Muflihana, S.Pd*: Akankah Indonesia Terbebas Dari Utang?

Opini839 Views

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Tren baru ditengah wabah selain persebaran virus yang meningkat, ternyata jumlah utang negara turut membengkak.

Kenaikan angka yang sama sekali jauh dari nilai kebaikan. Keduanya bisa dikategorikan penyakit yang semakin menggerogoti. Virus yang memberikan penyakit fisik dan utang yang memberikan penyakit bagi nilai fundamental negara.

Bank Indonesia (BI) mencatat pembengkakan utang luar negeri (ULN) Indonesia pada akhir April 2020 menjadi sebesar USD400,2 miliar. ULN terdiri dari sektor publik yakni pemerintah dan bank sentral sebesar USD192,4 miliar dan sektor swasta termasuk BUMN sebesar USD207,8 miliar.

“ULN Indonesia tersebut tumbuh 2,9 persen (yoy, year-over-year), lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan pada Maret 2020 sebesar 0,6 persen (yoy). Hal itu disebabkan oleh peningkatan ULN publik di tengah perlambatan pertumbuhan ULN swasta,” jelas Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Onny Widjanarko melalui keterangan di Jakarta, Senin (15/6/2020).

Menurutnya, perkembangan tersebut dipengaruhi oleh arus modal masuk pada Surat Berharga Negara (SBN), dan penerbitan Global Bonds pemerintah sebagai bagian dari pemenuhan kebutuhan pembiayaan, termasuk dalam rangka penanganan wabah covid-19(asiatoday.id).

Jalan buntu yang ditemui negara hari ini demi menjaga stabilitas ekonomi yang pada dasarnya jauh dari kata stabil mengharuskan utang sebagai solusi satu-satunya. Kebutuhan APBN yang semakin tinggi mengakibatkan defisit APBN membengkak 42,8% menjadi Rp 176,9 triliun atau 1,1% terhadap PDB.

Belum lagi pemasukan negara yang secara garis besar menyandarkan pada pembiayaan investasi yang saat ini turun Rp 6 triliun. Maka Sri Mulyani mentotalkan jumlah pembiayaan hingga Mei 2020 sebesar Rp 356,1 triliun. Adapun posisi utang pemerintah per April 2020 sebesar Rp 5.172,48 triliun (katadata.co.id).

Secara tidak langsung penambahan utang luar negeri untuk menutupi anggaran yang defisit menghantarkan kepada penyusutan subsidi dan peningkatan nilai pajak serta perluasan objek pajak.

Hal ini dapat diartikan bahwa semakin melonjak harga-harga dipasaran, pembiayaan pendidikan, kesehatan, dan berbagai sektor yang dipunguti pajak.

Selain itu objek dan subjek pajak pun akan diperluas dimana sebelumnya telah banyak wacana untuk memperbarui objek pajak semisal, indekost, youtube, barang mewah dan berbagai objek yang banyak dipergunakan oleh masyarakat. Pemilik umkm menengah pun tak lolos agar tak menjadi subjek pajak.

Siapa mereka yang akan menjadi subjek pajak untuk menyelesaikan masalah yang dibuat negara yang telah menambah utang, tidak lain ialah rakyat. Rakyat yang menjadi selotip untuk menutupi galian utang yang tak pernah betul-betul tertutupi sejak utang luar negeri pertama kali masuk ke Indonesia. Lalu sampai kapan kita betul-betul terjerat utang negara?

Sampai kapan kita tidak mampu menetapkan kebijakan demi rakyat karena jerat utang yang berdampak pada disetirnya berbagai kebijakan dalam negeri oleh asing?

Belum lagi negara harus berhadapan dengan bunga hutang yang semakin hari semakin bertambah, menjadikan negara selama ini tak bisa terlepas karena hanya menyelesaikan bunga utang sedangkan utang pokok tak pernah terbayarkan. Lantas apa solusi yang kiranya mampu menyelesaikan persoalan utang ini?

Wanti-wanti nilai utang yang akan membengkak sejatinya telah ada sejak 2018 oleh Institute For Development of Economics and Finance.

