![]() |
Mustikaa Lestari |
RADARINDONWSIANEWS.COM, JAKARTA – Allah Ta’ala berfirman: “Hai manusia, ingatlah akan nikmat Allah kepadamu. Adakah pencipta selain Allah yang dapat memberikan rezki kepada kamudari langit dan bumi?” (Q.S Fathir: 3).
Pengusaha sekaligus politikus Sandiaga Uno menganggap wajar jika masyarakat Papua marah karena ketimpangan ekonomi yang ada tergolong memprihatinkan. Sandi menyebut tingkat kemiskinan masyarakat Papua 8 kali lipat dibandingkan warga Jakarta.
Padahal, lanjutnya daerah mereka begitu kaya dengan berbagai jenis sumber daya alam. Sandi mengamini bahwa pembangunan masif dilakukan di bumi Cenderawasih. Tetapi, dia yakin itu tidak bisa menyelesaikan masalah yang utama.
“Kita lihat bagaimana Papua dibanjiri infrastruktur, begitu banyak proyek investasi, tapi belum menyelesaikan permasalahan hakiki, yaitu kemerdekaan ekonomi,” ujar Sandi dalam diskusi grup Instruktur Nasional PAN, di Gedung Joang ’45, Jakarta, Kamis (22/8).
Sandi menegaskan bahwa kesejahteraan masih menjadi persoalan utama di Papua. Menurutnya, perlu ada perhatian serius. Dia yakin persoalan-persoalan di Papua bisa diselesaikan (http://m.cnnindonesia.com, 22/08/2019).
Kapitalisme, Virus Jahat Kapitalis
Negara Indonesia merupakan negara besar, bukan hanya besar wilayahnya tetapi juga besar sumber daya alamnya yang mendunia, besar budayanya, adat-istiadatnya. Namun, dibalik label “kebesaran” tersebut terselip hal yang menyedihkan dan membuat hati menjadi miris ketika mendengar dan mengetahuinya.
Tidak sedikit ditemukan berbagai kekurangan yang tak kunjung membaik di berbagai bidang dalam negara kita ini.Pembangunan infrastruktur dan fasilitas pendidikan yang kurang merata, keadaan ekonomi yang tak kunjung menampakkan bukti kekayaannya dan lain sebagainya. Terlebih lagi, jika kekayaan alam diambil kemudian dimanfaatkan untuk kepentingan orang-orang kapitalis.
Kontras antara kondisi rakyat dan pemerintah, ibarat ada jurang yang menganga lebar. Karena ketidakadilan tersebut, pada akhirnya rakyat menuntut kemerdekaan wilayahnya sendiri. Di era pemerintahan Presiden BJ Habibie, Indonesia telah kehilangan salah satu wilayah negaranya yaitu Timor Timur yang kini dikenal dengan Timor Leste. Kini, masyarakat yang menuntut kemerdekaan bagi wilayahnya lagi adalah Papua, tepatnya oleh masyarakat Papua lokal, Papua Barat.
Sepertinya bukan lagi rahasia publik perihal Papua yang konon katanya ngebet keluar dari Indonesia dan mendirikan negara sendiri. Tentu kita semua tak berharap Papua akan benar-benar lepas. Dan jikalau ini benar terjadi, maka negeri ini semakin berada dalam cengkeraman asing.
Organisasi Papua Merdeka (OPM) merupakan istilah umum bagi gerakan prokemerdekaan Papua yang mulanya adalah reaksi orang Papua atas sikap pemerintah Indonesia sejak 1965. Permasalahan Papua dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terjadi sejak permulaan integrasi Papua ke dalam NKRI pada tahun 1969. Adanya operasi militer dan intelejen untuk menghancurkan rakyat Papua yang berideologi lain. Kelompok-kelompok masyarakat yang mencoba menyuarakan keadilan di atas tanah Papua dihancurkan secara sistematis. Atas nama keutuhan NKRI, pembunuhan, penghinaan dan pemerkosaan terhadap rakyat Papua dilegalkan.
Untuk mengukur tingkat kesejahteraan rakyat Papua, kita tidak perlu menggunakan aneka teori sosial, ke mana mata memandang, suatu kepastian bahwa setiap rakyatnya sekali lagi melarat. Perumahan kumuh, pendidikan terbelakang dan miskin. Tragisnya, kehidupan ekonomi orang Papua berada amat jauh di bawah kaum imigran yang menguasai semua sektor ekonomi.
