Nilai Keindonesiaan dan Trimatra Pendidikan

Pendidikan373 Views

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Dalam rangka 75 tahun Indonesia Merdeka, Ketua Aliansi Kebangsaan dan Ketua Umum Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan dan Putra Putri TNI-Polri (FKPPI) Pontjo Sutowo melalui rilis yang disampaikan ke redaksi, Kamis (20/8/2020) mengatakan,  kita harus menyadari bahwa bangsa Indonesia lahir setelah adanya konsensus politik dari para pendiri bangsa (founding fathers) yang berasal dari berbagai etnik, budaya dan agama.

Bangsa Indonesia lanjutnya,  terdiri atas berbagai macam suku bangsa (multietnik). Lebih dari 500 suku bangsa, dengan budaya yang berbeda (multikultur), memakai bahasa daerah yang berbeda (lebih dari 700 bahasa daerah), agama dan kepercayaan yang beraneka ragam, bahkan banyak tinggalan budaya artefak tersebar di seluruh daerah: baik yang berada di atas dan di bawah tanah, bahkan di lautan.

Menurutnya, kekayaan budaya tersebut sangatlah luar biasa dan merupakan landasan dasar pemersatu di antara bangsa-bangsa dan pembentuk NKRI. Bahkan artefak ataupun benda-benda arkeologis dapat dimanfaatkan sebagai sumber informasi, rekonstruksi peristiwa di masa lampau. Untuk itu, harus dikelola, dilestarikan dan dikembangkan sebagai dasar membangun karakter bangsa, kebanggaan nasional, sumber pengetahuan dan sumber inspirasi serta kreatifitas masyarakat untuk kemandirian ekonomi dan identitas nasional (kedaulatan ipoleksosbudhankam).

Ini semua tambah Pontjo, menjadi salah satu dasar dalam Naskah Akademik Sistem Kebudayaan dan Pendidikan Nasional (Sisbuddiknas) yang telah disampaikan kepada Komisi X DPR RI.

Pontjo Sutowo yang juga sebagai Pembina Yayasan Suluh Nuswantara Bakti ini mengatakan bahwa Keindonesiaan merupakan suatu perjalanan yang sangat dinamis dan sudah melalui berbagai tahapan, yang awalnya menjadikannya kenyataan politik, menjadikannya kenyataan hukum dan sekarang sedang bergulat untuk meneguhkan Indonesia ini sebagai kenyataan kultural. Dari sini terbentuklah nilai-nilai keindonesiaan yang merupakan unsur pembentuk impian Indonesia Raya.

Menjawab pertanyaan,  mengapa nilai keindonesiaan perlu terus dikurikulumkan?, Pontjo dengan tegas mengatakan, karena nilai keindonesiaan itu merupakan sistem nilai dan budaya yang universal, diterima, digali dan dihayati oleh bangsa Indonesia.

“Itulah cara hidup kita. Itulah hidupnya-matinya Indonesia. Nilai keindonesiaan begitu mendesak untuk diaktualkan dan direaktualisasikan karena kita berada dalam perang global dan dalam pusaran perubahan sehingga terjadi internasionalisasi dan globalisasi” ujarnya.

Penanaman nilai keindonesian pada hakikatnya tambah Pontjo, merupakan pembentukan karakter individu.

Generasi muda diharapkan mampu mengapresiasi kearifan budaya lokal dalam menghadapi tantangan masa depan yang semakin kompleks. Ketika Inggris dapat mengalahkan Napoleon, timbul pendapat umum bahwa “The battle of Waterloo was won on the playing fields of Eaton”, seperti sering diungkapkan oleh Daoed Joesoef.

Eaton adalah sekolah di Inggris yang banyak melahirkan perwira-perwira yang berkarakter dan berjiwa pemimpin. Jadi sesungguhnya penanaman karakter harus sejak dini, bukan diujung saja, dan bukan ketika sudah di akademi militer. Semua ini menunjuk betapa pentingnya pendidikan karakter melalui sistem nilai tertentu oleh suatu bangsa bagi warga negaranya.

Penanaman nilai keindonesiaan bagi warga negara harus lebih efektif jika kita ingin Indonesia tak makin tertinggal. Salah satu caranya dengan mengefektifkan sistem pendidikan nasional yang berperan penting dalam penanaman nilai keindonesian kepada peserta didik.

Pendidikan menjadi salah satu upaya paling strategis untuk membentuk jiwa bangsa dan nilai keindonesiaan baik secara formal, informal, maupun nonformal. Ketiganya harus berjalan bersamaan dan terintegrasi. Sebab ini soal genting di masa penting.

