Moderasi Beragama, Mampukah Membangun Masyarakat Bertakwa?

Opini981 Views

 

 

Oleh : Hawilawati, S.Pd, Muslimah Permata Umat
__________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Disadari atau tidak, sistem Sekulerisme telah menjauhkan muslim dari pemahaman syariah Islam secara kaffah. Jangankan paham aspek yang terkandung di dalamnya, istilahnya saja masih asing dibenak umat Islam.

Pun Istilah Islam kaffah kerapkali disematkan dengan sesuatu yang negatif atau buruk yaitu intoleransi, radikal, kaku, tidak berprikemanusiaan, ekstrim, menindas kaum minoritas. Sehingga yang tergambar oleh banyak orang, tak terkecuali umat Islam itu sendiri bahwa Islam kaffah bagaikan monster yang menakutkan dan berujung umat Islam phobia terhadap ajarannya sendiri, ironis.

Kondisi di atas masih belum berakhir, sudah hadir istilah baru yaitu moderasi beragama. Bagi pengusung, agenda ini dianggap urgen berlaku di negeri ini, untuk menghalau masyarakat bersikap radikal alias berjiwa moderat.

Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menyampaikan pentingnya toleransi dan moderasi dalam memperkuat negara bangsa. Moderasi dan toleransi secara subtansi tidak jauh berbeda yang bertujuan mengarahkan perilaku beragama umat beragama di Indonesia untuk berada di jalur tengah atau moderat (Kemenag.go.id 07/10/2021)

Sebenarnya ada apa dibalik agenda moderasi beragama, apakah dengan agenda ini mampu membangun masyarakat bertakwa, mampu membedakan antara perkara yang menyelamatkan dan membahayakan negerinya (menjaga kedaulatan), mendudukkan segala persoalan hingga tercipta kerukunan bermasyarakat serta memberikan kemajuan bagi negeri?

Menurut kemenag moderasi beragama memiliki empat indikator, diantaranya :

Pertama, adanya komitmen kebangsaan, maksudnya menerima prinsip-prinsip kebangsaan dalam UUD 1945 dan berbagai regulasi di bawahnya.

Kedua, adanya toleransi yang diwujudkan dengan menghormati perbedaan dan memberi ruang orang lain untuk berkeyakinan, mengekspresikan keyakinannya, dan menyampaikan pendapatnya.

Ketiga, bersikap anti kekerasan, yakni menolak tindakan seseorang atau kelompok tertentu yang menggunakan cara-cara kekerasan, baik secara fisik maupun verbal, dalam mengusung perubahan yang diinginkannya.

Keempat, penerimaan terhadap tradisi. Maksudnya ramah terhadap tradisi dan budaya lokal dalam perilaku keagamasnnya, sejauh tidak bertentangan dengan pokok ajaran Islam.

Munculnya agenda moderasi beragama diperkuat dengan adanya kasus-kasus yang dianggap radikal, perbuatan ektremis yang dilakukan oleh kelompok tertentu. Perbuatan ini dianggap tidak menjaga harmonisasi bermasyarakat antar umat beragama. Ironisnya jika melihat fakta yang ada, perbuatan radikal atau intoleransi lebih ditujukan kepada agama yang dianut mayoritas masyarakat negeri ini yaitu Islam. Dengan bersebaran opini negatif, seakan-akan muslim adalah pelaku radikal, teroris atau pelaku ketakutan di masyarakat.

Sehingga, hadirnya agenda moderasi beragama dengan empat indikatornya, seakan menjadi sebuah acuan dalam membina masyarakat agar dapat menjadi warga negara yang baik berjiwa moderat, tidak radikal atau ekstrem, bisa menerima perbedaan yang ada (toleransi). Agenda ini dianggap sesuatu yang sangat urgen dan harus diterapkan di semua level dan kalangan, bahkan mulai dari usia dini melalui parenting tumbuh kembang anak hingga level perguruan tinggi di dalam kurikulum pendidikannya.