Dilansir dari www.tirto.id, pada 1967 freeport mendapatkan tanda tangan kontrak tambang dengan Indonesia. Pada 1970-an, OPM terbentuk di Timika, bersamaan dengan operasi tambang salah satu penyumbang pajak terbesar bagi pemerintah Indonesia. Sepanjang 1963-sekarang, banyak warga sipil yang terbunuh dan mengungsi. Laporan global Witness pada 2005 menyebut operasi tambang freeport dijaga oleh militer Indonesia pada 1970-an guna “menekan pemberontakan kemerdekaan orang Papua.”
Eksploitasi sumber daya alam, terutama hasil hutan, hasil laut, tambang dan minyak bumi dikeruk tanpa sisa dan terus berlangsung, sementara rakyat Papua terabaikan atau bahkan terlupakan. Akibatnya, sampai detik ini rakyat Papua tetap terbelakang. Bahkan, penduduk Papua yang berdiam di tanah ini tercatat sebagai salah satu manusia termiskin di dunia. Ironi yang tidak dapat diterima oleh akal sehat. Bagaimana mungkin Papua yang terkenal sebagai pulau terkaya di Indonesia bahkan seantero jagad, penduduknya masih bersahabat dengan kemelaratan.
Hutan tropis di Papua dibagi seperti kue kepada para kapitalis oleh penguasa Indonesia. 910.000 hektar Papua hilang tiap tahun, itu data Greenpeace tahun 2009. Sekarang, puluhan juta hektar habis setiap tahun. Padahal Indonesia juga tahu, Papua paru-paru dunia, penghasil oksigen untuk mengurangi pemanasan global. Dalam masyarakat pra-kapitalisme seperti ini, dimana alat-alat produksi milik penguasa dan pengusaha Indonesia, pola bercocok tanam dan perikanan dipaksa mencari nilai lebih dalam pasar kapitalis (https://suarapapua.com, 24/3/2019).
Ironis, jurang kesenjangan dalam segala bidang yang sangat dalam tentu menimbulkan gesekan yang selalu diseret-seret dalam ranah politik. Setiap kali ingin mengekspresikan kekecewaan atas berbagai bentuk ketidakadilan, apresiasi pemerintah adalah makar. Sedangkan, ribuan ton tambang dikeruk, keuntungannya diambil oleh asing sepenuhnya dan dibiarkan begitu saja. Membuat makar terhadap rakyat sendiri adalah suatu bentuk pengkhianatan teehadap amanat Undang-Undang, sedangkan asing berlenggak-lenggok dengan bebasnya menguasai sumber kekayaan alam terbesar milik rakyat Indonesia.
Warga Papua semakin terasing di negeri sendiri. Masyarakat hanya mengambil sisa-sisa tambang, dianaktirikan oleh pemerintah. Pemerintah lebih berpihak pada freeport dan hanya memikirkan keuntungan royalti 1,2% dari freeport. Kini, Papua ingin memerdekakan diri bukan tanpa alasan. Banyak alasan yang melatarbelakangi keinginan masyarakat untuk memisahkan diri, salah satunya mereka menerima tindakan diskriminatif dan rasis.
Hak Asasi Manusia tidak mereka dapatkan di negeri ini. Rusuhnya Papua bukan tanpa sebab, hal yang paling membuat hati panas adalah mereka mengalami ketimpangan ekonomi, sumber daya alam melimpah namun rakyat miskin pun melimpah. Tidak ketinggalan, kekayaan penguasa pun melimpah. Namun, kita tak bisa lupa bahwa dibalik lahirnya OPM karena tekanan dan hasutan disintegrasi yang dihembuskan oleh asing agar memisahkan diri dari wilayah NKRI.
Allah SWT berfirman: “Tidak beriman kepada-Ku, orang-orang tidur dalam keadaan kenyang, sementara ia tahu tetangganya kelaparan.” (Hadits Qudsi).
