Neno Salsabillah: Korupsi Meroket, Rakyat Makin Sekarat

Opini563 Views

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) menetapkan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan dalam kasus dugaan suap terkait penetapan anggota DPR terpilih periode 2019-2024.(Kompas.com).

Diduga Wahyu Setiawan meminta uang sejumalah 900 juta untuk memuluskan jalan caleg PDI-P Harun Masiku masuk ke DPR.

Namun pada saat Wahyu hendak meminta uang kepada Agustiani Tio Fridelina yang merupakan mantan anggota Bawaslu justru tertangkap basah oleh KPK lewat Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada Selasa (8/1/2020).

Belum lagi kasus PT Asuransi Jiwasraya diduga mengalami tekanan likuiditas sehingga ekuitas perseroan tercatat negatif Rp23,92 triliun pada September 2019. Oleh sebab itu Jiwasraya membutuhkan uang sebesar Rp32,89 triliun untuk kembali sehat.

Menurut Kejaksaan Agung (Kejagung) perusahaan asuransi ini disebut-sebut berpotensi merugikan keuangan negara Rp13,7 triliun. Perbuatan tersebut jelas merupakan kejahatan yang nyata telah merugikan nasabah bahkan merugikan negara dengan tingkat kerugian yang sangat signifikan.

Perkembangan korupsi di Indonesia berkembang secara sistemik. Bagi banyak orang korupsi bukan lagi merupakan suatu pelanggaran hukum, melainkan sekedar suatu kebiasaan. Padahal jelas korupsi diposisikan sebagai kejahatan besar yang melanggar aturan negara sekaligus merugikan negara.

Namun kondisi saat ini korupsi kian membudaya, meluas dari tingkat pusat sampai ke daerah, tidak hanya di kalangan pemerintahan saja, tetapi juga di kalangan swasta dengan jaringan yang luas.

Janji rezim Jokowi memberantas korupsi ternyata tidak terwujud hingga akhir masa jabatannya yang pertama berakhir.

Semakin ke sini kasus-kasus besar semakin muncul kepermukaan seperti Bank Century, mega korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), skandal Asuransi Jiwasraya belum lagi dugaan terbaru terkait korupsi di tubuh PT Asuransi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia atau Asabri yang diungkap pertama kali oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Polhukam) Mahfud MD.
Apalagi setelah polemik revisi UU KPK, kepercayaan masyarakat atas ide pemberantasan korupsi menurun. 

Transparency International Indonesia (TII) menyesalkan sikap Jokowi yang menyepakati pembahasan revisi UU KPK. TII menilai langkah Jokowi ini mencederai kepercayaan publik dan mengkhianati janji politiknya sendiri.

“Bagi kami ini betul-betul mencederai kepercayaan publik, bahkan mengkhianati janji politiknya Jokowi sendiri,” kata peneliti TII, Alvin, kepada wartawan, Sabtu (14/9/2019). (detik.com).

UU Komisi Pemberantasan Korupsi yang disahkan Selasa (17/9) tahun lalu membuat koruptor bersuka cita dan dianggap sebagai bentuk pelemahan KPK. Mengapa demikian?

Sebab ada keharusan bagi KPK untuk memperoleh izin dari Dewan Pengawas sebelum melakukan operasi penindakan. Ini dituding sebagai bentuk pengebirian lembaga anti rasuah tersebut.

Dan yang lebih meresahkan lagi, KPK kini memiliki kewenangan untuk mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).

Ini dikhawatirkan menjadi alat rezim untuk melindungi para koruptor yang berada di sekitar kekuasaan. Terlebih lagi, Ketua KPK yang masih berstatus polisi aktif tidak mengundurkan diri sebagaimana komisioner KPK sebelumnya yang berasal dari institusi kepolisian.

Dari sini jelas bahwa rakyat harus memahami jernih bahwa korupsi,skandal perampokan uang negara, pencucian uang, dan lainnya sering terjadi dalam sistem politik demokrasi.

Begitupun ketika berpadu dengan ekonomi kapitalisme. Dalam sistem demokrasi, pemberantasan korupsi merupakan ide yang utopis. Mustahil kejahatan tersebut bisa ditangani dengan tuntas.

Karena sejatinya demokrasi undang-undangnya dibuat manusia dan terkadang pembuatnya ini juga melakukan tindak kejahatan korupsi.

Jadi selama kedaulatan di tangan penguasa dengan mengatasnamakan rakyat, pemberantasan korupsi hanyalah isapan jempol, janji politik yang tidak akan mungkin terwujud dalam sistem demokrasi. Karen akita tahu bahwa koruptor tidak mungkin rakyat biasa yang tidak memiliki jabatan publik dan kesempatan untuk melakukan korupsi.

Mereka yang memiliki jabatan dan dalam lingkaran kekuasaan yang mungkin melakukan korupsi. Selama aturan perundang-undangan dibuat oleh manusia dengan mengedepankan nafsunya, pemberantasan korupsi adalah ide utopis. Koruptor aman untuk menjarah uang rakyat karena mereka diberikan celah untuk bisa terbebas dari jeratan hukum.

Bagaimana bisa UU pemberantasan korupsi bisa tegas dan mampu menjerat dan menghukum koruptor dengan hukuman berat yang membuat jera jika yang pembuat UU terpapar korupsi.

Korupsi dalam Syariah Islam disebut dengan perbuatankhianat, orangnya disebut khaa`in, termasuk di dalamnya adalah penggelapan uang yang diamanatkan atau dipercayakan kepada seseorang. Tindakan khaa`in ini tidak termasuk definisi mencuri (sariqah) dalam Syariah Islam, sebab definisi mencuri (sariqah) adalah mengambil harta orang lain secara diam-diam (akhdzul maal ‘ala wajhil ikhtifaa` wal istitar).

Sedang khianat ini bukan tindakan seseorang mengambil harta orang lain, tapi tindakan pengkhianatan yang dilakukan seseorang, yaitu menggelapkan harta yang memang diamanatkan kepada seseorang itu. (Lihat Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm. 31).

Karena itu, sanksi (uqubat) untuk khaa`in (pelaku khianat) bukanlah hukum potong tangan bagi pencuri (qath’ul yad) sebagaimana diamanatkan dalam QS Al Ma`idah : 38, melainkan sanksi ta’zir, yaitu sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim.

Bentuk sansinya bisa mulai dari yang paling ringan, seperti sekedar nasehat atau teguran dari hakim, bisa berupa penjara, pengenaan denda (gharamah), pengumuman pelaku di hadapan publik atau media massa (tasyhir), hukuman cambuk, hingga sanksi yang paling tegas, yaitu hukuman mati. Teknisnya bisa digantung atau dipancung.

Berat ringannya hukuman ta’zir ini disesuaikan dengan berat ringannya kejahatan yang dilakukan. (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm. 78-89).

Jadi jelas hanya Islam solusi fundamental yang akan mampu memberantas korupsi di negri ini, karena hukuman dalam Islam tegas dan berat bagi pelaku korupsi sehingga akan membuat jera pelakunya dan mencegah yang lain untuk tidak melakukan korupsi.

Islam juga akan terus menanamkan keimanan yang kuat pada masyarakat terutama pada para pejabat agar mereka amanah dalam menjalankan tugasnya.

Sehingga pemberantasan korupsi bisa diselesaikan tuntas hingga ke akar-akarnya.Wallahualam.[]

Comment