Oleh: Fata Vidari, Aktivis Peduli Generasi
Anggota Komunitas Cinta Ilmu Islam (KCII)
__________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Di tengah gencarnya narasi kontra radikalisme dan isu-isu intoleransi yang banyak diarahkan kepada umat islam sebagai pemeluk agama mayoritas di Indonesia, justru fakta sebaliknya terjadi pada umat islam di India.
Sebagai pemeluk agama minoritas, telah sejak lama mereka mendapatkan perlakuan yang tidak adil dari Penguasa. Bahkan beberapa waktu yang lalu ketegangan terjadi lagi terkait seruan untuk melakukan genosida umat islam oleh kelompok ekstrimis hindu yang menjadi partai politik terbesar dalam pemerintahan India.
Seruan ini sebagaimana dikutip vnnindonesia.com (16/01/2022), terjadi pada sebuah konferensi di India Desember lalu dan banyak pihak yang mengecam, namun mirisnya pemerintah kurang menanggapi untuk melakukan aksi pencegahan atau penangkapan padahal jelas aksi ini semakin memperburuk konflik hubungan antar agama yang telah terjadi sejak lama.
Tak bisa dipungkiri, kerusuhan ini adalah konflik beragama yang dipicu Islamofobia, hingga mengakibatkan tindakan yang kejam dan represif terhadap muslim India. Kecaman demi kecaman datang dari seluruh dunia, namun yang mengecam hanyalah rakyat kebanyakan.
Sementara dari negara-negara di dunia hingga PBB tidak mampu memediasi dan menghentikan kebrutalan pihak-pihak yang didukung pemerintahan India. Bahkan Indonesia sendiri yang mempunyai hubungan diplomatik baik dengan India, juga sama-sama sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar tidak bisa berbuat banyak.
Padahal menurut pengamat hubungan internasional harusnya sejak awal pemerintah Indonesia bisa memanfaatkan posisi sebagai anggota Dewan HAM dan Dewan Keamanan PBB dengan memberikan teguran keras kepada pemerintah India, namun nyatanya tidak terjadi (tirto.id 3/3/2021).
Hal ini sejalan pula dengan sikap Amerika Serikat yang selalu menggembar gemborkan HAM, nyatanya tidak tampak melakukan kecaman dan pengerahan pasukan sebagaimana yang mereka lakukan di negeri-negeri muslim seperti Afghanistan dan Irak yang mereka sebut dengan darurat konflik kemanusiaan. Lalu bagaimana dengan India?
Insiden kekerasan di India sebenarnya telah berlangsung sejak lama. Ini merupakan kelanjutan dari serentetan aksi kekerasan antimuslim yang terus terjadi di India yang dilakukan oleh aparat dan dilindungi negara. Isu sektarian terus dipelihara oleh Pemerintah India dengan pengesahan Undang-Undang (UU) Antimuslim atau UU Amandemen Warga Negara (UU CAB).
Di dalamnya terdapat pernyataan akan mempercepat pemberian kewarganegaraan untuk warga dari enam agama : Hindu, Sikh, Buddha, Jain, Parsi, dan Kristen yang berasal dari negara tetangga Afghanistan, Bangladesh dan Pakistan. Namun, dalam UU tersebut tak dicantumkan agama Islam. Hal inilah yang menyulut protes umat Islam di India dan makin memunculkan sikap anti islam (merdeka.com 27/2/2020).
Toleransi Sekedar Jargon
India adalah negara yang menerapkan demokrasi sebagaimana mayoritas negara di dunia. Salah satu hal yang digembar-gemborkan dalam demokrasi adalah toleransi. Namun nyatanya, toleransi hanya menjadi jargon kosong. Pemerintah India telah bertindak tidak toleran terhadap muslim di sana. Bukan hanya tidak toleran, Pemerintah India bahkan menciptakan kondisi melalui UU dan aksi-aksi politik agar mudah mempersekusi muslim di sana.
Mirisnya, pada saat muslim India mengalami perlakuan tak manusiawi, muslim sedunia tak mampu berbuat apa-apa. Padahal, India merupakan negeri muslim dengan populasi muslim yang besar, yakni mencapai 180 juta jiwa. Jumlah ini menjadikan populasi muslim India sebagai yang terbesar ketiga di dunia setelah Indonesia dan Pakistan.
Narasi Hak Asasi Manusia (HAM) yang selalu menjadi senjata negara barat untuk mengintervensi negeri-negeri muslim terlihat nyata menerapkan standar ganda. Mereka hanya peduli pada HAM yang menguntungkan perolehan material kapitalistik saja. Sementara ketika di India terang-terangan terjadi pelanggaran HAM pada umat islam, Barat seakan tak peduli dengan tidak mau terlalu jauh mengintervensi.
Begitu pula narasi radikal, ekstrimis dan intoleran selalu mereka arahkan pada islam ketika menjadi agama mayoritas. Sementara jika terjadi ketidakadilan pada muslim minoritas mereka katakan sebagai konflik biasa.
Dalam kasus Afghanistan mereka ramai-ramai mengecam Taliban sebagai partai islam yang berkuasa saat ini dengan tindakan intoleran dikarenakan akan menerapkan sistem islam. Narasi-narasi bahwa perempuan akan tertindas ketika diterapkan syariat terus mereka suarakan. Bahkan tuduhan terorisme kepada Taliban lekat mereka sematkan, termasuk tuduhan pendanaan terorisme di seluruh dunia.