Kenapa juga harus ada acuan lain (moderasi beragama) dengan berbagai indikator yang absurd ?
Bukankah sudah ada agama bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah sebagai petunjuk atau acuan sempurna di dalam melahirkan manusia yang baik dan bertakwa ?

Di nilai absurd, misal dalam indikator kedua yaitu toleransi. Apakah tepat jika ada saudara kita sesama muslim, berprilaku menyimpang seperti LGBT lalu kita biarkan dengan alasan menghargai perbedaan, kebebasan ekspresi atau HAM, sementara di dalam Islam perbuatan tersebut diharamkan, pelakunya akan dilaknat Allah, bahkan akan menimbulkan azab bagi yang lainnya.Kemudian serat merta orang yang menolak atau tidak mendukungnya disebut orang yang intoleransi ?.

Atau ketika ada agama lain merayakan hari raya besar mereka, lalu kita yang muslim tidak mengucapkan hari raya itu kepada mereka, juga dikatakan kita adalah orang yang intoleransi, dicap sebagai orang yang tidak menerima perbedaan?

Sehingga jika mau dijuluki orang moderat harus menerima dan menghargai kebebasan prilaku seperti LGBT tersebut dan dianggap wajar jika seseorang mengikuti ritual agama lain. Bukankah pandangan ini justru merusak aqidah dan menjauhkan diri seseorang memahami Syariat Islam dengan benar ?

Di sinilah letak indikator moderasi beragama lemah, multifafsir. Bahkan bisa ditafsirkan serampangan oleh orang-orang yang memiliki kepentingan dan menghadang seorang muslim yang memposisikan seluruh perbuatan dan pemikirannya bersandarkan Aqidah yang shohih.

Ya, umumnya orang mengenal Islam yang baik itu adalah yang washathiyah, Berdasarkan surah al-Baqarah ayat 143 yang ditafsirkan wasathiyah adalah jalan tengah (moderat). Namun benarkah tafsiran ayat Allah tersebut demikian?

Ummat[an] wasath[an] itu istilah al-Quran yang secara kontekstual tidak ada hubungannya dengan istilah moderasi agama saat ini, yang sering dikontraskan dengan istilah radikalisme atau ekstremisme.

Umat yang adil ini maksudnya bukanlah umat pertengahan antara umat Yahudi dan umat Nashrani, seperti penafsiran sebagian orang.

Bukan pula pertengahan dalam arti posisi tengah antara ifrath (berlebihan) dan tafrith (longgar). Melainkan umat yang memiliki sifat adil dalam memberikan kesaksian (syahadah). Pasalnya, umat Islam akan menjadi saksi kelak pada Hari Kiamat, bahwa para nabi sebelum Rasulullah saw. telah menyampaikan wahyu kepada umatnya masing-masing.

Sebagaimana dimaklumi dalam fikih, bahwa orang yang menjadi saksi, misal saksi dalam jual-beli, atau saksi dalam akad nikah, wajib bersifat adil.

Makna adil seperti itulah yang dimaksudkan sebagai sifat umat Islam sebagai tafsiran ummat[an] wasath[an] dalam QS. al-Baqarah ayat 143.

Cendikiawan muslim Ustaz Ismail Yusanto pun mengkritisi bahwa moderasi beragama adalah pesanan musuh Islam untuk memperlemah kaum muslim.

Ironisnya, untuk melancarkan agenda ini beriringan dengan agenda rekontekstualisasi fikih yang dilakukan kemenag dengan beberapa alasan dalam menghadapi tantangan zaman. seperti hukum waris yang sudah jelas dan tegas di dalam al-Qur’an, tanpa ada perbedaan di kalangan para sahabat dan ulama, begitu direkontekstualisasikan dengan feminisme, berubah total. Warisan laki-laki dan perempuan harus sama.