Menurut Pontjo, Daoed Joesoef salah satu tokoh pendidikan nasional pernah mengatakan bahwa “sistem pendidikan nasional” dituntut untuk mampu mengantisipasi, merumuskan nilai-nilai dan menetapkan prioritas-prioritas dalam suasana perubahan yang tidak pasti agar generasi mendatang tidak menjadi “mangsa” dari proses yang semakin tidak terkendali di zaman mereka di kemudian hari.

“Jangan menanti apapun dari masa depan, karena kita sendirilah yang harus menyiapkannya” ujarnya tegas.

Yudi Haryono dari Nusantara Center yang juga Ketua Tim Penulis Naskah Akademik Sisbuddiknas menambahkan bahwa pendidikan kita memerlukan usaha revitalisasi agar ia menjadi alat pemenangan sebuah negara-bangsa di zaman global dan era perang modern.

Revitalisasi yang dilakukan bukan sembarang revitalisasi, melainkan harus revitalisasi pendidikan berbasis Pancasila dan Konstitusi, dengan semangat Proklamasi (pembebasan atas penjajahan), Bhineka Tunggal Ika (pluralis), Sumpah Pemuda (bersatu), NKRI (menyeluruh dan nir-laba) dan berwawasan Nusantara serta berwawasan kebangsaan. Mengapa harus demikian? Sebab Pancasila merupakan kode genetik dan cetakan dasar bangsa Indonesia. Dengan basis tersebut serta hadirnya warga negara unggul yang terkelola, berwatak memimpin dan punya setrilyun kejeniusan maka usaha revitalisasi ini akan ditempuh demi, dari, oleh, dan untuk Indonesia Raya.

Sementara itu Bambang Pharmasetiawan, Ketua Yayasan Budaya Cerdas dan Luhur yang juga Wakil Ketua Tim Penulis Naskah Akademik Sisbuddiknas menyoroti soal Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), Penyederhanaan Kurikulum, dan tentang Pendidikan Inklusi yang ada dalam naskah akademik tersebut.

Menurutnya,  pendidikan jarak jauh (PJJ) bukan metode baru dalam sistem pendidikan. Metoda ini merupakan pendidikan formal berbasis media yang peserta didik dan instrukturnya berada di lokasi terpisah (baik karena antar daerah, antar pulau, maupun karena wabah virus seperti Corona yang mewajibkan social distancing dan karantina bahkan isolasi) sehingga memerlukan sistem telekomunikasi interaktif untuk menghubungkan keduanya dan berbagai sumber daya yang diperlukan di dalamnya. Namun harus difahami bahwa PJJ bukan memindahkan mentah-mentah pembelajaran tatap muka menjadi daring, disinilah kreatifitas dan kemampuan guru-guru dituntut. Keberhasilan PJJ bergantung pada materi yang berkualitas yang disajikan dengan efektif, efisien, bervariasi, dan menarik. Untuk itu diperlukan perangkat keras dan perangkat lunak yang mumpuni dan kemampuan guru dalam menguasai platform dan media dijital, baik yang sinkronous maupun yang asinkronous. Selain itu diperlukan pula jaminan internet yang memadai.

Musibah pandemi Corona lanjut Bambang dapat dijadikan momentum untuk mempercepat dan memasyarakatkan PJJ sebagai sarana untuk menjangkau daerah-daerah 3T (Terluar, Terdepan, Tertinggal) dan daerah yang masih kekurangan guru akibat belum meratanya distribusi guru. Inilah bukti negara hadir dalam pendidikan nasional, sesuai amanat pembukaan UUD 1945 hal mencerdaskan kehidupan bangsa.

Dampak dari adanya pelaksanaan PJJ saat pandemi Corona ini, berakibat dilakukannya penyederhanaan kurikulum oleh Kemendikbud. Saat ini penyederhanaan dilakukan dengan pengurangan KD (kompetensi dasar), sehingga yang tinggal hanya KD esential dan KD prasyarat saja.

Namun juga meninggalkan beberapa kebingungan seperti misalnya materi tentang Koperasi yang merupakan kekhasan dalam Sistem Ekonomi Pancasila di kelas 10 SMA “terpaksa harus mengalah”. Penyederhanaan cara lain adalah seperti tertuang dalam naskah akademik yaitu dengan menyederhanakan desain struktur kurikulum inti menjadi Agama dan Trimatra Pendidikan, di mana Trimatra Pendidikan terdiri dari Kebangsaan, Etika, dan Logika. Logika sendiri terdiri dari literasi bahasa, matematika, dan sains (IPS dan IPA).

