Nahida Ilma Nafi’a*: New Normal, Sebuah Kebijakan Mengulang Atau Belajar dari Sejarah?

Opini608 Views

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – New Normal atau kenormalan baru, ramai diperbincangkan sebagai rencana yang akan diambil setelah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dilonggarkan nantinya. New normal juga identik dikaitkan dengan pembukaan sarana atau ruang publik, perkantoran, industri, sekolah, dan lain sebagainya.

Hal ini agar masyarakat dapat beradaptasi dan beraktivitas seperti biasa meski pandemi Covid-19 belum usai. (Kompas.com, 29/05/2002)

Publik kembali disuguhkan dengan kebijakan baru pemerintah dalam rangka menghadapi pandemi yang tak kunjung selesai ini. Bila dikaitkan dengan seruan pemerintah sebelumnya, sepertinya kebijakan New Normal ini merupakan action dari hidup damai dengan corona.

Dalam bahasa lain, pemerintah terkesan memaksa rakyatnya untuk beradaptasi dengan Covid-19 yang terus menginfeksi dan bermutasi.

Kebijakan ini tentunya menuai kritik dari berbagai kalangan. Pasalnya, kondisi Indonesia masih jauh dari siap untuk melakukan New Normal. Kasus corona di Indonesia masih sangat mengkhawatirkan.

Tren positif hingga kematian Covid-19 semakin menunjukkan peningkatan, bahkan belum mencapai puncaknya. Indonesia belum termasuk negara yang sesuai dengan standar WHO untuk menerapkan New Normal.

New Normal hanya berlaku bagi negara-negara yang sudah sukses melawan Covid-19 seperti Cina, Taiwan, Vietnam, dan Jerman. Sementara di Indonesia? Data per Senin, 1 Mei 2020 ada 467 kasus baru dengan total 26.940 pasien positif.

Bagaimana New Normal dapat diberlakukan sementara grafik pasien positif corona semakin meroket?

Mari kita belajar dari sejarah tentang pandemi yang pernah terjadi di dunia. Pandemi Spanyol atau dikenal juga dengan pandemi influenza 1918. Flu Spanyol adalah pandemik influenza kategori 5 yang mulai menyebar di Amerika Serikat, muncul di Afrika Barat dan Prancis, lalu menyebar hampir ke seluruh dunia.

Penyakit ini disebabkan oleh Virus Influenza Tipe A subtipe H1N1. Kebanyakan korban flu ini adalah orang dewasa dan muda. Flu Spanyol terjadi dari Maret 1918 sampai Juni 1920, menyebar sampai ke Arktik dan kepulauan Pasifik.

Diperkirakan 50 sampai 100 juta orang di seluruh dunia meninggal, sementara Indonesia diperkirakan sampai sekitar 1-1,5 juta jiwa yang meninggal di masa pemerintahan Hindia Belanda ini. Karena sangat sulit ditanggulangi oleh berbagai negara di seluruh dunia, para pimpinan tiap negara sampai membuatkan hukum seperti pelarangan berjabat tangan di Arizona karena sangat mudah menyebarnya.

Jika kita belajar dari Pandemi Spanyol, ternyata tingkat kematian tertinggi justru terjadi pada gelombang kedua. Dimana masyarakat sudah merasa sangat bosan dengan karantina dan pembatasan sosial. Ketika mereka diperbolehkan keluar rumah, mereka pun merayakannya dengan berpesta, berkumpul dan berbagai aktivitas sosial lainnya.

Namun, beberapa minggu kemudian, gelombang pandemi yang kedua menerjang dengan angka kematian yang mencapai puluhan juta. Bagaimana dengan negeri ini? Apakah akan belajar dari sejarah ataukah mengulang sejarah? Dengan kebijakan New Normal, menjadikan publik mampu melihat apa yang menjadi prioritas utama pemerintah. Keselamatan nyawa rakyat kah? Atau berorientasi pada ekonomi guna menguntungkan para kapitalis dibelakangnya?

Berbeda jauh dengan Sistem Islam yakni Khilafah yang tegak di atas landasan keimanan. Kekuasaan Islam telah terbukti membawa kebaikan dan keberkahan bagi seluruh alam. Karena sistem hidup yang diterapkannya berasal dari Sang Pencipta Kehidupan. Khilafah akan senantiasa menempatkan urusan umat sebagai prioritas utama.

Dalam kasus penularan wabah, maka akan dilakukan karantina wilayah (lockdown) pada tempat wabah berada. Sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Khalifah Umat bin Khattab. Dengan penjagaan ketat, warga daerah wabah tidak boleh keluar daerah demi menghindari penularan secara bebas.

Begitupun warga daerah luar wabah tidak boleh masuk ke daerah wabah. Semua akses dari luar wilayah wabah ditutup, baik akses transportasi maupun akses publik lainnya. Semua dilakukan demi keamanan bersama. Biaya hidup rakyat yang diberlakukan lockdown ditanggung oleh kas negara, yaitu Baitul Mal.

Khalifah (Pemimpin)  berupaya penuh meminimalisir jumlah korban. Khalifah juga mencari bagaimana mekanisme penyebaran penyakit tersebut, sehingga ditemukan berbagai upaya antisipasi pencegahan berbasis bukti. Negara mendorong para ilmuwan, dokter dan kalangan profesional untuk membuat obat bagi masyarakat, tidak mengandalkan impor. Negara secara mandiri membangun fasilitas yang mendukung percepatan penyembuhan terhadap penyakit.

Dengan seperti ini, maka wabah tidak akan meluas dengan bebas. Warga yang tinggal di daerah luar wabah bisa beraktivitas seperti biasa, sehingga tidak akan terjadi kemacetan ekonomi. Jika daerah wabah mengalami kondisi kekurangan karena memenuhi kebutuhan warga, maka daerah lain berkewajiban untuk turut membantu.

Semua hanya bisa dilakukan oleh sistem yang komprehensif bukan sistem buatan manusia. Namun, sistem buatan Sang Khalik. Sistem agung yang dibawa oleh Rasulullah saw,  yakni sistem yang menjadi rahmat bagi seluruh alam. Wallahu a’lam bishowab.[]

*Pelajar SMA di Blitar

Comment