Menurut riset Indef, ada empat negara yang gagal membayar utang. Ekonom Indef M. Rizal Taufikurrahman mengatakan, ada negara yang berhasil membiayai proyek infrastrukturnya dengan utang, tetapi ada juga yang gagal. Contohnya yang terjadi pada Zimbabwe memiliki utang US$ 40 juta kepeda China.

Akibatnya negara itu harus mengikuti keinginan China mengganti mata uangnya menjadi yuan sebagai imbalan penghapusan utang. Mata uang yuan di Zimbabwe mulai berlaku pada 1 januari 2016, setelah pemerintahan Zimbabwe mendeklarasikan tidak mampu membayar utang yang jatuh tempo pada akhir Desember 2015 (bisnis.tempo.co).

Jangankan dikarenakan tak mampu membayar utang negara kita hari ini pun sarat akan dikomandoi asing setiap kebijakannya.

Oleh karena itu sebelum kejadian yang terjadi pada Zimbabwe menimpa Indonesia kiranya kita bisa memikirkan kembali arah pengelolaan ekonomi negara kita seharusnya diperbaiki sejak dini. Namun, adakah jalan keluar bagi permasalahan jerat utang ini?

Mengenai ini, peneliti ekonomi syariah dan politisi Islam, Ustazah Nida Sa’adah, S.E., M.E.I., Ak., mengatakan solusi seretnya keuangan negara hari ini bisa dengan mudah diselesaikan kalau negeri ini mau taat dengan syariat Islam. Yakni dengan berhenti terapkan praktik ribawi, termasuk praktik menjual surat utang obligasi berbunga yang jelas haram.

“Alternatif pembiayaan keuangan negara bisa diselesaikan dengan menerapkan sistem keuangan negara berbasis syariah, yakni baitulmal. Di dalamnya ada tiga pos pemasukan yang bisa menghasilkan pendapatan sangat besar tanpa utang dan tanpa penarikan pajak,” jelasnya.

Adapun ketiga pos tersebut adalah pos pengelolaan kepemilikan umum, pos pengelolaan kepemilikan negara, dan pos pengelolaan zakat mal.

Di sisi lain, jika obligasi diterbitkan dengan alasan mencari dana untuk menghadapi situasi pandemi Covid-19, itu juga disertai transparansi.

“Untuk apa saja alokasinya? Sebesar berapa untuk masing-masing itemnya? Lalu dibandingkan dengan pos pendapatannya. Berapa pembiayaan yang tersedia? Kalau untuk menyuplai kebutuhan pokok, beban negara sudah banyak berkurang dengan keterlibatan masyarakat yang saling membantu,” terangnya.

Ustazah Nida mencontohkan, di masa Khalifah Harun Al Rasyid, surplus baitulmalnya bahkan sejumlah pendapatan dalam APBN Indonesia hari ini. Surplusnya mencapai 2.000 triliun lebih.

Surplus artinya total penerimaan setelah dikurangi total pengeluaran. Bisa dipastikan penerimaannya pasti jauh melampaui angka surplusnya.

Memenuhi kebutuhan pokok selama pandemi, sangat bisa di-cover keuangan negara dengan proses pengalihan alokasi anggaran (muslimahnews.id).

Ternyata menambah utang bukanlah solusi satu-satunya dalam mengahadapi kesulitan ekonomi hari ini, melainkan solusi dangkal karena tak mengambil pelajaran dari sejarah.

Jika memang ada solusi lain yang bisa diadopsi negara namun mengapa negara masih nyaman dengan lilitan utang tiada akhir?

Tidakkah prioritas mensejahterahkan rakyat lebih utama dibandingkan mengambil solusi utang yang membuat negara bergantung pada negara lain?

Akankah negara memiliki keberanian mengambil solusi sesuai Syariat Islam yang memang mementingkan kesejahteraan dalam konsep negaranya? Maka silahkan rakyat menentukan pilihan sebagai solusi demi kepentingan dan kemaslahatan. []

*Praktisi pendidikan

Comment