Negara Paling Bahagia di Dunia Bukan Negeri Muslim, Tanya Kenapa?

Opini197 Views

 

Penulis: Devy Rikasari, S.Pd. | Anggota Komunitas Pena Dakwah Cikarang

 

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Setiap manusia pasti menginginkan hidup bahagia, baik tua maupun muda. Berbagai upaya pun dilakukan untuk mencapainya. Namun nyatanya tak semua orang mendapatkan standar kebahagiaan yang diidam-idamkan.

Laporan terbaru World Happiness Report seperti ditulis liputan6.com (1/4/2024) mengungkapkan, dari sepuluh negara yang dinobatkan sebagai negara paling bahagia di dunia, tak ada satupun negeri muslim masuk nominasi.

Dalam daftar tersebut, Finlandia kembali dinobatkan sebagai negara paling bahagia di dunia. Negara ini sudah dinobatkan dengan gelar tersebut selama tujuh kali berturut-turut. Selain Finlandia, ada Denmark, Islandia dan Swedia yang masuk dalam nominasi teratas.

Dilansir dari kompas.com, salah satu alasan mengapa Finlandia dikatakan sebagai negara paling bahagia karena kesenjangan pendapatan yang rendah. Artinya, kesenjangan ekonomi di negara tersebut tidak begitu kentara. Meski tidak memiliki kekayaan melimpah seperti Indonesia, nyatanya standar hidup orang Finlandia lebih baik daripada rakyat negeri ini. Lalu, yang menjadi pertanyaan, mengapa negeri-negeri muslim yang telah dikaruniai beragam kekayaan alam justru banyak yang tidak bahagia?

Selain itu, ada faktor lain yang mendukung warganya hidup bahagia. Finlandia memiliki sistem perawatan kesehatan yang memadai dan berkualitas baik. Sebagian besarnya didanai oleh pemerintah, hanya sedikit yang berasal dari swasta. Hal ini jauh lebih efektif dan efisien daripada beberapa alternatif yang digunakan di negara lain. Transportasi umum juga dapat diandalkan dan terjangkau. Bandara Helsinki menjadi salah satu bandara dengan peringkat terbaik di Eropa utara.

Pendidikan di Finlandia juga menjadi salah satu sistem pendidikan terbaik di dunia. Rupanya fasilitas-fasilitas ini didapatkan dari pajak yang dibebankan kepada rakyatnya. Namun, rakyat Finlandia tidak keberatan dengan pajak yang tinggi – yang mencapai 56% – karena pajak tersebut dirasakan manfaatnya dalam kehidupan mereka.

Ini sangat berbanding terbalik dengan negeri ini, yang meski besaran pajaknya sangat mencekik rakyat kecil, namun tak kunjung ada peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan. Tingkat korupsinya pun sangat tinggi, bahkan yang terbaru mencapai angka fantastis 271 T. Kalau begitu, apa yang salah ya?

Mencermati fakta-fakta di atas membuat kita semakin tercengang. Apa yang salah dengan negeri-negeri muslim, termasuk Indonesia? Mengapa negeri yang diberi keberlimpahan kekayaan alam dan memiliki bonus demografi justru mengalami krisis hampir di segala bidang? Alih-alih mencapai standar hidup bahagia, untuk dapat bertahan hidup saja sangat sulit, bahkan harus berusaha keras, kepala jadi kaki, kaki jadi kepala.

Padahal Allah subhanahu wata’ala telah memberikan predikat khoiru ummah (umat terbaik) kepada umat Islam. Namun nyatanya, hal ini tidak tampak pada kenyataan. Lalu siapa yang salah?

”Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Terjemah QS. Ali Imran ayat 110).

Allah SWT tidak pernah salah, bahkan dalam memberi predikat. Begitupun ketika memberi predikat umat terbaik kepada umat Islam. Jika dicermati kembali ayat di atas, predikat tersebut disandingkan dengan tiga karakter, yaitu umat yang senantiasa menyuruh kepada yang ma’ruf (amar ma’ruf) dan mencegah dari yang munkar (nahyi mungkar), serta umat yang beriman kepada Allah. Umat yang melekatkan karakter ini pada dirinyalah yang dapat menyandang gelar sebagai umat terbaik.

