Oleh: Puput Hariyani, S.Si, Pendidik Generasi
_________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Dunia sepakat bahwa Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Dikutip dari buku “Saya Indonesia, Negara Maritim Jati Diri Negaraku” karya Ayu Andriani menegaskan bahwa negara Indonesia merupakan negara maritim.
Memiliki kawasan teritorial laut yang luas dan kondisi geografisnya dikelilingi perairan. Maka tak aneh jika Indonesia menyimpan kekayaan laut yang melimpah mulai dari segala jenis ikan, terumbu karang, tambang garam, dsb.
Namun sangat disayangkan meski Indonesia menjadi negara kedua setelah Kanada yang mempunyai garis pantai terpanjang dan terluas di dunia, akan tetapi Indonesia tidak masuk dalam negara produsen garam dunia padahal panjang garis pantai mencapai 54.716 km dengan luas wilayah 1.904.569 km2.
Kondisi inilah yang menjadikan Indonesia kekurangan garam. Kondisi tersebut akhirnya memaksa pemerintah harus mengimpor garam dari luar negeri berulang kali termasuk untuk kebutuhan Industri.
Menurut Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita, pemerintah memutuskan untuk membuka keran impor garam (garam impor) pada 2021 ini sebesar 3,07 juta ton. Ia menyebut dua alasan utama perlunya garam impor adalah garam lokal tak mencukupi kebutuhan nasional, dan kualitasnya dianggap tidak memenuhi standar industri.
Pertanyaannya adalah mengapa drama impor garam ini terus berulang? Tidak adakah kemandirian yang mampu diwujudkan? Sampai kapan masyarakat disuguhi retorika menjemukan akan kemarahan penguasa soal impor garam? Dimana action nyata selama berada dalam tampuk kepemimpinan?
Pertama, negeri ini harus memiliki pandangan yang komprehensif dalam segala hal termasuk dalam hal ekonomi. Harus memiliki prinsip kemandirian dalam pengaturan strategi pasar dalam negeri.
Alasan yang mengemukakan bahwa karena produksi dalam negeri tidak mampu memenuhi demand atau permintaan dari dalam. Sesungguhnya inilah problem utamanya yaitu skema yang dimiliki negara ketika mengatur supply (penawaran) dan demand (permintaan) dalam negeri dan ketika menjalankan hubungan dagang dengan negara luar.
Semestinya supply di dalam negeri itu mengatur mulai dari proses produksinya sampai menjadi produk jadi dan itu dalam skala kualitas yang dibutuhkan, bahkan diatur dengan bertumpu dengan kemandirian dalam negeri yang tidak bertumpu pada negara luar.
Hal ini bisa terwujud jika ada kesungguhan kebijakan negara dan kemauan politik untuk swasembada, inilah yang saya katakan bahwa negara harus punya prinsip kemandirian.
Prinsip kemandirian ini harus dependent tidak boleh ada sejenis intervensi dari pihak asing apalagi oligarki dan korporasi, terlebih lagi negara tidak boleh lagi memfasilitasi pemburu rente dari impor produk vital semisal garam.
Kemudian alasan selanjutnya tentang kualitas yang tidak memenuhi standart maka hal ini juga memerlukan analisa, apakah akan dilakukan riset, penelitian, penciptaan teknologi canggih?
Berarti perlu adanya kolaborasi dengan dunia pendidikan tinggi dan itu memang lebih rumit, lebih kompleks, lebih membutuhkan kerja keras untuk menjalankannya dibandingkan jika mengambil keputusan langsung membeli dari negara luar. Bisa upaya ini juga menjadi jawaban atas permasalahan yang selama ini berulang dan belum terpecahkan.
Disinilah Islam kembali menghadirkan solusi yang solutif dan terbukti bertahan hingga berbilang abad. Konsep ri’ayatul su’unil ummah dakhiliyan wa kharajiyan mendorong negara untuk melayani dan memenuhi segala kebutuhan rakyat baik di dalam maupun luar negeri.
Konsep ini pula yang menjadikan negara terpacu untuk mengerahkan segenap daya dan upaya untuk menghasilkan langkah praktis, kreatif, inovatif dan solutif. Wallahu’alam bi ash showab.[]
Comment