RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Memasuki era kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang kedua ini belum terlihat secara signifikan adanya kemajuan dalam bidang ekonomi. Ini terlihat dari permasalahan bangsa yang tak kunjung selesai pada permasalahan yang menyangkut hajat hidup dan kebutuhan masyarakat.
Dalam kisaran angka pertumbuhan ekonomi kita hanya berkisar naik 5,02%, inipun kata bapak Jokowi sudah patut disyukuri alias jangan kufur nikmat. Menurutnya capaian Indonesia masih lebih baik dibanding negara-negara lainnya.
Menaggapi perekonomian yang masih stagnan ini, menurut Direktur Eksekutif Riset Core Indonesia, Piter Abdullah, persoalannya bukan masalah kufur nikmat atau tidak, melainkan ancaman yang bisa ditimbulkan jika ekonomi tumbuhnya segitu-gitu saja alias stagnan.
“Aduh, bukan masalah kufur nikmat, itu memang kita membutuhkan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Bukan kufur nikmat tapi kalau pertumbuhan kita terus 5% kita itu menunda masalah,” kata dia saat dihubungi detikcom, Minggu (9/2/2020).
Dia menjelaskan, dengan pertumbuhan ekonomi 5% artinya lapangan kerja yang tercipta tidak cukup untuk menyerap angkatan kerja yang bertambah 3 juta jiwa setiap tahun.
“Kalau kita hanya bisa tumbuh sekitar 5% maka kita hanya bisa menyerap (tenaga kerja) kisaran 1.250.000 jiwa setiap tahun dengan asumsi setiap pertumbuhan ekonomi 1% bisa menciptakan lapangan kerja sekitar 250.000,” jelasnya.
Artinya jika pertumbuhan ekonomi dibiarkan di kisaran 5%, ada sekitar 1.750.000 pengangguran baru setiap tahun.
Hal senada menaggapi stagnansi ekonomi Indonesia, penurunan daya beli dan investasi diyakini sebagai penyebab rendahnya pertumbuhan ekonomi Indonesia. Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi tercatat 5,02% sepanjang 2019, lebih rendah dibandingkan 2018 sebesar 5,17%.
“Kalau (ekonom) Core memperkirakan (pertumbuhan ekonomi) memang dikisaran 5-5,05%, tidak akan lebih dari 5,05%. Kenapa? Ya karena faktornya pertama dari pertumbuhan konsumsi yang melambat,” kata Direktur Eksekutif Riset Core Indonesia, Piter Abdullah saat dihubungi detikcom, Minggu (9/2/2020).
Catatan BPS, konsumsi rumah tangga di triwulan IV-2019 hanya tumbuh 4,97%. Padahal triwulan IV tahun lalu tumbuh 5,06%. Menurut Piter memang ada pelemahan daya beli di masyarakat, khususnya kelas menengah bawah.
Harusnya fakta kemandegan ekonomi ini menjadi menuntun pada kesadaran bahwa ada kesalahan sistemik yang terjadi di negeri ini yaitu dengan pemberlakuan kapitalisme. Padahal semua aspek justru menunjukkan bahwa Indonesia tidak perlu mengalami stagnansi ekonomi bila ada perubahan kebijakan.
Andai saja negeri ini dikelola dengan benar tidak menyerahkan kekayaan alamnya pada korporasi, niscaya pertumbuhan ekonomi yang merata, maju dan mensejahterakan akan bisa negeri ini dapatkan.
Lihat saja sebagian kekayaan alam Indonesia yang begitu melimpah ruah, total cadangan minyak bumi Indonesia sebesar 7,512 milyar barel.
Cadangan minyak terbesar di Natuna yaitu 117,6 juta barel, dan potensinya bisa mencapai 141,6 juta barel. Di Sumatera mencapai 1.152 milyar barel, yang terbukti 662,1 juta barel.
Sedangkan kekayaan laut yang berasal dari ikan, terumbu karang, hutan mangrove, ekosistem lamun, potensi wisata bahari dan lainnya, nilainya mencapai 1.772 milyar rupiah. Bahkan nilai sebesar itu telah menyumbang sekitar 93 persen APBN.
Bahkan Indonesia sebagai negeri kepulauan yang memiliki garis pantai terpanjang yakni 99 ribu km dan luas perairan sebesar 6,3 juta km persegi tentunya akan menyumbang lebih banyak kekayaan laut.
