“Emak, bentar lagi kita mau lebaran.”
Anak perempuan berusia sepuluh tahun itu tertawa renyah sambil menyuapi makan adik laki-lakinya yang berusia 4 tahun. Namanya Ara, anak sulung pasangan Hardi dan Minah. Sedangkan adiknya bernama Arul.
Sejak tiga tahun yang lalu dia dan adiknya sudah menjadi yatim. Ayahnya, meninggal karena serangan jantung. Mereka tinggal di rumah semi permanen pemberian neneknya dari pihak ibu.
Sebabnya sekarang tugas mencari nafkah pindah pada pundak Minah. Mau tidak mau dia harus bekerja agar anak-anaknya tetap bisa makan dan bersekolah.
Kerja apa saja asal halal. Kadang menjadi buruh cuci, menjadi penyapu jalanan atau sekedar mengambil upah mengasuh anak tetangganya.
Semua Minah kerjakan dengan ikhlas. Dia tidak ingin meminta-minta pada keluarganya. Baginya tangan diatas lebih baik dari tangan dibawah.
“Iya, Nak. Kurang satu minggu lagi,” kata Minah.
“Mak, adek belum beli baju balu.” si bungsu menatap Minah penuh harap. Melihat itu wajah Minah berubah sendu. Hatinya pilu merasakan kesulitan hidup yang selama ini dia dan anaknya alami. Jangankan untuk beli baju, untuk makan saja pas-pasan. Mereka miskin juga tidak terlepas oleh sistem yang membuat rakyat termiskinkan. Salah kelola sumber daya alam serta kebijakan yang mencekik rakyat kecil.
“Sabar ya, Nak. Doakan Emak ada rejeki. Insyaallah nanti Emak belikan,” ucap Minah tersenyum lembut.
“Horee! Adek mau punya baju balu.” Sorak si bungsu.
“Ara gak usah aja, Mak. Baju yang lama masih bagus.”
Minah menatap putri sulungnya penuh kasih. Dia merasa bangga pada anak perempuan kecil ini. Diusianya sekarang, dia dipaksa untuk bersikap dewasa. Membantu pekerjaan jika Minah bekerja dan tidak sempat mengerjakan. Mencuci piring, menyapu rumah, melipat baju serta memasak nasi. Lalu menjaga adiknya sepulang sekolah. Begitu tidak pernah sekalipun gadis kecil itu mengeluh.
Dia juga tidak pernah meminta mainan yang mahal-mahal. Ara sangat mengerti keadaan mereka.
“Ara anak pintar. Maafin Emak ya, Nak.” Minah mengusap pelan kepala Ara dan Arul. Dia harus kuat demi mereka berdua.
Besoknya jam 6 Minah sudah keluar rumah bersama Arul untuk menyapu jalan. Sementara Ara masih di rumah bersiap berangkat ke sekolah.
Sampai di tempat biasa beberapa teman Minah sudah datang. Mereka saling menyapa lalu mulai bekerja. Sementara Arul diletakkan di pinggir sambil memakan sarapannya.
Dua jam kemudian Minah telah selesai. Mereka duduk dulu istirahat sambil mengobrol santai. Minah tidak bisa berlama-lama karena sudah janji mau ambil upah cucian di rumah bu Rt.
“Bu, saya pamit duluan, ya,” kata Minah sambil menggandeng Arul.
“Iya Bu Minah, hati-hati.” mereka melambaikan tangan ke bu Minah yang mulai menjauh.
“Assalamualaikum!” Bu minah sampai di rumah bu Rt.
“Walaikumsalam. Bu Minah, ayo masuk!” Bu Rt tersenyum ramah mempersilahkan masuk.
“Arul, duduk disini ya! Emak nyuci dibelakang dulu,” Kata bu Minah membujuk Arul. Arul hanya mengangguk kemudian mulai asyik dengan mainan robot di tangannya.
Bu Minah ke belakang mulai mencuci baju. Sebagian di mesin cuci, sebagian baju bayi dicuci tangan.
“Bu, Bu Minah!”
Minah tersentak mendengar namanya dipanggil. Buru-buru dia mencuci tangan dan lari ke ruang tamu.
“Ada apa, Bu?” Minah bertanya melihat bu Rt yang memeluk Arul.
“Ini, Arul tadi diam saja. Saya kira pingsan. Sakit sepertinya. ” Bu rt menjelaskan.
Minah berjongkok meraih Arul kedalam dekapannya. Benar, badan anaknya hangat. Tadi pagi belum terasa.
“Bu, saya selesaikan sebentar ya, cuciannya.”
“Iya, silahkan.”
Minah buru-buru menyelesaikan cuciannya lalu membawa Arul pulang. Sepanjang perjalanan Minah menggendong Arul dengan sedih. Bila sudah begini dia teringat akan mendiang suaminya.
Masih separuh perjalanan lagi, namun langit tampak mendung. Minah mempercepat langkah untuk sampai ke rumah. Benar saja, tak lama hujan turun dengan derasnya. Minah berlari sampil menutupi kepala Arul dengan kerudungnya. Dia khawatir. Arul sedang demam.
Melihat ada emperan toko Minah bergegas kesana untuk berteduh. Minah merasakan tubuh mungil Arul menggigil. Wajahnya juga pucat. Melihat itu Minah menangis tanpa suara. Disekanya wajah Arul yang terkena tetesan hujan.
“Sabar, ya Nak. Nanti Mak beli obat,” kata Minah sambil mendekap erat putranya.
