RADARIMDONESIANEWS.COM, KAKARTA – Dalam usaha pencegahan atau memutus mata rantai Covid-19, pemerintah kita telah sepakat dengan kebijakan yang diberi nama PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), namun PSBB hanya berlaku untuk kawasan yang sudah tergolong zona merah.
Seperti yang telah kita ketahui bersama, bahwa usulan PSBB dari daerah perlu disetujui oleh Menkes (Menteri Kesehatan), yang dijabat oleh pak Terawan Agus Putranto. Daerah baru dapat izin penerapan PSBB setelah proses kajian epidemiologi dan pertimbangan kesiapan daerah baik aspek sosial, ekonomi, dan aspek lainnya.
Aceh yang notabenenya belum masuk kawasan zona merah tentu tidak menerapkan PSBB, walau kita pernah merasakan aturan jam malam, dan kebijakan lainnya. Tapi sekarang jam malam telah lama dicabut, karena kawasan kita yang masih terbilang aman untuk saat ini, dan semoga selalu aman tentunya.
Tetapi yang menjadi kekhawatiran sekarang adalah disiplin sebagian masyarakat telah berkurang dalam pencegahan diri, protokol pencegahan yang selama ini terus-menerus disampaikan baik dari kalangan masyarakat itu sendiri maupun pemerintah. Sekarang hanya tinggal spanduk yang dipasang di tiang-tiang maupun pagar, anjuran-anjuranya tidak dibawa dalam aktivitas-aktivitas harian masyarakat.
Dengan bebasnya masyarakat kita dari aturan PSBB, malah membuat kita melupakan disiplin diri demi terhindar dari virus corona. Sering malah kita menyepelekan Covid-19 dengan tidak mematuhi protokol pencegahan Covid-19. Seakan kita lupa bahwa virus corona ada dan berlipat ganda, padahal setiap hari media massa memberitakan kasus-kasus baru baik dari luar negeri maupun dalam negeri. Bukti bahwa virus corona masih belum usai.
Sejauh yang saya amati, dalam hal ini objek kajian saya adalah kampung halaman sendiri, tepatnya daerah sekitaran Teupin Raya, Kabupaten Pidie. Dimana saya melihat, sekarang semakin banyak masyarakat keluar rumah tanpa masker, jadi setiap hari saya berkeliling sambil menunggu waktu berbuka, ternyata semakin berkurang masyarakat yang masih setia dengan masker.
Mau dibilang tidak memiliki masker, pengalaman saya masker dibagi dari desa, bahkan diantar sampai kerumah warga oleh aparatur desa, pembagian dengan menghitung jumlah anggota dari KK (Kartu Keluarga). Jadi alasan tidak memiliki masker serasa absurd di desa saya.
Tak sampai disitu, dipasar bahkan tidak ada lagi jaga jarak. Setiap hari kerumunan masyarakat berkumpul untuk sekedar belanja kebutuhan dapur atau persiapan takjil untuk berbuka, tentu kita tidak meyalahkan belanjaannya, namun yang menjadi kekhawatiran adalah disiplin masyarakat semakin hari terlihat semakin berkurang.
Padahal kerumunan dipasar sangat beresiko terjadinya perpindahan penyakit menular seperti Covid-19 ini, apalagi kita tidak pernah tahu dari mana saja orang yang ada dipasar tersebut.
Bukan cuma dipasar bahkan diwarung kopi saja, sudah tidak ada lagi jaga jarak, masih banyak yang duduk dengan skema kerumunan.
Padahal kita sama-sama tahu, dimana proses penyebaran vvirus ini melalui manusia ke manusia. Memang kawasan kita masih zona aman, tapi bukankah belum ada tes massal Covid-19.
Karena ada yang positif tanpa gejala, dan yang paling dikwatirkan ada gejala tapi takut untuk sekedar memberi tahu, apalagi konsultasi kerumah sakit. Jadi fenomena seperti ini sangatlah mengkhawatir.