Berbeda dengan negara lain yang tidak menempatkan Agama di dalam kurikulumnya, Indonesia harus menempatkan Agama di dalam kurikulumnya karena selain berhubungan dengan ranah privat/pribadi maka Agama juga berhubungan dengan ranah publik.

Pada mata pelajaran dan mata kuliah yang dibuat dan ditambahkan hendaknya mengacu pada kurikulum inti tersebut dan definisi nilai final – nilai instrumental. Nilai final adalah apa-apa yang ditujukan sebagai tujuan pendidikan. Biasanya ditetapkan oleh sebuah keputusan politik atau konsensus para cerdik cendekia. Sedangkan nilai instrumental adalah sebuah disiplin akademik yang diajarkan guna mewujudkan nilai final tersebut.

Dengan mengacu pada kaidah nilai final dan nilai instrumental maka momok bahwa murid-murid Indonesia terlalu banyak mata pelajarannya (dan bukunya) dapat dihindari dan disederhanakan.

Ini menurut Bambang adalah dasar untuk menyederhanakan mata pelajaran, semua dikembalikan pada asalnya. Jika dia adalah mata pelajaran untuk psikomotorik jangan diperlakukan sebagai kognitif, ujungannya ikut-ikutan menghafal, padahal seharusnya melatih raga (dapat mengurangi jumlah buku siswa yang dimiliki/dibawa).

Sebagai contoh adalah masalah etika atau karakter. Etika dapat dikatakan sebuah nilai final. Etika sebagai nilai final dapat didekati oleh banyak nilai instrumental, misalnya agama, Sejarah, PPKn, Biologi, bahkan olah-raga. Ketika olah raga, yang dinilai adalah kedisiplinan, tanggung jawab, dan gotong royong, dan bukan hanya sebatas prestasi olah raganya saja karena ini adalah pendidikan bukan kompetisi.

Dengan demikian lanjutnya. etika embedded dalam semua mata pelajaran, bukan berdiri sendiri (sebagai mata pelajaran tersendiri).

Demikian pula dengan masalah kebangsaan dan lainnya. Bahkan dapat dibuat sebuah kegiatan yang berkorelasi dengan lebih dari satu mata pelajaran, pembelajaran terintegrasi, sehingga konsep pembelajaran modern yang berbasis Science Technology Engineering Art and Mathematic (STEAM) dapat diterapkan, sekalipun itu tentang tema/topik Pancasila.

Beberapa mata pelajaran seperti PPKn dan Sejarah dapat menjadi lokomotif dalam pembentukan warga negara yang baik, di samping mata pelajaran pendukung yang lain seperti Geografi, Sosiologi, Ekonomi, Biologi, dan lain lain yang tidak boleh meninggalkan nilai keindonesiaannya.

“Jadi jangan sampai ada lagi anak Indonesia yang tidak tahu letak kota Sabang atau hasil tambang di Papua ada emas juga.” Tegas Bambang.

Dengan demikian tambahnya,  materi Ke-Indonesiaan dan Kemaritiman harus melekat dalam Kurikulum Indonesia dimana Pancasila adalah dasar dari seluruh mata pelajaran yang ada karena Pancasila adalah acuan utama dari Kurikulum Indonesia.

Demikian halnya juga untuk pendidikan inklusi. Pendidikan inklusif merupakan sistim penyelenggaraan pendidikan bagi anak-anak yang memiliki keterbatasan tertentu dan anak-anak lainnya yang disatukan dengan tanpa mempertimbangkan keterbatasan masing-masing.

Bisa juga bermakna penempatan anak berkelainan ringan, sedang dan berat secara penuh di kelas regular. Hal ini menunjukkan bahwa kelas reguler merupakan tempat belajar yang relevan dan terbuka bagi anak berkelainan, apapun kelainannya dan bagaimanapun gradasinya.

Pendidikan ini bertujuan untuk emansipasi dan maksimalisasi; memberikan kesempatan bagi anak berkebutuhan khusus agar bisa menikmati kebudayaan dan pendidikan.

Secara filosofis, pendidikan inklusif hampir sama dengan falsafah bangsa ini, yaitu Bhinneka Tunggal Ika yang berarti meniadakan perbedaan dan menjadikan satu kesatuan dalam berbagai keberagaman.

Hal ini berarti bahwa bangsa ini sejak dulu telah memahami dan menerapkan adanya nilai kesatuan dalam berbagai perbedaan.

“Karena itulah sudah selayaknya pemerintah memberikan subsidi yang layak untuk sekolah-sekolah inklusi ini mengingat pendidikan inklusi adalah nir-laba bahkan cenderung bersifat sosial.”Imbuh Bambang.[]

Comment