Miniarti Impi: Diskursus Pemilihan Kepala Daerah

Berita444 Views
Miniarti Impi, Penulis
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Pemilihan kepala daerah merupakan momentum yang didengung-dengungkan sebagai salah satu pesta demokrasi bagi rakyat Indonesia. Namun, apakah Pilkada adalah jalan yang bisa merubah kearah perubahan hakiki di tengah kekecewaan rakyat terhadap pemimpin/partai politik yang ingkar janji (tidak sesuai yang diharapkan)? Ataukah lagi lagi hanya perubahan semu?
TEMPO.CO, Jakarta – sejumlah lembaga survei menilai tingkat kepercayaan masyarakat terhadap partai politik di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla semakin buruk. Akibatnya, masyarakat akan ogah memilih partai politik tanpa figur terpercaya serta anti korupsi untuk membawa perubahan bagi daerah atau negara. “Sebanyak 51,3 persen masyarakat menilai politik buruk,” ujar Direktur Eksekutif Indobarometer Muhammad Qodari di Jakarta, Rabu 22 Maret 2017.
Politikus PDI Perjuangan, Maruar Sirait, mengatakan masalah ini terjadi karena partai kurang memperhatikan figur kader yang dicalonkan, kurang dekat dengan rakyat, dan kurangnya program yang menyetuh rakyat serta kebijakan yang pro masyarakat. 
Belum lagi yang terjadi saat kampanye adalah berbagai upaya dilakukan oleh bakal calon kepala daerah untuk mendapatkan tampuk pimpinan, baik itu secara konstitusional maupun inskontitusional, rasional ataupun irasional, bahkan yang menjurus pada tindak pidana penyalah gunaan jabatan dan tindak pidana korupsi.
Seperti dilansir dalam https://www.kompasiana.com (Kecurangan pemilu: realitas yang melulu terjadi) bahwa dalam setiap pemilu bentuk-bentuk kecurangan hampir pasti terjadi, atau setidaknya kita tidak pernah bisa memastikan bahwa kecurangan sama sekali tidak ada,meski tak selalu bisa dibuktikan. 
Kecurangan ini secara garis besar dapat berupa “politik uang”, kongkalingkong antara penyelenggara dan peserta pemilu, keberadaan pemilih fiktif, dan sebagainya. Bolong-bolong yang terdapat pada setiap tahapan pemilu sangat berpotensi memberikan ruang bagi dilakukannya kecurangan-kecurangan semacam itu oleh pihak-pihak tertentu.
Mahfud MD, mengungkapkan, tidak ada satupun gelaran pemilihan kepala daerah yang berjalan tanpa adanya kecurangan. Walaupun dia mengakui, tidak semua kecurangan itu sifatnya signifikan (Merdeka.com. 23/04/2018).
Fenomena diatas semakin menjadikan perubahan yang dijanjikan saat kampanye hanya angan angan semata. Ketika sang calon sudah terpilih, rakyat hanya bisa gigit jari. Jaminan kesejahteraan ibarat panggang jauh dari api. 
Mengharapkan perubahan yang hakiki lewat Pilkada dalam sistem Demokrasi adalah hal yang utopis, mengingat secara historis dan empiris pun terbukti bahwa dalam pergolakan pergantian sistem secara mendasar yang ada saat ini, belum ada yang berhasil mengganti suatu sistem dari dalam sistem itu sendiri. Tetapi bukan berarti perubahan menuju penegakkan hukum-hukum Islam itu sendiri menjadi suatu hal yang utopis. Semua ini dikarenakan selama ini masyarakat terkukung dalam pola pikir pragmatis dan hanya mengetahui Pemilu saja sebagai cara untuk mengubah pemerintahan.
Menggunakan sistem Demokrasi yang mana dilihat dari kaca mata syariah bukanlah metode syar’i untuk melakukan perubahan dan menegakan hukum-hukum islam. 
Islam, sebagai satu-satunya agama yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia baik ibadah maupun dalam hal kehidupan/politik. Karena itu sebagai konsekuensi dari iman seseorang, mengharuskan seluruh perbuatan manusia terikat pada hukum-hukum syara’ yang telah ditetapkan. Seorang mukmin akan senantiasa mendasarkan segala aktifitasnya pada hukum-hukum yang telah diturunkan dan tidak mengadakan hal-hal yang baru. Termasuk dalam aktifitas Perubahan ini, karena Rasulullah Saw telah bersabda “Siapa saja yang melakukan suatu perbuatan yang tidak didasarkan perintah kami, maka tertolak”. 
Jadi, untuk merubah masyarakat secara mendasar dan menyeluruh kita pun harus berusaha mengubah pemahaman standar, dan keyakinan yang diadopsi, yang membentuk pemikiran,perasaan dan sistem yang dipakai dalam masyarakat dengan mengubah pemikiran dan menggantinya dengan pemahaman dan keyakinan yang kita inginkan. Dan tentu saja tidak dengan jalan kekerasan. Dan inilah yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. 
Oleh karenanya, sebagai seorang muslim kita harusnya juga selalu mencontoh metode Rasulullah dalam merubah masyarakat jahiliyyah pada waktu itu menjadi masyarakat Islam yang diterangi cahaya kemilau dengan menegakkan Daulah Islamiyyah yang telah menggoreskan tinta emas pada peradaban manusia. Wallahu’alam bisshowab. []

Penulis adalah member Writing Class With Has

Comment