MinyaKita, Benarkah untuk Kita?

Opini201 Views

 

 

Penulis: Leihana | Pemerhati Umat

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Bagaikan air dan minyak, kepentingan rakyat kecil dan para kapitalis (pemilik modal) sulit untuk dipersatukan. Kepentingan rakyat kecil selalu dikalahkan oleh kepentingan para korporat pemilik modal. Keputusan-keputusan penguasa lebih berpihak pada para kapitalis.

Hubungan ini tergambar dari tak terkendalinya harga minyak goreng dalam beberapa tahun terakhir. Kelangkaan dan lonjakan harga minyak goreng di tahun 2022 yang memicu pemerintah meluncurkan produk minyak curah kemasan sederhana– yang ditetapkan harga eceran tertingginya (HET) oleh pemerintah–yang diberi merek MinyaKita saat itu dilakukan dalam rangka menekan harga minyak goreng yang naik dan mengalami kelangkaan.

Kenaikan harga minyak goreng saat itu disampaikan oleh pemerintah disebabkan oleh tingginya harga Crude Palm Oil (CPO) di dunia. Kondisi tersebut menyebabkan pasokan CPO dalam negeri menurun. Sebab, para pengusaha dalam negeri lebih memilih mengimpor produk tersebut demi meraup untung lebih besar.

Drama kenaikan minyak goreng ternyata masih berlangsung hingga awal tahun 2024 dan berakhir dengan kenaikan HET MinyaKita. Kenaikan tersebut diusulkan oleh menteri perdagangan Zulkifli Hasan alias Zulhas dengan alasan merosotnya nilai mata uang rupiah. Kenaikan HET minyaKita pun tidak tanggung-tanggung yaitu mencapai lebih dari 10% dari HET Rp14.000 menjadi RPp15.700.

Pakar Kebijakan Publik Achmad Nur Hidayat merasa bingung dengan keputusan pemerintah yang menaikkan HET MinyaKita dengan alasan fluktuasi nilai rupiah dan naiknya biaya produksi MinyaKita.

Sejatinya, fluktuasi nilai rupiah tidak akan memengaruhi harga minyak karena Indonesia tidak melakukan impor CPO karena stok CPO sudah tercukupi oleh produksi dalam negeri. Sehingga alasan fluktuasi nilai rupiah tidak bisa diterima sebagai alasan kenaikan HET MinyaKita.

Selain itu, menurut Achmad Nur Hidayat seperti ditulis liputan6.com (20/7/2024), keputusan tersebut juga akan memicu inflasi dalam negeri hingga 0,34% yang tentu akan semakin memberatkan rakyat.

Kenaikan HET MinyaKita hingga Rp15.700 tentu berefek dengan kenaikan harga di lapangan. Seperti yang dilaporkan oleh cnnindonesia.com bahwa di lapangan–salah satunya di Pasar Lenteng Agung. Banyak penjual MinyaKita yang membanderol dengan harga Rp16.000.

Dalam sebuah wawancara yang dilakukan cnnindonesia.com (20/7/2024) ternyata harga tersebut sudah berlaku sejak lama. Bahkan saat HET minyakita masih Rp14.000. Bila HET dinaikkan mencapai Rp15.700 maka harga jual kepada konsumen di pasaran bisa mencapai Rp16.000 hingga Rp17.000.

Kenaikan HET MinyaKita di negeri penghasil kelapa sawit terbesar ini menunjukkan adanya salah kelola akibat penerapan ekonomi kapitalisme yang tidak berpihak kepada rakyat.

Jika memang benar, produk CPO sebagai bahan baku minyak goreng dalam negeri– karena stoknya lebih banyak diekspor ke luar negeri–maka seharusnya hasil penjualan CPO tersebut bisa dialokasikan untuk memberikan subsidi pada pengolahan minyak goreng dalam negeri. Dengan demikian bisa menekan biaya produksi yang disampaikan Menteri Perdagangan mengalami kenaikan.

