RADARINDONESIAMEWS.COM, JAKARTA – Kenaikan iuran BPJS yang seyogianya telah diterapkan awal tahun 2020 lalu kini dipastikan tidak naik lagi.
Dalam laman berita CNN Indonesia, Mahkamah Agung (MA) mengabulkan judicial review Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan yang diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 24 Oktober 2019.
Judicial review ini diajukan oleh Komunitas Pasien Cuci Darah (KPCDI) yang keberatan dengan kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Mahkamah Agung membatalkan Perpres No 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan yang mengatur kenaikan iuran BPJS.
Keputusan MA ini mendapat tanggapan sejumlah pihak, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyayangkan keputusan tersebut lantaran menurutnya dapat mempengaruhi ketahanan lembaga asuransi negara.
Sedangkan menurut Ketua Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Jawa Timur, dr Dodo Anondo memastikan iuran BPJS batal naik tidak akan berdampak pada pelayanan rumah sakit.
Dodo menjelaskan bila iuran BPJS naik, pihak rumah sakit akan senang karena utang akan cepat dibayar oleh BPJS. Namun Persi Jatim tak mempermasalahkan bila iuran BPJS batal naik. (katadata.co.id)
Mengenai kenaikan iuran BPJS ini sebelumnya telah diberlakukan terkait adanya defisit anggaran setiap tahunnya. Dimana hutang BPJS saja kepada rumah sakit pada per november 2019 tahun lalu sampai sekitar 21,16 Triliun.
Maka pemerintah tidak punya cara lain selain memberlakukan kebijakan dengan menaikkan iuran BPJS pada masyarakat.
Inilah kebijakan kesehatan yang telah diberlakukan negara pada rakyatnya, melalui program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diresmikan pada 1 Januari 2014, pengelolaan hajat hidup yang berkaitan langsung dengan nyawa masyarakat diserahkan pada korporasi Badan Pengelola Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan).
Sebagaimana termaktub dalam General Agreement on Trade and Services (GATS), dalam pandangan neoliberalisme kesehatan adalah jasa yang harus dikomersialkan.
Sementara fungsi negara, sebagaimana logika neolib Good Governance, adalah hanya sebagai regulator (pembuat aturan) bagi kepentingan korporasi.
Kedua prinsip batil ini dilegalkan dan diinstitusikan melalui Undang-Undang No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Undang-Undang No 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan berikut sejumlah peraturan turunannya.
Akibatnya, harta yang diperoleh masyarakat dengan kucuran keringat, atas nama premi wajib diambil paksa, tak ubahnya pajak atas kesehatan dan nyawa.
Kesewenang-wenangan pun merajalela, terutama semenjak diwajibkannya setiap orang menjadi anggota BPJS Kesehatan berikut bekerjanya “debt collector” Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) serta sanksi bagi penunggak.
Jelas ini membebani mental dan keuangan masyarakat, apalagi di tengah harga semua hajat hidup yang terus melangit. Parahnya lagi, unsur bisnis yang harusnya disterilkan justru menjadi roh pelayanan kesehatan. Sehingga pelayanan kesehatan kian terindustrialisasi, tunduk pada agenda bisnis BPJS Kesehatan.
Belum lagi jika kita lihat adanya pembatasan pelayanan berdasarkan nilai premi, layanan berjenjang/rujukan, tagihan paket casemix pada fasilitas kesehatan tingkat rujukan (rumah sakit), dan penggajian pada fasilitas kesehatan tingkat pertama (Puskesmas).
Dapat kita rasakan, status kepesertaan BPJS Kesehatan bukanlah jaminan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan masyarakat dengan mudah diakses masyarakat, tetapi ditentukan oleh jumlah uang yang dibayarkan.
Jelas ini tidak bisa dibenarkan dari sisi mana pun, kemanusiaan maupun kedokteran, meski hanya menimpa satu orang apalagi pada puluhan juta jiwa. Hasilnya, tidak sedikit orang yang sakitnya bertambah parah. Sampai-sampai rumah sakit yang semestinya ruang bagi puncak kemanusiaan berubah menjadi tempat perjudian nyawa masyarakat.
Artinya mau naik iuran ataupun tetap intinya sama saja, negara telah berlepas tangan terhadap jaminan kesehatan yang seharusnya didapatkan oleh masyarakat.
Dalam sistem kapitalis demokrasi seperti yang kita terapkan saat ini tentu saja semakin menambah derita rakyat, sudah rakyat yang harus menanggung kesehatannya sendiri ditambah lagi pelayanan kesehatannnya sangat tidak manusiawi. Kejahatan luar biasa. Namun sayang, dilegalkan oleh perundangan sistem politik demokrasi saat ini.
Bila pemerintah tulus memang ingin menyejahterakan masyarakat, sebenarnya tidak ada alasan mempertahankan industrialisasi kesehatan berikut program JKN dan BPJS Kesehatan. Negara harus mengambil langkah sistemik untuk memberikan pelayanan kesehatan yang prima dan mensejahterakan rakyat.