Mengenyangkan perut penguasa bukanlah hal yang langka dalam sistem kapitalisme. Sudah menjadi tradisi para kapitalis untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya, tanpa menengok kekayaan siapa yang mereka rampas, yang penting uang. Haram pun menjadi halal. Begitupun sebaliknya, hal yang halal diharamkan selama mengancam kiprah mereka. Keadaan seperti ini, tentu membuat muak para rakyat kecil, tak terkecuali rakyat Papua yang merasa kekayaan berlimpah, tetapi dinikmati para kapitalis. Ketidakadilan dalam segala bidang adalah hal pasti yang dirasakan rakyat papua dalam sistem kapitalisme. Bagi rakyat Papua, memisahkankan diri dari NKRI bukanlah solusi!
Selama suatu negara tetap menerapkan sistem kapitalis, efek buruk sistem ini tidak akan bergeser sedikitpun. Selama suatu wilayah atau negara berpredikat negara demokrasi, sesungguhnya tidak akan lepas dari pengaruh asing, yang mengembangkan logika ekonomi kapitalisme, mendikte keputusan politik yang menguntungkan kepentingan kapitalis. Kapitalisme menyuburkan cengkraman asing, cengkraman Amerika atas Papua.
Islam Solusi Kapitalisme
Agresifitas kapitalisme menghabiskan kekayaan umumnya dilakukan dengan perilaku rakus para kapitalis. Kerusakan ini harus dihentikan. Selama sistem kapitalisme bercokol dibumi ini, maka kesejahteraan rakyat yang dicita-citakan hanyalah mimpi di siang hari.
Kapitalisme telah menjadi gurita besar. Seluruh tentakelnya membelit negara-negara miskin dan berkembang di dunia ini dengan terus-menerus dihisab, dikeruk, dirampok kekayaannya. Faham kapitalis, sudah jelas membuat masyarakat merasakan kesengsaraan dan tidak akan terbangun keseimbangan dalam sistem perekonomian pada negara tersebut.
Dijelaskan oleh ustadz Saiful Basri bahwa Indonesia adalah surganya bagi kapitalis. Pengusaha yang hanya bermodal kertas (uang) ditukar dengan komoditas berkualitas. Kapitalis tumbuh subur di Indonesia, jika diibaratkan pohon “akarnya menancap kuat dalam tanah, batangnya kuat dan menjulang tinggi.” Kesejahteraan ekonomi tidak akan dirasakan rakyat Indonesia, khususnya rakyat Papua.
Untuk menghadapi penjajahan ekonomi kapitalis di Indonesia, dibutuhkan alternatif solutif yang bersumber dari Islam, sistem yang menyejahterakan, memiliki pandangan terhadap ekonomi bahwa seluruh harta yang ada di dunia ini sesungguhnya milik Allah SWT.
Dalam Q.S An-Nur: 33 yang artinya: “…dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah SWT yang dikaruniakan-Nya kepadamu,”(Q.S. An-Nur: 33).
Harta yang diberikan Allah kepada manusia merupakan pemberian dari Allah SWT yang bisa dimiliki, dimanfaatkan, dikembangkan dan didstribusikan secara sah sesuai dengan yang diperintahkan Allah SWT.
Ekonomi yang mandiri dan pro-rakyat hanya akan terwujud jika negeri ini menerapkan aturan Islam. Perekonomian Islam dijalankan dalam bangunan hukum dan politik Islam secara konsisten. Kini, saatnya Indonesia keluar dari cengkraman ekonomi dalam naungan kapitalisme.
Islam mempunyai sistem sendiri yang mampu mendatangkan kesejahteraan, keteraturan kehidupan manusia dan kebahagiaan. Sudah saatnya umat Islam kembali kepada tuntunan dan aturan yang berasal dari Allah SWT yang Maha Bijaksana.
Hal itu, tidak lain dengan jalan menerapkan syariah Islam. Menolak sistem kapitalisme, menggantinya dengan sistem Islam adalah cara terbaik untuk menyelamatkan umat dan mengantarkan manusia pada kesejahteraan. Umat akan merdeka, tidak terkecuali Papua, hidup dengan harta yang berasal dari Allah SWT dengan pengelolaan yang baik dari aturan yang datang dari sang pencipta. Wallahu a’lam bi shawab.[]
*Mahasiswi Universitas Halu Oleo, Sultra, fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, semester V
Comment