Narita Putri*: Orang Gila Tikam Ulama, Sebuah Kejanggalan 

Opini764 Views

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Itulah ungkapan yang pas untuk para ulama/dai di negeri ini. Belum kering Kemenag membuat kegaduhan di masyarakat dengan Program Penceramah Bersertifikat mulai akhir September 2020 yang dikhawatirkan dapat memicu stigmatisasi negatif terhadap penceramah yang tak bersertifikat.

Program ini pun membatasi gerak dakwah karena masjid hanya akan mengundang penceramah yang bersertifikat.

Di tengah kegaduhan satemen Menag  yang belum usai,  pada hari Minggu (13/9) sore, warganet dihebohkan dengan kabar penusukan Syekh Moh Ali Jaber oleh orang tidak dikenal saat sedang mengisi kajian di Masjid Falahuddin, Tamin, Tanjungkarang Pusat, Bandarlampung.

Pelaku penusukan diketahui berinisial AAA dan berusia 24 tahun. Dari keterangan orang tua, pelaku sudah 4 tahun ini mengalami gangguan kejiwaan.

Lagi-lagi, ini sebuah kejanggalan di dalam negeri. Giliran pelaku sudah ditangkap, disebutnya sebagai orang gila agar tidak mendapatkan sanksi hukum oleh pihak berwajib.

Alasan gila tidak rasional. Bagaimana mungkin orang gila itu menyimpan pisau secara rapi atau menunggu moment tepat ketika Syekh Ali Jaber naik ke panggung. Mungkinkah orang yang katanya gila itu mengenal sasaran?

Sesungguhnya fakta yang kita temuan tentang orang gila itu adalah sering senyum dan ketawa ketiwi sambil menunjukkan senjata tajam dan menakut nakuti orang.

Dalam pasal 44 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dinyatakan bahwa seseorang tidak dapat dipertanggung jawabkan secara pidana jika cacat kejiwaan atau terganggu karena penyakit. Jangan sampai karena “gila” seseorang jadi terinspirasi melakukan kejahatan dan berpura-pura gila agar tidak dijerat hukum dengan memanfaatkan pasal tersebut. Jadi, harus dipastikan seakurat mungkin dan lakukan tindakan diagnosis kejiwaan si pelaku.

Tapi yang miris dari semua itu, suburnya penyerangan hingga mengancam jiwa membuktikan bahwa negara abai akan nyawa rakyatnya. Tiada jaminan perlindungan dan keamanan yang diberikan negara. Negeri toto tentrem kerto raharjo hanyalah slogan belaka.

Dalam Islam, jiwa manusia amat mahal harganya. Negara berkewajiban memberikan perlindungan ketat seperti yang termaktub dalam QS. Al Isra ayat 33 “Dan janganlah kalian membunuh jiwa yang Allah haramkan kecuali dengan alasan yang benar.”

“Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannnya ialah Jahannam, kekallah ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutuknya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (QS. An-Nisaa’: 93).

Adapun sanksi yang dikenakan kepada seorang pembunuh di dunia maka Allah menetapkan qishash, yakni dibunuh juga (hukum mati). Ini merupakan hukuman yang sangat adil bagi pembunuhan yang disengaja atau direncanakan. Qishash juga akan memberikan rasa keadilan bagi keluarga korban, akan membersihkan masyarakat dari keburukan dan tindak kriminal pembunuhan.

Dengan ditegakkannya qishash, maka orang tidak akan dengan mudah mengayunkan senjata membunuh orang lain, karena nyawanya kelak akan menjadi taruhannya.

Juga diharamkan untuk membunuh seorang Muslim tanpa alasan yang dibenarkan syariat. Apalagi nyawa seorang ulama. Dimana ulama adalah pewaris para Nabi yang dimuliakan kedudukannya.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

الْعُلُمَاءُ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ

Artinya: “Ulama adalah pewaris para nabi.” (H.R. At-Tirmidzi dari Abu Ad-Darda Radhiallahu ‘Anhu)

Dituntut sikap tegas aparat terhadap kekerasan yang di alami ulama hingga masyarakat merasakan keadilan dan tentram.

Karenanya tidak bisa di sangkal lagi umat butuh kekuatan nyata yang mampu menyelamatkan dan melindungi mereka. Umat butuh institusi politik yang independen yang tidak terpengaruh tekanan luar.

Semoga penderitaan-penderitaan yang dialami ulama dan kaum Muslim pada umumnya dapat menyadarkan kita semua. Bahwa penerapan syariah secara kaffah harus segera hadir kembali di muka bumi ini.Wallahu ‘alam bish shawab.[]

*Aktivis Dakwah Klaten

Comment