RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA –Direktur Center for Media and Democracy LP3ES Wijayanto menyebut Indonesia telah memenuhi empat kriteria negara penganut otoritarianisme lewat sejumlah kebijakan pemerintah.
Wijayanto merujuk pada empat ciri rezim politik otoriter yang disampaikan beberapa akademisi Universitas Harvard, yaitu komitmen lemah terhadap aturan main demokrasi, penyangkalan legitimasi lawan politik, toleransi terhadap kekerasan, dan pembatasan kebebasan sipil.
“Nah berdasarkan empat indikator itu, saya mau menyampaikan bahwa di Indonesia semua indikator itu ada,” kata Wijayanto dalam webinar ‘Mimbar Bebas Demokrasi Melawan Ologarki’. (CNN.com,14/6)
Indonesia memenuhi empat kriteria penganut otoritarianisme:
1. Adanya penolakan atau komintmen yang lemah terhadap aturan main demokrasi. Kata Wijayanto, hal tersebut terlihat saat Jokowi mengintruksikan kepala daerah hingga tentara untuk mengkampanyekan kebijakan pemerintah dan meminta mereka menangkal banyak berita palsu terkait dirinya sebelum Pilpres 2019. Kemudian adanya upaya memobilisasi kepala daerah hingga Polri untuk mendukung petahana dan munculnya wacana dari parpol pendukung Jokowi mengenai amandemen UUD yang memungkinkan presiden menjabat tiga periode.
2. Pemberangusan oposisi. Dalam konteks ini, Wijayanto mengatakan Jokowi melakukan itu pertama-tama dengan memberikan Gerindra–partai oposisi utama dalam Pilpres 2019–dua kursi menteri. Akibatnya oposisi lain, yaitu Demokrat, PAN, dan PKS jadi tak punya taji di legislatif. Suara mereka timpang dibanding koalisi partai pendukung pemerintah. Manuver ini semakin kentara ketika partai koalisi pemerintah merevisi UU MD3 dan menambah kursi pimpinan MPR. Dampaknya, lebih banyak partai berkesempatan mendapat jatah kursi, merapat ke kekuasaan, dan tak lagi jadi oposisi.
3. Memberi toleransi atau bahkan menganjurkan kekerasan aparat ke warga. Hal ini juga terjadi di era Jokowi, kata Wijayanto, contohnya kasus gerakan Reformasi Dikorupsi pada September 2019. LBH Jakarta menyebut pendekatan polisi saat menangani aksi massa saat itu “adalah pendekatan represif, kekerasan.”
Kemudian aksi berujung kerusuhan pada 21-23 Mei. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengatakan ada 10 orang tewas dalam peristiwa tersebut, empat di antaranya masih anak-anak (di bawah 18 tahun). Delapan orang tewas karena tertembak peluru tajam. Latar belakang inilah yang kemudian membuat Kontras dan YLBHI sama-sama menilai kekerasan oleh aparat makin menjadi-jadi di era Jokowi. Mereka pun mendesak pemerintah untuk segera mereformasi Polri besar-besaran.
4. Kesediaan penguasa untuk membatasi kebebasan sipil, termasuk media. Menurut Wijayanto, beberapa ukuran kebebasan sipil yang dikekang dan dilanggar di era Jokowi adalah: pelarangan dan razia buku, pembubaran dan teror terhadap diskusi kritis, membubarkan paksa dan penangkap peserta demonstrasi isu Papua, hingga peretasan dan penyadapan para aktivis pro demokrasi.
Ujang Komaruddin Direktur Eksekutif Political Rivew menyatakan bahwa temuan LP3ES tersebut mengindikasikan adanya kesalahan penerapan demokrasi Indonesia yang dibajak oleh oknum tertentu sehingga Indonesia masuk kategori negara otoriter.
Munculnya sejumlah fakta otoriter rezim saat ini adalah hasil penerapan sistem demokrasi itu sendiri. Sistem demokrasi buatan manusia(yang bertabiat lemah, akal terbatas, sarat dengan kepentingan) yang berdiri di atas asas sekulerisme. Asas sekulerisme meniscayakan kekuasaan politik dipisahkan dari kekuasaan agama.
Hal ini diyakini agar kekuasaan benar-benar berjalan sesuai dengan idealitas dan rasionalitas manusia. Sehingga mampu menciptakan tatanan masyarakat yang egalitarian, adil dan sejahtera.
Fakta penerapan sistem demokrasi ternyata justru memicu perebutan kekuasaan berbagai pihak demi meraih kepentingan pribadi ataupun elit partai. Selain itu juga memicu munculnya intrik-intrik politik kotor demi menjaga eksistensi kekuasaan.
Sehingga muncullah sikap otoritarianisme rezim. Rezim akan menjegal siapapun yang dianggap sebagai penghalang serta membuat kebijakan yang mengokohkan oligarki diantara mereka. Sedangkan rakyat dibuat menjadi rakyat yang apolitis.
Sistem Islam atau Khilafah sebagai kepemimpinan yang berlandaskan akidah Islam jauh berbeda dengan sistem demokrasi yang mengandalkan idealitas rasionalitas manusia. Dalam prakteknya, khilafah menjadikan kekuasaan sebagai salah satu institusi yang menerapkan syariat secara praktis. Inilah yang akan mewujudkan rahmat untuk seluruh alam.
Islam memiliki mekanisme dalam mencegah penyimpangan yang dilakukan pemimpin(kholifah):
1. Negara wajib membangun kesadaran politik rakyat. Lemahnya kesadaran politik rakyat akan mempermudah terjadinya penyimpangan penguasa. Tidak hanya negara, adanya partai Islam juga memiliki tanggung jawab yang sama.
2. Kholifah dibaiat atas dasar kerelaan dan pilihan rakyat. Langkah ini tentu saja bisa mencegah munculnya penguasa dzalim yang diketahui oleh rakyat.
3. Adanya kewajiban oleh rakyat melakukan kontrol dan koreksi(muhasabah) terhadap penguasa. Hal ini sebagaimana dalam Qur’an surat Ali Imron ayat 103. Islam mensejajarkan kedudukan orang yang mengoreksi penguasa yang menyimpang dengan pemimpin para syuhada dan menyebutnya dengan sebaik-baik jihad. Muhasabah ini bisa dilakukan secara terorganisir melalui partai politik ataupun secara individu.
Tugas inilah yang dilakukan oleh wakil-wakil rakyat di Majlis Umat yang senantiasa memperjuangkan aspirasi rakyat.
4. Adanya Mahkamah Madzalim yang mengadili perselisihan antara rakyat dengan penguasa. Mahkamah ini bahkan memiliki wewenang untuk memberhentikan Khalifah yang telah dianggap melakukan kedzaliman atau pelanggaran berat yang menjadikan dirinya layak diberhentikan sebagai Khalifah.
Inilah mekanisme penjagaan kekuasaan di dalam sistem Islam agar rezim tidak bersikap dzalim dan otoriter.[]
Comment