) partai politik (Rmol.Banten,18/2/19).
Kemunculan oligarki terjadi karena dalam sistem demokrasi, kemenangan sebuah partai politik ditentukan oleh suara terbanyak. Hal ini bisa dicapai dengan adanya pengaruh kekuasaan, uang, dan pengaruh politik yang dimilikinya.
Semakin besar partai, potensi mendulang suara terbanyak semakin besar. Sehingga oligarki sebuah keniscayaan dalam demokrasi. Suara terbanyak pun bisa dimanipulasi melalui kekuatan politik yang dimiliki partai.
Oligarki akan semakin bertahan jika terdapat dinasti politik dalam partai. Suatu dinasti politik memungkinkan untuk melanggengkan kekuasaan bagi kelompok/keluarga tertentu yang berada dalam satu partai.
Semakin banyak dinasti, mempermudah gerak partai dalam mempertahankan kekuasaan. Demokrasi tidak akan menghalangi, karena syarat kemenangan hanya melalui suara terbanyak.
Adanya money politic dalam pemilu/ pilkada seakan hal biasa bagi kandidat untuk meraih kemenangan. Hal ini karena sistem yang menaungi pemerintahan sekarang masih kapitalis. Menghalalkan segala cara tuk meraih semua tujuan.
Kekuasaan dalam Islam
Berbeda dengan kapitalis, yang menghalalkan segala cara dalam meraih kekuasaan. Islam sangat menekankan adanya kekuasaan adalah amanah dari rakyat yang akan dimintai pertanggungjawaban oleh Pemilik Kedaulatan tertinggi yaitu Allah Subhanahu Wa Ta’alaa. Hal ini tertuang dalam hadits :
“Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau seorang yang lemah dan sesungguhnya jabatan itu adalah suatu amanah, ia (amanah, red.) adalah kehinaan dan penyesalan di hari kiamat kecuali yang menjalankannya dengan baik dan melaksanakan tanggungjawabnya. (HR. Muslim).
Maka hanya orang-orang yang memenuhi syarat keimanan dan kapabilitas memimpin bisa mencalonkan dirinya untuk dipilih menjadi pemimpin.
Adanya dukungan rakyat/umat diyakini diperoleh secara jujur tanpa kecurangan/manipulasi. Sosok yang dipilih bukan karena kekuasaan dan hartanya, tapi lebih mengedepankan ketaqwaan dan kemampuan politiknya.
Kalaupun terjadi semacam dinasti dalam beberapa periode, karena praktek kekuasaan turun temurun, tetaplah ketaqwaan yang menjadi syarat utama disertai dukungan umat.
Tidak ada pengaruh uang dan jabatan dalam pemilihan. Kenihilan faktor uang inilah yang akan membuat kekuasaan murni untuk mengabdi dan melayani umat, karena tidak ada biaya tinggi dalam meraih kekuasaan.
Hal ini seperti dalam pemerintahan Sultan Harun Ar-Rasyid, Khalifah dalam dinasti kelima dari Bani Abbasiyah pada periode 786-809 M. Beliau menduduki tampuk kepemimpinan setelah ayah dan kakak laki-lakinya terlebih dulu memegang tampuk pimpinan.
Ayahnya bernama Muhammad Al-Mahdi, khalifah yang ketiga dan kakaknya, Musa Al-Hadi adalah khalifah keempat. Meski ada dinasti, tapi pemerintahan yang dijalankan oleh Khalifah Harun berlandaskan sistem Islam yang mengutamakan halal dan haram dalam perbuatan.
Selama 23 tahun memerintah, Khalifah dikenal sebagai sosok yang taat dalam beribadah dan bersih dalam menjalankan pemerintahan. Konon dalam sehari beliau menjalankan sholat sunnah sebanyak seratus rakaat (Replubika.co.id, 28/8/2019).
Inilah bukti kedekatan beliau dengan Sang Khaliq. Sehingga dalam memerintah rakyatnya pun tidak lepas dari unsur ketaqwaan terhadap Ilahi. Adanya kontol keimanan dijamin dengan sistem yang bersih dalam mencapai tampuk kekuasaan.
Walhasil adanya kecurangan bisa diminimalisir prakteknya dalam kekuasaan. Beliau tak segan memecat dan memenjarakan perdana menterinya, Yahya bin Khalid yang bertindak korupsi. Serta menyita dana hasil korupsi sebesar 30,87 dinar untuk dimasukkan ke dalam kas negara (Replubika, 28/8/2019).
Seyogyanya kaum muslimin bisa mengambil contoh adanya penerapan sistem Islam yang unggul dan shahih, untuk kembali dipraktekkan dalam kehidupan era sekarang. Sistem yang tidak hanya membawa kesejahteraan bagi kaum muslimin tapi bagi seluruh umat manusia. Wallahua’laam bishawwab.[]
*Praktisi Kesehatan, Pemerhati Sosial
Comment