Sejauh yang saya tangkap selama berada ditengah masyarakat, baik dari cara Teman mengajak untuk buka puasa bersama, juga mendengar perbincangan hangat sebagian masyarakat didalam warung kopi. Ternyata ada yang masih tidak percaya tentang keberadaan virus corona, “Covid-19 nihil” katanya.
Adapun dengan percaya diri karena alasan takdir, begini kira-kira pernyataannya “Kalau takdir tidak mengatakan saya mati ataupun tersentuh Covid-19, maka tidak akan.” Tentu ini menjadi sulit sekali, ketika argumen-argumen seperti ini muncul ditengah masyarakat kita, maka protokol pencegahan Covid-19 tidak akan pernah terlaksana sesuai harapan.
Ada yang percaya bahwa virus corona hanya mitos tentu ini menjadi sangat ajaib, padahal media massa terus memberitakan kasus kematian karena Covid-19, bahkan dunia sedang berperang dengan virus yang mematikan ini. Jangan sampai hanya karena virus corona tak kasat mata, lantas kita pergi dengan anggapan ini dongeng.
Fenomena ini seperti menerangkan lagi bahwa kita begitu dogmatis dalam menangkap opini yang menyebar, hanya karena satu-dua orang yang mengatakan virus ini mitos, langsung ada yang mengikuti, pertanda kritis tidak ada sama sekali.
Yang percaya dengan alasan takdir tak akan kemana, bahwa kematian telah digariskan, lalu percaya diri untuk tidak mengunakan masker serta lupa untuk menjaga jarak.
Ini tentu adalah cara memahami takdir yang keliru. Ia takdir sudah digariskan Tuhan, tapi bukan dengan ini lantas kita pergi kedalam marabahaya dengan percaya diri, padahal selalu kita mendengar, bahwa menghindari yang berbahaya sangat dianjurkan dalam agama.
Dalam hemat saya, dengan melihat beberapa alasan diatas, sangat terlihat cara mereka memberi makna terhadap Covid-19, mereka melihat virus corona hanya sebuah kebohongan semata, hanya karena belum melihat dengan mata kepala sendiri korban-korban Covid-19, lalu meganggap bahwa ini hanya kebohongan demi mencegah orang beribadah, serta mencegah aktivitas-aktivitas.
Di balik carut-marut pemahaman ini, Kendati kita juga terbiasa melakukan sesuatu ketika diatur, karena tidak ada yang mengawasi sering kita jadi enggan menerapkan sesuatu. Sebut saja pengunaan helm ketika berkendara, kita masih perlu diawasi, bukti bahwa kita gugup dalam memahami arti dari keselamatan diri sendiri.
Seharusnya dengan kondisi daerah kita yang masih tergolong aman, bisa menjadi semangat untuk tetap menjaga agar daerah kita tetap pada posisi aman. Kita harus terus berpartisipasi agar terhindar dari sesuatu yang tidak kita inginkan.
Jangan takut dianggap berbeda hanya karena rajin menggunakan masker, kita perlu mengingat bahwa kondisi telah berubah. Maka tatanan dan cara mempertahankan kehidupan juga berubah.
Tentu sangat disayangkan bila fenomena ini terus berlanjut, padahal bila kita terus disiplin mencegah penyebaran Covid-19, tentu bisa menjadi contoh untuk daerah-daerah lain.
Karena sejatinya wacana PSBB bertujuan memutus mata rantai Covid-19, jadi tanpa PSBB pun kita masih bisa punya wacana yang lain dengan tujuan atau makna yang sama yaitu memutus mata rantai penyebaran Covid-19.
Dengan terus mengunakan masker kita telah bebuat baik kepada sesama, dengan terus peduli dan punya kesadaran akan pencegahan juga kita telah berbuat baik kepada semua.
Maka bijaklah dengan sendirinya, jangan hanya bisa menunggu kebijakan dari pemerintah.[]
*Mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Ar-Raniry, Banda Aceh
Comment