Tambang emas selain di Papua, terdapat juga di Bengkulu, Bogor, Bali dan Banyuwangi.
Di Bengkulu, wilayah timbunan emas mencapai 90 ribu hektar dengan kandungan 1 juta ons emas. Di Bogor, penambangan emas di Gunung Pongkor termasuk terbesar di Jawa.
Di Bali, kandungan emasnya secara geologis mencapai lebih dari 1 juta ons. Di Banyuwangi terdapat di daerah tambang pitu. Kapasitas produksinya sebesar 2,8 juta gram emas dan 128 juta gram perak per tahun.
Harusnya dengan kekayaan alam begini kaya, pertumbuhan ekonomi kita akan melesat pada level mensejahterakan. Akan tetapi, yang terjadi pengelolaan Sumber Daya Alam saat ini menggunakan aturan ekonomi neoliberal.
Kekayaan alam yang mestinya milik rakyat diswastanisasi, diserahkan pengelolaan pada asing, aseng, belum lagi sektor ekonomi non riil, ekonomi ribawi dan tidak maksimalnya peran negara dalam kepengurusan kekayaan alam.
Jadi sistem ekonomi neoliberal berasaskan sekulerisme inilah yang menjadi penyebab ekonomi kita mandeg dan stagnan.
Akibat dari salah pengaturan negara ini yang terjadi dan berdampak seperti yang rakyat rasakan saat ini, kesenjangan ekonomi, kelaparan dan kemiskinan. Data BPS pada september 2019, angka kemiskinan sebesar 9,22 %.
Ini setara dengan 24,97 juta orang. Standar kemiskinan di Indonesia itu yang berpenghasilan kurang dari 1 dollar per hari. Sedangkan standar kemiskinan Bank Dunia sebesar 2 dollar per hari.
Tentunya angka kemiskinan di Indonesia bisa lebih besar dari data BPS tersebut. Kemiskinan memberi gambaran akan tidak tercukupinya kebutuhan pokok manusia. Tingginya angka pengangguran signifikan menyumbang kemiskinan dan kelaparan.
Angka pengangguran mencapai 7,05 juta orang per agustus 2019. Angka kelaparan di Indonesia sebesar 22 juta orang per Nopember 2019. Ketimpangan dan masalah distribusi kekayaan merupakan penyakit kronis ekonomi kapitalis.
Menurut Human Development Report 2007, 20% penduduk paling kaya menghasilkan 3/4 pendapatan dunia, sedangkan 40% penduduk paling miskin hanya menghasilkan 5% pendapatan dunia.
Lebih dari 20% penduduk dunia hidup di bawah garis kemiskinan dengan standar US$ 1,25 perhari (Globalissues.org, “Poverty Facts and Stats.”).
Dalam laporan FAO, pada 2009 diprediksi dari 6,5 miliar penduduk dunia 963 juta di antaranya kelaparan (Kompas, 10/12/2008).
Tahun lalu 31,5 juta rakyat Amerika hidup dengan bantuan kupon makan dari pemerintah (allheadlinenews.com, 18/12/2008).
Bagaimana agar permasalahan ekonomi ini bisa kembali meroket dan dapat mensejahterakan umat, maka mari kita tengok bagaimana sistem aturan dari sang Khaliq yang maha benar dan telah terbukti mampu mensejahterakan. Dalam sistem ekonomi Islam dibangun diatas pondasi akidah Islam.
Ini adalah akidah yang haq karena berasal dari Allah yang dibawa kepada umat manusia melalui Muhammad Rasulullah Saw.
Akidah Islam merupakan akidah yang memuaskan akal, menenteramkan jiwa, dan sesuai dengan fitrah manusia. Karenanya, peraturan yang terpancar dari akidah Islam, seperti sistem ekonomi Islam, memiliki karakter yang khas dan manusiawi.
Dalam konteks individu, kegiatan ekonomi dilandasi oleh nilai-nilai ibadah. Bukan materi yang menjadi orientasi (profit oriented), tetapi keridhaan Allah. Mencari materi merupakan perkara mubah dan menjadi wajib bagi seseorang yang menjadi penanggungjawab nafkah dalam keluarga.
