Oleh: Puspita Ningtiyas*
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Awal Februari lalu, viral soal guru beragama nasrani di Sulsel yang ditugaskan di sebuah sekolah Islam atau madrrasah. Walaupun pihaknya merasa kaget, nampaknya kementerian agama tetap pada pendiriannya.
Sebagaimana dilansirsuarasulsel.id, Analis Kepegawaian Kementerian Agama (Kemenag) Sulsel Andi Syaifullah mengatakan, kebijakan penempatan guru nonmuslim di sekolah Islam atau madrasah sudah sejalan dengan Peraturan Menteri Agama (PMA) Republik Indonesia, tentang pengangkatan guru madrasah khususnya pada Bab VI pasal 30.
PMA Nomor 90 tahun 2013 telah diperbaharui dengan PMANomor 60 tahun 2015 dan PMA Nomor 66 tahun 2016.
Pada Bab VI pasal 30 dicantumkan tentang standar kualifikasi umum calon guru madrasah (khususnya pada poin a), yaitu beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Memang tidak disebutkan bahwa guru madrasah harus beragama Islam. Namun, jika kita cermati keberadaan sekolah Islam atau madrasah yang harusnya sangat kental dengan nuansa Islam, tentu membutuhkan sebuah sistem pembelajaran dan guru yang mempunyai kapasitas ke-Islaman. Apakah guru non muslim memenuhi kualifikasi ?
Lantas apa jadinya jika guru yang menjadi ujung tombak pengajaran di sekolah justru tidak memahami ajaran Islam itu sendiri ? Jelas yang akan terjadi adalah tergadainya jati diri diri anak didik.
Maka sistem pengajaran dan guru muslim yang memahami Islam adalah sebuah keharusan dalam pendidikan Islam. Hal ini bertujuan menselaraskan visi dan misi sekolah Islam atau madrasah yaitu membentuk kepribadian Islam dengan pola pikir dan pola sikap Islami.
Terlebih pengajaran yang membekas adalah memberikan teladan nyata, bukan sekedar transfer ilmu. Ini hanya bisa terwujud jika guru adalah sosok sholih sholihah yang patut menjadi panutan.
Begitulah Islam meletakkan peran guru bukan hanya sebagai gudang ilmu tapi juga subyek penguat aqidah dan pembentuk kepribadian Islam pada diri anak didik di sekolah.
Sekolah dalam sistem Islam bersinergi dengan negara sebagai penjaga Islam agar tetap menjadi way of life dan juga sebagai wasilah dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.
Terbukti dalam sejarah peradaban Islam, pendidikan berbasis aqidah Islam berhasil mencetak generasi berkepribadian Islam sekaligus cemerlang dalam ilmu dunia. Cukup pola pikir dan sikap Islam yang jadi pegangan, bukan yang lain.
Tanpa bermaksud mendiskriminasi guru nonmuslim, persoalan pendidikan terlebih pendidikan aqidah bukan sesuatu yang bisa dimoderasi dengan alasan globalisasi, apalagi di kompilasi atau dikompromikan.
Allah Swt. berfirman, “Janganlah kalian campur adukkan antara kebenaran dan kebatilan, dan kalian sembunyikan yang benar padahal kamu mengetahuinya.” (QS Al-Baqarah [02]: 42).
Pun jika atas nama toleransi, sesungguhnya toleransi ada tempat dan batasnya sebagaimana Islam telah menerangkan dalam berbagai nash yang ada.
Allah Swt. berfirman, “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada thagut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS Al-Baqarah [02]: 256).[]
*Aktivis Muslimah, Lamongan
_____
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat menyampaikan opini dan pendapat yang dituangkan dalam bentuk tulisan.
Setiap Opini yang ditulis oleh penulis menjadi tanggung jawab penulis dan Radar Indonesia News terbebas dari segala macam bentuk tuntutan.
Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan dalam opini ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawab terhadap tulisan opini tersebut.
Sebagai upaya menegakkan independensi dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ), Redaksi Radar Indonesia News akan menayangkan hak jawab tersebut secara berimbang
Comment