Indonesia saat ini tidak turut mengatur dan mengawasi distribusi MinyaKita. Pendistribusian dipegang oleh perusahaan swasta–yang memperpanjang rantai distribusi dan membuka peluang harga sampai ke konsumen lebih tinggi.

Tentu saja ini bisa menjadi celah suburnya para mafia pasar dan spekulan di lapangan. Hal ini bisa mereka lakukan dengan penimbunan demi meraih keuntungan lebih besar dan menjual MinyaKita lebih tinggi dari yang seharusnya.

Awal mula keberadaan produk MinyaKita ditujukan untuk kepentingan rakyat kecil yang kesulitan membeli minyak goreng yang harganya semakin melonjak. Namun, tampaknya produk tersebut pun dikomersilkan untuk meraih keuntungan yang sebesar-besarnya. Tentunya untuk para pengusaha yang bergerak di bidang tersebut.

Keputusan pemerintah menaikkan HET MinyaKita menunjukkan keberpihakan kepada para kspitalis dibandingkan dengan kepentingan rakyat kecil. Hal ini menjadi pertanyaan apakah keberadaan MinyaKita dibuat untuk kepentingan rakyat atau kepentingan para pengusaha meraup keuntungan?

Sebenarnya MinyaKita adalah produk minyak curah yang memiliki kualitas lebih rendah dibandingkan dengan minyak kemasan–dengan pengolahan melalui beberapa kali penyaringan yang baik untuk kesehatan konsumen. Minyak curah menjadi naik levelnya karena MinyaKita, meskipun secara kualitas tetap rendah.

Pada akhirnya, MinyaKita ini hanyalah menjadi solusi bagi para pengusaha minyak curah. Agar mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari HET yang diberikan oleh pemerintah. Realitas tersebut menjadi sebuah keniscayaan dalam sistem kapitalisme liberal.

Kapitalisme liberal mengusung kebebasan individu dalam upaya meraih keuntungan ekonomi. Selama memiliki modal, ia bebas mengelola bahkan memiliki yang seharusnya menjadi milik umum. Hal ini terjadi dalam  pertambangan dan migas yang bisa dimiliki dan dikelola oleh swasta bahkan asing.

Dengan demikian, akar masalah tidak terkendalinya harga minyak goreng pun adalah karena kapitalisme liberal yang hanya menguntungkan para kapitalis semata.

Tentunya sangat jauh berbeda dengan sistem ekonomi Islam yang sangat detail dan diwarnai rasa keadilan.

Prioritas negara dalam sistem ekonomi Islam adalah kepentingan rakyat kecil. Selain itu sistem ekonomi Islam mengatur sedemikian rupa adanya kepemilikan berbeda antara individu, negara, dan umum yang tidak boleh saling menyalahi satu sama lain.

Rasulullah saw. pernah memberikan sebuah tambang garam kepada seorang sahabat bernama Abyadh bin Hammal. Kemudian Rasulullah diingatkan bahwa tambang garam tersebut ibaratnya air yang mengalir tak terbatas sebelumnya. Semua orang bebas mendapatkan garam dari tambang tersebut.

Rasulullah pun menganulir pemberian tanah tersebut kepada Abyadh karena termasuk tanah milik umum. Hal ini menunjukkan Rasulullah saw. mengatur bahwa yang menjadi kepemilikan umum tidak boleh dimiliki oleh individu dan dikelola oleh individu ataupun swasta.

Dengan kondisi Indonesia yang memiliki CPO terbesar di dunia maka negara wajib mengelolanya untuk kepentingan rakyat terlebih dahulu. Kemudian mendistribusikannya tanpa memungut keuntungan yang terlalu besar. Sebab hubungan antara rakyat dan pemerintah bukanlah hubungan bisnis melainkan hubungan amanah yang didasari oleh kepercayaan dan keimanan.

Oleh karena itu, untuk menyelesaikan permasalahan tingginya harga minyak goreng, termasuk penetapan HET MinyaKita yang tidak masuk akal, tidak ada cara lain selain dari penerapan ekonomi Islam yang akan membawa rahmat bagi seluruh alam. Wallahu’alam bisshowab.[]

Comment