Setelah dirasa hujan mulai reda, Minah mengayunkan langkah cepat menuju rumahnya.
Arul tertidur dengan lelap setelah diberikan obat penurun panas. Sedangkan Ara sedang belajar di kamar. Minah melihat uang di dompetnya tinggal 20 ribu. Lalu beralih melihat tempat beras, hanya ada untuk sekali masak. Minah menarik nafas panjang. Hatinya nelangsa bukan main. Ingin memberikan kehidupan yang layak bagi anak-anaknya, namun apalah dia tidak mampu.
Minah bersyukur masih ada seikat kangkung. Setidaknya nanti untuk sahur dia tidak makan nasi putih dan garam seperti biasa jika tidak ada lauk.
Besoknya Minah bekerja siang karena menunggu Ara pulang sekolah dulu untuk menitipkan Arul yang masih sakit.
Minah mulai mencuci dibeberapa rumah. Alhamdulillah orderan nyuci lumayan. Minah dengan giat bekerja kadang pulang sampai magrib.
Tidak terasa lusa sudah lebaran. Minah tersenyum memegang tiga lembar uang seratus ribuan upah bekerja beberapa hari ini. Rencananya besok dia akan ke pasar untuk membeli beras, sedikit kue dan baju lebaran untuk Arul.
Kebetulan hari ini minggu. Jadi Ara libur sekolah. Mina siap-siap pergi ke pasar. Setelah memandikan Arul dan memasak nasi goreng, Minah bergegas mengayuh sepeda ontel tua milik mendiang suaminya. Sampai di pasar dia segera membeli belanjaan. Merasa sudah semua, Minah menuju toko baju. Dia memilih satu baju kaos untuk Arul karena uangnya hanya cukup untuk membeli itu.
Minah membuka dompet untuk mengambil sisa uangnya. Namun, uang itu tidak ia temukan. Minah mencoba mencari di dalam tempat belanjaan siapa tau nyelip. Tidak ada juga. Di kantong baju pun tidak ada. Panik, kemana perginya uang sisa belanja tadi. Hilang, apa mungkin terjatuh? Minah tertunduk lesu. Dipeluknya baju kaos untuk Arul tadi. Terbayang wajah ceria anaknya itu kala menerima baju ini.
Anaknya itu tidak juga pernah meminta hal yang mewah. Hanya baju kaos seharga 20 ribu saja.
“Bu, jadi beli gak?” Tanya pemilik toko sinis.
Minah tergagap. Dia bingung. Tidak kuasa melihat raut wajah kecewa Arul nanti.
“Mbak, ini tadi… uang saya hilang.”
“Berarti gak jadi beli, kan. Sini, saya gantung lagi bajunya!” Kata si pemilik toko.
“Tapi, Mbak…” Minah tak mampu melanjutkan kata-katanya. Tapi tangannya tak jua melepas baju kaos tersebut.
“Sini bajunya, Bu! Gimana, sih. Mau, saya teriakin maling!”
Minah dengan berat hati menyerahkan baju kaos tersebut ke tangan pemilik toko. Dengan langkah gontai dia pergi meninggalkan toko.
Rasanya berat untuk pulang ke rumah. Lalu terpikir olehnya untuk ke tempat bu Tati biasa dia minta dijualkan kuenya keliling. Minah tersenyum. Siapa tahu ada rejeki untuk anaknya. Dikayuh sepeda tua itu dengan semangat menuju rumah bu Tati.
Alhamdulillah sampai disana ternyata ada dagangan yang bisa Minah bantu jualkan. Setelah menitipkan belanjaannya. Minah membawa kerupuk ikan berkeliling menjajakan sepanjang jalan. Peluh sudah membanjiri tubuhnya. Bahkan bajunya kini sudah basah.
Apa lagi dia sedang berpuasa. Kakinya lecet karena memakai sepatu yang sudah kekecilan. Hanya itu satu-satunya sepatu yang ia miliki. Perih. Namun, Minah tidak menghiraukan. Nanti akan sembuh sendiri pikirnya.
Setelah kerupuk laku terjual semua Minah segera kembali ke rumah bu Tati. Hasil penjualan dia serahkan semuanya. Bu Tati memberikan upah 20 ribu. Minah menerimanya dengan mata berbinar. Berkali-kali dia mengucap terimakasih. Artinya ada rejeki untuk membeli baju Arul.
Minah kembali ke pasar, ke toko tadi. Setelah membayar baju yang diinginkan untuk si buah hati, Minah segera pulang ke rumah.
+++
“Assalamualaikum!”
“Walaikumsalam, Emak!” Arul dan Ara menghambur memeluk Minah.
“Emak kok lama, kami tungguin Mak dari tadi,” kata Ara sambil membantu membawa belanjaan masuk.
“Maaf, ya. Mak tadi ada perlu dulu. Sini, Lihat Mak beli kue!” Minah mengeluarkan dua toples kue kering dari dalam kresekan.
“Alhamdulillah, makasih, Mak. Ara sudah lama pengen makan kue ini.” Terang Ara berbinar. Melihat itu Minah tersenyum.
“Ini, baju buat Adek.” Minah membentangkan baju kaos untuk Arul.
“Yeay, baju balu. Bagus Mak!” Arul senang bukan main. Lantas langsung mencobanya.
Minah melihat binar bahagia di wajah buah hatinya ikut tersenyum bahagia. Hatinya menghangat karena anaknya merasa bahagia hanya karena hal-hal sederhana.
Mereka bertiga lalu berpelukan. Hilang semua lelah yang Minah rasakan seharian tadi.[]
Comment