Oleh : Luthfiah Jufri, S.Si, M.Pd, Pemerhati Sosial Asal Polewali
___________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Tepat Sebulan lalu, Tanggal 4 Mei diperingati Hari Anti Bullying Internasional. Namun, Kasus Pembullyan (perundungan) terus berulang terjadi dan sudah menggurita ke seluruh Indonesia. Jika dahulu pelaku dan korban perundungan adalah pelajar tingkat SMP dan SMA, Fakta terbaru terjadi pada anak SD. Jenis perundungan yang kerap dialami korban beragam, baik fisik, verbal, sosial/relasional, ataupun secara daring (cyberbullying).
Dilansir dari laman situs Kompas.com. berjudul “7 Fakta Bocah SD di Sukabumi Tewas Dikeroyok”. Bocah kelas 2 SD berinisial MHD (9) di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat meninggal dunia diduga usai dikeroyok oleh sejumlah kakak kelasnya. MHD sempat menjalani perawatan selama beberapa hari, namun korban dinyatakan meninggal dunia pada Sabtu (20/5/2023).
Pengeroyokan tersebut dilakukan di sekolahnya dan korban mengalami patah tulang dan dada retak yang mengakibatkan MHD meninggal dunia.
Indonesia berada pada peringkat kelima untuk kasus bullying pada anak dan Remaja. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan ada 30-60 Kasus Pembullyan tahun ini terus meningkat, kebanyakan terjadi di Sekolah. Perilaku sadis dan bengis menambah catatan merah kerusakan generasi.
Artinya, Indonesia sudah darurat bullying! Saat ini sudah tidak ada tempat yang nyaman. Sekolah yang seharusnya menjadi rumah kedua bagi anak, justru menjadi ancaman bagi mereka.
Padahal, perangkat kebijakan pendidikan untuk mengatasi maraknya perundungan di sekolah sudah dilakukan tetapi sampai saat ini belum ada tindakan preventif malah ada kesan menutupi kasus-kasus tersebut demi menjaga popularitas sekolah, mengingat kasus ini banyak terjadi di sekolah-sekolah unggulan.
Mengapa kasus bullying ini terus menggurita? Karena ada yang memberi contoh. Misalnya dalam rumah tangga, bila orangtua ayah atau ibu sering mengeluarkan kata-kata kotor karena tidak mampu mengendalikan diri ketika marah, akan cepat sekali diikuti oleh anak-anaknya.
Tidak heran kalau anak-anak juga menggunakan kata-kata itu terhadap temannya. Bahasa rumah tangga itulah yang akan menjadi bahasa anak-anak. Inilah yang disebut perundungan versi verbal.
Sedangkan perundungan nonverbal, anak sering mendapat hukuman fisik dari orangtua secara berlebihan dengan alasan melatih kedisiplinan atau berbuat kesalahan yang sebenarnya tidak perlu menggunakan fisik selama itu tidak membahayakan dirinya dan orang lain.
Kebiasaan buruk yang seperti ini efeknya sangat mempengaruhi jiwa anak. Anak akan merasa rendah diri, lemah, tidak berguna sehingga menjadi pemicu dirinya menjadi korban bullying atau malah sebaliknya karena terintimidasi di rumah maka lingkungan sekolah tempat yang leluasa untuk meluapkan emosi dan sakit hatinya.
Faktor lain yang menjadi penyebab menggurita perundungan adalah faktor lingkungan. Kini, anak kita dibesarkan oleh gadget, hampir semua aktifitasnya diwarnai oleh apa yang mereka tonton entah itu dari film aksi kekerasan, sosmed, games dan tayangan lain yang tidak mendidik.
Penyebab yang paling utama adalah kebijakan negara. Kurikulum yang ada saat ini tegak di atas nilai-nilai sekuler uang enjauhkan generasi kita dari nilai agama. Pernahkah kita berpikir lebih mendalam, begitu banyak sekolah, baik berbasis Islam atau umum dengan sistem yang dinilai baik, tetapi nyatanya belum cukup mampu menangkal dan mencegah perundungan?
Apa pun bentuknya, Islam melarang perundungan. Dalam Islam, perundungan adalah perbuatan tercela yang dilarang oleh Allah Taala. Larangan ini termaktub dalam Al-Qur’an.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok). Dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain, (karena) boleh jadi perempuan (yang diolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain, dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barang siapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS Al-Hujurat: 11).
Lantas apa yang harus dilakukan? Pertama, menguatkan Aqidah di lingkup keluarga. Penting bagi anak meyakini bahwa Allah Maha Melihat dan Maha Penyayang, menghadirkan rasa takut kepada Allah sehingga mereka merasa diawasi ketika melakukan perbuatan tercela sambil menjelaskan bahwa Allah menyukai hambaNya yang penyayang, dan tidak menyukai hambaNya yang kasar dan suka merendahkan orang lain.
Kedua, selain pondasi keluarga juga dibarengi dengan sistem pendidikan berbasis akidah dan politik ekonomi Islam, negara dapat membangun fasilitas dan sarana memadai yang dapat menunjang kegiatan KBM di sekolah.
Ketiga, kontrol dan pengawasan masyarakat saling menasihati dalam kebaikan dan kesabaran. Jika peran masyarakat berfungsi optimal, tidak akan ada kemaksiatan atau pelanggaran yang ditoleransi karena masyarakat membiasakan diri untuk peduli dan saling menasihati.
Keempat, fungsi negara sebagai penjaga dan pelindung generasi dari berbagai kerusakan harus menyeluruh. Negara harus melarang segala hal yang merusak, seperti tontonan berbau sekuler dan liberal, media porno, dan kemaksiatan lainnya. Negara akan memberlakukan sanksi berdasarkan syariat Islam.
Negara adalah penyelenggara pendidikan. Tidak boleh ada kepentingan bisnis dalam menyelenggarakan sistem pendidikan demi membangun generasi cerdas, berkualitas, dan berakhlak karimah. Wa’allahu’alam biishowab.[]
Comment