Namun mirisnya mereka diam seribu bahasa melihat konflik di India atas kesewenang-wenangan partai Hindu yang berkuasa dan hanya menganggap ini konflik sosial semacam perebutan lahan. Sungguh, jargon toleransi Barat nyatanya tidak pernah berpihak pada umat islam.
Islam Kaffah Akan Memuliakan Umat
Jika kita menelisik kembali sejarah panjang kejayaan Islam di India, Malik Ibnu Dinar bersama 20 sahabatlah yang pertama kali menyebarkan ajaran Islam di India. Kedatangan Islam di sana disambut penduduk India dengan sukacita.
Salah satu motif warga India masuk Islam adalah agar terbebas dari sistem kasta yang mengungkungnya. Terdapat banyak peninggalan peradaban Islam yang hingga kini masih berdiri tegak di India. Taj Mahal, Redford, Fateh Puri, Benteng Agra, dan bangunan megah lainnya menjadi saksi betapa peradaban Islam pernah berkuasa dan berjaya di wilayah itu.
Namun sayang, kini muslim India lemah secara politik. Muslim sedunia juga lemah untuk menolong dan melindungi muslim India. Meski India bertetangga dengan Pakistan, tetapi batas nasionalisme menjadikan penguasa Pakistan tidak berdaya sehingga tidak mengirimkan militernya untuk menghentikan kekerasan terhadap muslim di India.
Inilah nasib muslim ketika berada dalam cengkraman sistem sekuler. Saat menjadi mayoritas, mereka tak boleh menerapkan syariat agamanya, karena akan dituduh intoleran. Sebaliknya, ketika menjadi minoritas, mereka harus tunduk pada aturan agama dan sistem lain, dan bahkan menerima perlakuan yang buruk. Jargon toleransi seolah tak berlaku jika muslim menjadi minoritas.
Ketika Khilafah Islam menguasai India, muslim di sana hidup aman. Darah, jiwa, dan harta mereka terlindungi. Di bawah Khilafah, warga Hindu juga tidak dipaksa masuk Islam. Semua pemeluk agama –ahlul kitab ataupun musyrik– akan mendapatkan perlindungan dan tidak dizalimi.
Saat Khilafah Utsmaniyah menguasai hampir 2/3 dunia, dengan keragaman komunitas agama dan etnis, semua dilindungi. Setelah menguasai Konstantinopel, Sultan Muhammad Al-Fatih memberikan kebebasan kepada orang-orang Nasrani untuk melaksanakan semua acara ritual keagamaan mereka dan memiliki pemimpin keagamaan yang mengatur urusan agama mereka.
Penindasan terhadap muslim faktanya tak hanya terjadi di India. Muslim Uighur di Cina, Rohingya di Myanmar, muslim Palestina, dan lainnya juga mengalami kekerasan yang sama. Penindasan ini terjadi bertahun-tahun, sementara dunia hanya diam. Upaya umat islam membentuk Liga Arab, Organisasi Konferensi Islam, dan kelompok negeri muslim lainnya tak memiliki kekuatan, bahkan justru menjadi alat Barat untuk mencampuri urusan negeri-negeri muslim.
Oleh karena itu kekuatan dan kesatuan politik umat Islam tidak bisa terwujud dengan organisasi internasional tersebut, namun harus berupa institusi negara yang menerapkan islam Kaffah di bawah satu kepemimpinan yang menaungi umat islam.
Selama 13 abad Islam kaffah telah diterapkan dalam wujud Khilafah dan sukses melindungi umat Islam dari segala serangan yang dilancarkan negara-negara musuh.
Ketika Khilafah diruntuhkan maka pelindung umat Islam pun telah tiada. Institusi politik yang menolong dan melindungi umat Islam tak ada lagi ketika mereka diserang musuh. Sehingga tegaknya Khilafah menjadi kebutuhan mendesak agar berbagai kezaliman yang dialami umat Islam sedunia segera berakhir.
Ketika tegak, Khilafah akan segera menggelorakan kekuatan untuk membebaskan negeri-negeri muslim yang terjajah. Semua tentara muslim akan dikerahkan, sehingga jumlah militer akan sangat besar. Negara Khilafah juga akan membangun industri militer tercanggih agar mampu menggentarkan musuh. Khilafah juga akan melakukan diplomasi luar negeri dengan memberikan tekanan pada penguasa yang menindas kaum muslim agar mereka menghentikan aksinya.
Sikap ini persis yang dilakukan Khalifah Al-Mu’tashimbillah dari Bani Abbasiyah, ketika menyelamatkan nyawa seorang muslimah yang dilecehkan oleh orang Romawi di Ammuria, Turki. Beliau mengirim ekspedisi militer yang amat besar. Kota Ammuria dikepung oleh tentara muslim hingga akhirnya takluk. Demikianlah perlindungan Khilafah terhadap nyawa satu orang muslim, apalagi jika yang dianiaya adalah banyak orang muslim seperti kondisi umat hari ini.[]
FATA VIDARI
Penulis dan Aktivis peduli generasi
Anggota Komunitas Cinta Ilmu Islam (KCII)
Banyuwangi, Jawa timur
Comment