Oleh : Widya Soviana, ST., M.Si, Dosen dan Pemerhati Masalah Sosial Masyarakat
_________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Setiap akhir tahun kita selalu disajikan kabar tentang bencana alam banjir dan tanah longsor. Bencana yang disebabkan oleh curah hujan yang tinggi dengan frekwensi waktu yang lama, sudah menjadi langganan sebagian masyarakat yang tinggal di dataran rendah maupun di dataran tinggi.
Bagi masyarakat yang tinggal di perkotaan, banjir umumnya terjadi dikarenakan luapan air sungai atau kapasitas daya tampung drainase yang tidak cukup untuk menampung air hujan. Sedangkan bagi masyarakat yang tinggal di dataran tinggi, bencana longsor umumnya terjadi karena lahan gundul yang tidak lagi stabil struktur tanahnya.
Tidak hanya longsor, banjir bandang sering pula menyapu tempat tinggal masyarakat yang tidak jauh dengan hulu sungai.
Dari Aceh, banjir bandang yang terjadi pada hari Sabtu, 30 Oktober 2021 di wilayah Gampong (desa) Peunalom dan Gampong Layan Kecamatan Tangse Kabupaten Pidie Jaya, telah merusak berbagai infrastruktur sarana dan prasarana masyarakat.
Air yang bercampur lumpur setinggi 1 meter telah menyebabkan ratusan unit rumah warga dan sekolah ikut rusak (antaranews.com, 31/10/21). Banjir tersebut juga telah membuat kondisi jembatan dan jalan sepanjang 3 km rusak parah (sindonews.com, 31/10/21). Banjir bermula karena hujan yang mengguyur pada Jum’at sore sebelumnya.
Di ibu kota Jakarta, banjir yang terjadi pada Minggu, 7 November 2021 telah menyebabkan sejumlah keluarga harus mengungsi ke tempat lainnya (liputan6.com, 08/11/21).
Banjir yang menjadi bencana rutin warga ibu kota terus berdampak buruk pada kehidupan masyarakatnya. Banjir akibat luapan sungai yang melewati Kota Jakarta bahkan dapat terjadi beberapa kali dalam setahun.
Masyarakat seperti telah terbiasa dan pasrah dengan keadaan yang ada. Namun, meski banjir berulang kali terjadi, kecenderugan masyarakat untuk tinggal di ibu kota demi rupiah, masih cukup tinggi. Hal ini tentu akan meningkatkan risiko bencana yang terjadi.
Melihat fenomena bencana hidrometeorologi, akan diperoleh beragam pandangan mengenai sebab bencana banjir semakin sering terjadi.
Secara umum, banjir merupakan sifat alami dari bentang alam yang dinamis. Yang berarti air akan mengalir dan bermuara di tempat-tempat yang rendah. Namun bencana banjir, akan terjadi hanya pada saat musim hujan tiba.
Untuk wilayah perkotaan, banjir dapat terjadi karena area resapan yang minim dan pelaksanaan pembangunan yang tidak mempertimbangkan lingkungan. Bisa juga, budaya masyarakat yang abai terhadap lingkungan dengan membuang sampah sembarang atau menjadikan sungai sebagai tempat pembuangan sampah akhir. Ditambah lagi, tidak adanya kepedulian pemerintah dalam mengelola sungai beserta bantaran sungai, menambah potensi bencana banjir itu terjadi.
Tidak cukup di situ, kerusakan parah di bagian hulu akibat pembukaan lahan secara besar-besaran baik untuk kepentingan lahan pertanian, perkebunan hingga pertambangan juga harus diperhitungkan sebagai sebab utama bencana banjir terjadi. Sehingga, perlu evaluasi lebih luas dan dalam untuk mencegah kejadian bencana yang semakin parah di masa yang akan datang.
Karena yang akan menjadi korban bencana adalah masyarakat secara luas, padahal acap kali masyarakat umumnya tidak mendapatkan manfaat dari pembukaan lahan tersebut. Bahkan keuntungan dari pembukaan lahan hanya dinikmati oleh segelintir orang-orang yang beruang atau bermodal. Yaitu, mereka yang memiliki kemampuan dalam berinvestasi untuk mengelola hutan.
Cara pandang yang salah tentang pemanfaatan dan pengelolaan lingkungan menjadi sebab utama bencana banjir terus terjadi hingga saat ini. Budaya pandang manfaat atas segala sesuatu, guna mendapatkan keuntungan berupa materi menjadi asas dalam mengelola lingkungan yang ada.
Cara pandang ini, tidak lagi peduli apakah pengelolaan lingkungan dimaksud akan berdampak buruk ke depan harinya. Selama hal tersebut akan menghasilkan pundi-pundi rupiah, maka akan dilakukan dengan segala cara tanpa pertimbangan dan kebijaksaan. Sikap seperti ini terjadi, karena pola fikir masyarakat yang materialistis terhadap segala hal. Di mana, tujuan hidup semata-mata untuk memperoleh kesenangan dan kemewahan.
Akan berbeda halnya dengan cara pandang di dalam kehidupan Islam, yang mengajarkan tentang pandangan kesuksesan dan kebahagiaan adalah untuk meraih keridhaan Allah Subhana wa Ta’ala.
Dasar pandangan dalam kehidupan, yakni terkait apa yang akan diperoleh di akhirat kelak apabila ia melakukan suatu perbuatan, yang berarti bukan hanya untuk mendapatkan keuntungan di dunia. Sehingga, setiap perbuatan akan terikat dengan aturan-aturan yang berasal dari syari’at Islam. Yaitu mengerjakan hal yang diperintahkan dan meninggalakan apa yang dilarang oleh Allah Subhana wa Ta’ala.
Dalam mengelola lingkungan, manusia sebagai khalifah di muka bumi bertanggung jawab terhadap lingkungan yang selaras dan seimbang. Adanya ketimpangan dalam pengelolaan lingkungan pasti akan berdampak terhadap bencana. Sebagaiman Firman Allah Subhana wa Ta’ala dalam surah Ar Rum ayat 41:
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.
Begitulah kabar yang disampaikan Allah Subhana wa Ta’ala kepada seluruh hamba Nya, agar manusia kembali pada kehidupan Islam, termasuk bagaimana Islam mengelola lingkungan untuk kemaslahatan masyarakatnya dengan menjadikan syari’at Allah Subhana wa Ta’ala sebagai satu-satunya panduan menjalani kehidupan di dunia. Sehingga dengan itu, manusia akan mendapatkan rahmat dan kebaikan hidup di dunia dan juga di akhirat. Sebagaimana kabar gembira dan ancaman yang disampaikan Allah Subhana wa Ta’ala dalam surah Al ‘Araf ayat 96:
“Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan”.[]
Comment