Oleh: Puput Hariyani, S.Si, Pendidik Generasi
__________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Pahlawan tanpa tanda jasa merupakan istilah yang tepat untuk melukiskan sosok seorang guru, bukan karena mereka tidak memiliki jasa akan tetapi justru saking besarnya jasa yang dicurahkan terhadap nadi pendidikan.
Namun mirisnya tidak semua guru mendapatkan pelayanan yang sama. Pengelompokan guru berstatus pegawai negeri dengan guru berstatus honorer bukanlah isapan jempol semata. Perbedaan kesejahteraan yang mereka dapat sangat berimbas terhadap kehidupan real yang harus dijalani. Walhasil nasib guru honorer di negeri katulistiwa ini masih sangat mengenaskan.
Sebut saja Hafid, guru honorer yang mengunggah video dengan memperlihatkan besaran gajinya selama sebulan. Kisahnya sempat viral lantaran gaji yang didapat tidak sampai Rp 200 ribu dalam sebulan.
“Dapat 118 ribu dengan rincian 8 kali masuk, perjam Rp 4.000 jadi 8 kali 4 sama dengan Rp 32.000, Kemudian aku ada honor tetap karena aku sering ke sekolah ngurusin ini itu Rp 12.000 x 8 total Rp 96.000,” beber Hafidz sebagaimana dikutip TribunnewsBogor.com.
Hafid tentu bukanlah satu-satunya guru honorer yang bernasib pilu. Di luar sana masih banyak kisah tragis guru honorer yang bernasib sama seperti Hafidz yang pengabdiannya tak berbalas. Kenyataan pahit yang terus berulang sepanjang kehidupan meski negeri ini telah menyatakan diri merdeka lebih dari 70 tahun lamanya.
Di tengah jeritan guru honorer yang belum mendapatkan gak kesejahteraan atas jerih payahnya mencerdaskan generasi, kini mereka kembali mendapat kabar yang menyambar nurani.
Pasalnya, Pemerintah memastikan akan menghapus tenaga honorer mulai 28 November 2023. Hal ini tertuang dalam surat Menteri PANRB No. B/185/M.SM.02.03/2022 perihal Status Kepegawaian di Lingkungan Instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dan tenaga tenaga pendidik menjadi bagian yang terimbas dari kebijakan ini.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Tjahjo Kumolo menyatakan, kebijakan penghapusan pekerja honorer bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Menurutnya, selama ini tenaga honorer direkrut dengan sistem yang tidak jelas, sehingga mereka kerap mendapat gaji di bawah upah minimum regional (Republika.co.id).
Mantan anggota DPR RI, Ganjar Pranowo, sempat menyampaikan keberatannya jika pegawai honorer dihapus. Apabila keputusan ini diberlakukan maka bidang yang paling terdampak adalah pendidikan. Selama ini bidang pendidikan banyak mengandalkan tenaga pendidik honorer.
“Bisa saja solusinya boleh mengangkat honorer, tapi syaratnya daerah yang mengangkat honorer harus membiayai sendiri, tidak membebani pemerintah pusat. Saya kira, itu solusi yang sangat bagus,” usul Ganjar (jatengprov.co.id).
Kebijakan penghapusan tenaga honorer perlu untuk dikaji kembali. Jika penghapusannya untuk meningkatkan kesejahteraan, benarkah demikian? Ataukah untuk menyelesaikan persoalan penumpukan jumlah guru honorer agar tidak memberatkan tanggungan keuangan pemerintah pusat?
Apabila kebijakan ini benar-benar dipraktikan akan berdampak ratusan ribu tenaga kerja kehilangan pekerjaan, lantas ke mana mereka harus mencari penghidupan di tengah himpitan ekonomi?
Belum lagi masalah sosial ekonomi jika pengangguran meningkat sementara tidak ada solusi nyata yang didapat bahkan juga berdampak pada proses belajar mengajar di sekolah. Karena tidak dapat kita pungkiri keberadaan guru honorer masih sangat dibutuhkan di sekolah.
Kebijakan ini semakin mengindikasikan lepas tangannya pemerintah pusat terhadap kebutuhan sekolah dengan keberadaan guru dan kebutuhan akan kesejahteraan guru. Hal ini sekaligus mencerminkan rendahnya perhatian terhadap nilai sektor pendidikan bagi pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM).
Regulasi yang tidak berpihak kepada guru honorer dan kebutuhan pendidikan ini berawal dari penerapan sistem kapitalisme sekuler dan absennya penerapan hukum Islam. Kapitalisme mengukur segala sesuatu dari untung dan rugi menurut perhitungan manusia termasuk dalam bidang pendidikan. Sementara Islam menempatkan pendidikan sebagai bagian integral yang wajib mendapatkan perhatian serius.
Rasulullah saw. bersabda, “Seorang Imam (khalifah/kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya.”
Imam Ibnu Hazm dalam kitab Al-Ahkaam menjelaskan bahwa seorang khalifah berkewajiban untuk memenuhi sarana-sarana pendidikan, sistemnya, dan orang-orang yang digaji untuk mendidik masyarakat.
Khalifah dalam Islam juga memberikan penghargaan yang tinggi terhadap peran seorang guru tanpa pembedaan status ASN ataupun honorer. Bahkan gaji yang didapat bisa melampaui kebutuhannya.
Dikisahkan pada masa Shalahuddin al-Ayyubi, guru digaji dengan sangat besar. Di dua madrasah yang didirikannya, yaitu Madrasah Suyufiah dan Madrasah Shalahiyyah, gaji guru berkisar antara 11—40 dinar. Artinya, apabila dikurs dengan nilai saat ini, gaji guru adalah Rp42—153 juta. Wow, jumlah yang sangat fantastis, jauh dibandingkan hari ini.
Demikianlah kemuliaan guru hanya akan terwujud dalam kepemimpinan Islam yang memiliki cara pandang visioner dan terbukti menyejahterakan berbilang abad lamanya. Wallahu ‘alam bi ash shawab.[]
Comment