Mencari nafkah tentu tidak dengan menghalalkan segala cara melainkan harus terikat dengan hukum syariah. Dalam konteks negara, kegiatan ekonomi merupakan salah satu wujud pengaturan dan pelayanan urusan rakyat. Inilah tugas umum negara.
Untuk merealisasikannya, negara menerapkan syariah Islam baik dalam urusan ekonomi di dalam negeri maupun di luar negeri.
Negara menerapkan hukum-hukum Allah sebagai koridor kegiatan ekonomi dan bisnis untuk mencegah aktivitas ekonomi yang zalim, eksploitatif, tidak transparan, dan menyengsarakan umat manusia.
Negara menerapkan politik ekonomi agar warga dapat hidup secara layak sebagai manusia menurut standar Islam. Negara juga menjalin hubungan secara global dan memberikan pertolongan agar umat manusia di seluruh dunia melihat dan merasakan keadilan sistem Islam
Ekonomi Islam adalah perekonomian yang berbasis sektor riil (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 275). Tidak ada dikotomi sektor riil dengan sektor moneter. Sebab, sektor moneter dalam Islam bukan seperti sektor moneter kapitalis yang isinya sektor maya (virtual sector).
Islam memandang kegiatan ekonomi hanya terdapat dalam sektor riil seperti pertanian, industri, perdagangan, dan jasa.
Dari sektor inilah kegiatan ekonomi didorong untuk berkembang maju. Hanya saja, hukum-hukum tentang kepemilikan, produk (barang/jasa), dan transaksi dalam perekonomian Islam berbeda dengan perekonomian kapitalis.
Individu dibolehkan memperoleh kepemilikan sesuai dengan karakter harta yang memang dapat dimiliki oleh individu. Hal ini merupakan pengakuan Islam akan fitrah manusia untuk mempertahankan hidupnya.
Bahkan Muslim yang meninggal karena mempertahankan hartanya secara haq adalah mati syahid. Kepemilikan individu dibatasi oleh kepemilikan negara dan kepemilikan umum. Individu tidak boleh memiliki harta yang terkategori harta milik negara dan harta milik umum.
Tanpa aturan kepemilikan Islam, pertumbuhan di sektor riil tidak memiliki dampak positif terhadap kesejahteraan seluruh masyarakat secara adil.
Sebab, peningkatan hasil-hasil ekonomi dan penguasaan sumberdaya terkonsentrasi di tangan pemilik modal. Sebaliknya, semakin digenjot pertumbuhan ekonomi, eksploitasi terhadap masyarakat dan sumberdaya alam semakin besar.
Tidak adanya aturan kepemilikan umum dalam perekonomian kapitalis menyebabkan negara menjadi mandul. Sumberdaya ekonomi dan pelayanan publik—yang karakteristiknya tidak bisa dimiliki individu dan seharusnya menjadi milik bersama—oleh negara diserahkan kepada swasta dan investor asing. Akibatnya, rakyat harus membayar mahal untuk mendapatkan layanan publik dan barang-barang yang dihasilkan dari sumberdaya alam.
Ekonomi Islam menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Di dalam negeri, Khilafah menjalankan politik ekonomi yang bertujuan menjamin pemenuhan kebutuhan pokok setiap warga negara. Khilafah juga mendorong warga dapat memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya dalam batas-batas kemampuan yang mereka miliki.
Di luar negeri, Khilafah menjalankan politik dakwah dan jihad. Dalam kerangka dakwah dan kemanusiaan, Khilafah dapat menggunakan kekuatan ekonominya untuk menolong bangsa lain yang sedang ditimpa bencana.
Sejarah mencatat, pada abad ke 18 Khilafah Turki Utsmani pernah mengirimkan bantuan pangan kepada Amerika pasca perang melawan Inggris.
Khilafah juga pernah mengirimkan bantuan uang dan pangan untuk penduduk Irlandia yang terkena bencana kelaparan besar yang menewaskan lebih dari 1 juta orang. Apa yang dilakukan Khilafah Islamiyah pada masa lalu justru bertolak belakang dengan apa yang dilakukan oleh Amerika saat ini. Amerika menghancurkan dan membunuh jutaan kaum Muslim di Irak dan Afganistan.
Maka sudah saatnya kita kembali pada sistem aturan Islam dalam mengelola tatanan negara ini untuk mendapatkan kesejahteraan dan keberkahan.[]
Comment