Oleh: Puput Hariyani, S.Si, Pendidik Generasi
__________
RADARINDONESIANEWS COM, JAKARTA —Buku yang berjudul “Zakat untuk Korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak” masih terus dibedah dan didiskusikan hingga memasuki seri ke-12 pada hari jum’at (5/11/2021) yang secara spesifik membahas ‘zakat untuk korban, perspektif pendampingan dan lintas iman’ (suara Muhammadiyah.id)
Dalam kesempatan ini diskusi dilakukan secara hybrid dengan menghadirkan narasumber yang beragam mulai dari lintas keilmuan, lintas generasi dan lintas agama.
Yulianti Muthmainah selaku ketua PSIPP ITBAD Jakarta dan penulis buku, dalam sambutannya menyampaikan bahwa pembahasan buku Zakat untuk Korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak merupakan bagian dari upaya mendorong lembaga-lembaga keagamaan, lembaga-lembaga yang berwenang mengeluarkan fatwa untuk bisa membahas dan mengeluarkan fatwa supaya zakat bisa dialokasikan, bisa diberikan kepada korban kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Dalam kesempatan yang sama Nevey V. Ariani selaku Direktur Posbakum Aisyiyah, mengingatkan agar tidak memaknai konsep riqab secara tekstual. Menurutnya riqab dalam konteks sekarang tidak boleh dipahami secara tekstual. Orang-orang yang tereksploitasi secara ekonomi, korban eksploitasi seksual dikategorikan sebagai riqab yang berhak menerima zakat (Republika.co.id)
Padahal jauh sebelum diskusi ini dilakukan, sejak awal hukum zakat disyariatkan, maka tidak ada perbedaan pendapat bahwa pengalokasian dana zakat ditujukan untuk delapan asnaf atau orang-orang yang berhak menerima zakat.
Sebagaimana termaktub dalam surat At Taubah ayat 60 yang artinya, “Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.”
Namun hari ini kondisinya berbeda, syariat yang seharusnya bersifat tetap ingin ditafsirkan ulang oleh sebagian kalangan. Komisioner Komnas Perempuan, Alimatul Qibtiyah mengungkapkan bahwa (Women Human Right Defenders) WHRD menjadi isu yang sangat penting untuk diperhatikan
demi kemaslahatan umat, maka jangan takut untuk melakukan ijtihad. “Mari kita mulai berfikir dan mengimplementasikan zakat kita untuk para korban,” Ujarnya.
Dalam perspektif fikih, Nur Achmad selaku Mudir Muhammadiyah Boarding School Ki Bagus Hadikusumo, memaparkan konsep wal-mu`allafati qulụbuhum, yakni orang-orang yang sedih dan bimbang hatinya. Menurutnya, korban kekerasan seksual dapat digolongkan dalam konsep tersebut, karena keberadaan mereka yang acap kali ditolak dan mendapatkan stigma negatif dari masyarakat sehingga hatinya menjadi sedih. “Jadi, kalaupun korbannya kaya, tapi hatinya sedih, maka definisi ini bisa dipakai,” ungkapnya.
“Korban dan pembela korban, maka ia masuk asnaf fakir, miskin, fi sabilillah, riqab, dan wal-mu`allafati qulụbuhum. Orang-orang yang galau hatinya, tertekan jiwanya agar mereka bisa setara dan bangkit,” lanjutnya (suaramuhammadiyah.id)
Maka apa yang dilakukan oleh sebagian orang hari ini yang ingin mentafsirkan ulang syariat Islam atas nama kemaslahatan penting untuk kemudian dikritisi karena terdapat konsep moderasi beragama di dalamnya.
Berkaitan dengan konsep moderasi beragama, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Amany Lubis menjelaskan moderat dalam cara beragama menurutnya adalah menjalankan Islam wasathiyah, Islam yang seimbang. Tidak ekstrem, tetapi yang fundamental diterapkan semua dan tidak liberal, tetap dalam koridor prinsip fleksibilitas hukum Islam.
Pertanyaan adalah mana hukum Islam yang terkategori fundamental sehingga harus diterapkan semua dan mana hukum Islam yang tidak fundamental yang tidak harus diterapkan semua?
Masih dengan pernyataan Prof Amany, penerapan ajaran Islam harus “dalam koridor prinsip fleksibilitas hukum Islam”. Lantas yang dimaksud dalam koridor prinsip fleksibilitas hukum Islam itu seperti apa? Dikatakan tidak liberal, namun kalau kaitannya dnsgan fleksibilitas bagaimana? Bukankah juga bisa diubah sesuai keinginan?
Prinsip seperti ini jelas telah menimbulkan cara pandang yang salah dalam menyikapi hukum Islam. Hukum Islam dianggap fleksibel yang bisa diubah dan dikompromikan.
Padahal, sangat jelas hukum Islam itu bersifat tetap. Hukum Islam tidak pernah berubah, kapanpun, dimanapun dan untuk siapapun.
Kondisi inilah yang kemudian dijadikan celah oleh orang-orang moderat untuk mengubah dan mentafsirkan hukum Islam yang sudah baku dan tidak ada perbedaan. Kemudian disesuaikan dengan cara pandang kekinian yang modern, sekuler dan liberal.
Atas nama kemaslahatan, hukum syariat diinterpretasikan ulang, ditafsirkan sesuai dengan pe-logika-an akal manusia yang terbatas dan cenderung melahirkan banyak perbedaan dan bukan tidak mungkin akan memicu pertikaian.
Emergency untuk dipahami seluruh kaum muslimin bahwa konsep moderasi beragama sangat berbahaya bukan saja bagi kaum muslim tetapi juga bagi ke-autentik-an hukum Islam itu sendiri sebagai jawaban atas seluruh problem manusia.
Moderasi beragama dilancarkan tidak lain dalam upaya memisahkan umat dari pemahaman Islam kaffah dan pengkaburan hukum Allah. Moderasi beragama merupakan strategi Barat untuk memenangkan pertarungan ideologi antara Islam politik dan kapitalisme.
Hal ini sangatlah tampak dari laporan yang yang dikeluarkan Rand Corporation, lembaga think tank AS pada tahun 2007 lalu berjudul Building Moderator Muslim Network and Corporation.
Di dalamnya berisi rekomendasi bagi pemerintahan AS tentang cara melemahkan dan memecah kekuatan Islam. Yaitu dengan membangun jaringan muslim moderat dalam melawan yang mereka sebut kebangkitan fundamentalismd Islam di dunia.
Oleh karenanya, kaum muslim harus tegas mengambil sikap yang tepat dengan mengukuhkan ajaran Islam yang benar, menolak segala bentuk model moderasi beragama sekaligus mendakwahkan kemurnian Islam kepada seluruh umat manusia tanpa keraguan. Wallahu’alam bi ash-showab.[]
Comment