Salah satu langkahnya adalah mengadopsi bagaimana sistem Islam memberikan jaminan kesehatan pada rakyatnya. Sistem kehidupan Islam, khususnya sistem ekonomi Islam dan sistem pemerintahan Islam didesain Allah SWT bagi terwujudnya fungsi negara yang benar. Merupakan benteng bagi terjadinya komersialisasi dan industrialisasi pelayanan kesehatan.
Sistem kesehatan dalam Islam meniscayakan tersedianya secara memadai segala aspek yang dibutuhkan bagi terwujudnya pelayanan kesehatan gratis berkualitas terbaik bagi setiap individu masyarakat.
Semua itu karena negara, dalam sistem Islam melakukan pengelolaan pelayanan kesehatan di atas sejumlah prinsip yang sahih, di antaranya adalah yang pertama, pemerintah bertanggung jawab langsung dan sepenuhnya dalam hal pemenuhan kebutuhan pelayanan kesehatan masyarakat tanpa terkecuali.
Gratis namun berkualitas terbaik bagi siapa pun, kapan pun, dan di mana pun. Rasulullah SAW. menegaskan, “Imam (Khalifah) yang menjadi pemimpin manusia, adalah (laksana) penggembala. Dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap (urusan) rakyatnya.” (HR Al- Bukhari). Artinya, haram negara hanya berfungsi sebagai regulator dan fasilitator, apa pun alasannya.
Kedua, pelayanan kesehatan adalah kebutuhan pokok publik, bukan jasa untuk dikomersialkan. Ditegaskan Rasulullah SAW. “Siapa saja pada pagi hari dalam keadaan aman kelompoknya, sehat badannya, memiliki makanan pada hari itu, maka seolah-olah dunia telah menjadi miliknya.” (HR Bukhari)
Ketiga, pembiayaan berbasis baitulmal dengan anggaran mutlak. Maksudnya, ada atau tidak ada kekayaan negara untuk pembiayaan pelayanan kesehatan wajib diadakan negara. Pandangan ini dipaparkan Syaikhul Islam Taqiyyuddin An Nabhani rahimahullah pada sub bab “Nafaaqatu bayti maal” poin keempat, bab “Baytul Maal” kitab Nizhamul Iqtishodi fil Islaam, halaman 236.
Meniscayakan negara memiliki kemampuan finansial yang memadai untuk memikul tanggung jawabnya. Tidak akan ada konsep batil asuransi kesehatan wajib (Universal Health Coverage, UHC). Sebab, di samping menimbulkan kesengsaraan, asuransi apa pun bentuknya diharamkan Islam, karena akadnya yang batil.
Inilah sejumlah konsep cemerlang pengelolaan pelayanan kesehatan dalam sistem Islam.
Tidak saja menyejahterakan, namun juga sekaligus memuliakan manusia dan insan kesehatan. Allah Swt. telah menegaskan dalam QS Al Isra ayat 70, artinya, “Sesungguhnya Kami memuliakan anak cucu Adam (manusia)…”.
Pelaksanaan keseluruhan prinsip-prinsip tersebut dalam sistem kehidupan Islam terbukti mampu mewujudkan pelayanan kesehatan gratis berkualitas terbaik bagi setiap insan selama puluhan abad, demikian tinta sejarah peradaban Islam mengabadikannya.
Lebih dari pada itu, sejarah telah membuktikan penerapan paradigma Islam yang sahih tentang kesehatan, fungsi negara, dan pembiayaan serta pelaksanaan sistem kehidupan Islam secara total dalam bernegara benar-benar memberikan pelayanan kesehatan terbaik selama puluhan abad bagi setiap individu publik.
Bahkan, fakta sejarah peradaban menunjukkan pelayanan kesehatan pada masa kepemimpinan Islam yang dilandaskan pada paradigma Islam yang sahih adalah yang terbaik sepanjang masa.
Ruang pelayanan kesehatan benar-benar meraih puncak kemanusiaan.
Salah satu buktinya dipaparkan sejarawan berkebangsaan Amerika, Will Durant, dalam bukunya bahwa rumah sakit Al Manshuri (683 H/1284 M) Kairo, sebagai berikut, “…Pengobatan diberikan secara gratis bagi pria dan wanita, kaya dan miskin, budak dan merdeka dan sejumlah uang diberikan pada tiap pasien yang sudah bisa pulang, agar tidak perlu segera bekerja…“. [W. Durant: The Age of Faith; op cit; pp 330-1].
Melihat keindahan sistem Islam dalam menjamin kesehatan dan amanahnya negara dalam menjaga rakyatnya tentu sangat kita inginkan. Dan ini hanya kita dapatkan tatkala sistem Islam diterapkan dalam negara secara totalitas.
Sebagaimana dahulu pernah Nabi Muhammad SAW contohkan, maka keniscayaan kehidupan yang berkah dan mulia akan kita rasakan semua, baik muslim maupun non muslim.[]
*Pemerhati Masalah Sosial, Aktivis Peduli Negeri
Comment