Jika demikian, wajar rupanya mengapa negeri-negeri muslim saat ini tidak menjadi negara yang terbaik bahkan tidak menjadi negara yang paling bahagia karena telah jauh dari tiga karakter tersebut.

Dalam level makro, aktivitas amar ma’ruf nahyi munkar hari ini hanya diemban oleh individu dan kelompok. Sementara negara masih abai. Tengok saja, bagaimana sikap negara ketika masih banyak lelaki dewasa muslim yang tidak melakukan ibadah salat Jum’at dan shaum Ramadan. Tak ada tindakan, apalagi hukuman. Padahal ini  kapasitas negara dalam hal mencegah dari kemunkaran (meninggalkan kewajiban dan melakukan kemaksiatan) sampai pada kapasitas fisik yang dapat memaksa.

Begitupun dalam memenuhi karakter iman kepada Allah SWT, hal ini hanya tampak pada sektor ibadah ritual semata. Sementara dalam konteks yang lebih luas dari itu, pemahaman sekulerisme – memisahkan agama dari kehidupan – telah mendominasi kehidupan umat muslim. Karena itu kita dapati pemandangan masjid hanya ramai di Ramadan saja. Kaum muslimah pun bersemangat menutup aurat di bulan Ramadan saja. Al Qur’an juga banyak dibaca di Ramadan saja, itupun baru sebatas semangat membaca tanpa ada upaya untuk menerapkan isinya. Padahal Allah SWT telah bertitah dalam Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 208 agar umat Islam menerapkan Islam secara keseluruhan (kaffah).

Perwujudan iman yang seharusnya tampak dalam seluruh dimensi kehidupan inilah yang dapat membawa umatnya mencapai predikat terbaik karena Allah sendiri yang memberi keberkahan tersebab keimanan dan ketakwaan hamba-Nya.

Allah subhanahu wata’ala berfirman dalam Al Qur’an surat Al A’raf ayat 96 yang artinya sebagai berikut:

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.”

Sebagai muslim, kita meyakini kebenaran firman-firman Allah SWT. Apa yang tercantum di dalam Al Qur’an bukan saja kita yakini sebagai bagian dari rukun iman, melainkan juga terbukti secara fakta. Bagaimana kegemilangan Islam ketika diterapkan secara kaffah menjadi buktinya.

Di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintah dengan syariat Islam kaffah, hanya terjadi dua kasus perzinaan, itupun dengan pengakuan dari pelaku dan meminta untuk dihukumi sesuai hukum Islam. Ini menunjukkan refleksi iman tidak hanya tampak pada level individu, namun juga diimplementasikan dalam level negara dengan menerapkan hukum sanksi sesuai syariat Islam, yang efeknya membuat jera. Orang lain yang berniat melakukan kejahatan atau kemaksiatan tidak berani melakukan karena melihat dahsyatnya sanksi Islam.

Selain itu, hukum Islam yang diterapkan dapat menebus dosa pelaku kemaksiatan, sehingga pelaku kemaksiatan yang masih ada keimanan dalam hatinya, meski sedikit, lebih memilih menerima hukuman di dunia daripada merasakan azab Allah SWT di akhirat kelak.

Tengok pula bagaimana keberhasilan cucu Umar bin Khattab, Umar bin Abdul Azis memerintah dengan sistem Islam kaffah. Masa itu, tidak ada mustahik zakat, sehingga Umar kebingungan membagikan harta zakat yang telah terkumpul. Maa syaa Allah.

Tidakkah kita rindu masa-masa itu? Masa di mana keimanan dan ketakwaan menjadi atmosfer yang mendominasi kehidupan individu, masyarakat maupun negara. Masa di mana kita dapat tersenyum bahagia melihat tumbuh kembang anak-anak kita tanpa ada kekhawatiran terhadap masa depan mereka.

Masa ketika orang sakit hanya perlu fokus untuk sembuh tanpa harus merasa waswas dari mana mencari biaya pengobatan. Masa dimana kita tidak hanya akan bahagia di dunia tapi juga di akhirat, insyaAllah, karena keridaan Allah SWT menaungi hidup kita tersebab ketaatan kita kepada seluruh syariat-Nya. Wallahu ’alam bishawab.[]

Comment