Menggeser Bab khilafah dan jihad dalam kurikulum pendidikan madrasah. Bab ini dimasukkan sebagai mata pelajaran sejarah saja, bukan masuk dalam mata pelajaran fiqih yang generasi Islam sangat perlu atau harus memahami ajarannya lebih detil terkait hukum, konsep dan tujuannya serta bagaimana pelaksanaannya.

Sistem sekuler menganggap bab Khilafah dan jihad ini berbahaya, akan menimbulkan pribadi yang radikal, ekstrem. Mendorong seseorang melakukan berbagai tindak kekerasan sehingga menuai perpecahan harmoni antar umat beragama.Jadi ajaran ini dianggap tidak relevan diterapkan di negeri yang beragam agama ini.

Bukankah menolak ide khilafah sebagai institusi yang akan melegalkan syariat Islam kaffah dan jihad sebagai kekuatan kaum Muslimin menjaga darah dan kedaulatan bangsanya adalah sebagai tindakan pendustaan terhadap ajaran Rasulullah Saw?

Sungguh, terjadinya banyak kerusakan dan kegagalan negeri dalam membangun masyarakat sejahtera, rukun, bebas dari kemungkaran maksiat, gesekan antar agama, bahkan kedaulatan negeri terancam, bukan karena masyarakat terutama umat islam tidak bersikap moderat, bukan disini substansinya.

Justru kegagalan penguasa memajukan negerinya, adalah karena negeri muslim ini telah mengadopsi sistem Sekulerisme dengan indikator kebijakan yang rusak (menghalalkan segala cara). Mencampur yang haq dan batil, yang penting demi meraih materi sebanyak-banyaknya.

Sistem sekuler yang diadobsi negeri ini, tidak mampu menjadi solusi tuntas problematika umat, yang ada hanya menciptakan masalah-masalah baru. Seperti : melanggengkan kaum kapital asing menguasai aset negara , menswastanisasi SDA (bukankah ini mengancam kedaulatan bangsa). Mendukung prilaku menyimpang seperti pergaulan bebas (seks bebas), budaya hedonis, LGBT dengan dalih kebebasan berekspresi atas nama HAM (bukankah ini dapat merusak generasi, sehingga lost generation terjadi dan hilang kepemimpinan dari pemuda yang baik dan amanah?

Sungguh Islam agama yang sempurna, mengatur segala aspek kehidupan , baik Hablumminallah, Hablumminnafsi, dan habluminannas.

Bagaimana islam menjaga kedaulatan bangsanya, mengelolah kekayaan alam, menyikapi ragam agama, bersikap toleransi terhadap perbedaan, tegas dalam perkara merusak manusia, mendudukkan tradisi masyarakat dan lain-lain. Semua jelas diatur dalam syari’at Islam (Al-Qur’an dan Sunnah) sesuai versi Allah bukan versi pengusung yang memiliki kepentingan duniawi hingga Islam sangat dirasakan sebagai Rahmatan Lil’alamiin, yang menghadirkan kemaslahatan dan mencegah kemudhorotan.

Sebab, Islam mengajarkan umatnya tidak hanya cukup menjadi warga negara yang baik saja, tetapi menjadi hamba Allah dan Kholifah fill Ardh yang taat kepada Allah hingga mampu mempertanggungjawabkan segala perbuatannya di yaumil akhir nanti.

Cukuplah Aqidah Islam serta hidroksilah Billah (keterkaitan diri kita dengan pencipta) yaitu halal haram menurut syariat Islam dengan menjadikan Al-qur’an dan Sunnah sebagai indikator perbuatan dan pemikiran muslim demi meraih ridhoNya . Sehingga predikat masyarakat bertakwa dapat diraih dan Allah menganugerahkan keberkahan dari langit dan bumi. Sebagaimana firmanNya :

“Andai penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pasti kami akan menurunkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan (Ayat-ayat kami). Karena itu kami menyiksa mereka karena apa yang mereka perbuat itu”. (Qs Al-A’raf:96).

Comment