Penulis: Poppy Kamelia P. BA(Psych), CBPNLP, CCHS, CCLS, CTRS | Islamic Parenting Coach, Konselor, Penulis, Pegiat Dakwah
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Kasus penangkapan sebelas pegawai Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) yang justru terlibat dalam peredaran judi online bukan sekadar menunjukkan wajah baru dari kejahatan online. (Viva.co.id, 1/11/2024).
Di tengah semangat pemberantasan judi online ini, aparatur yang diberi amanah untuk menumpas judi ini justru malah memperkaya diri dari hal yang seharusnya ia berantas. Hal ini sejatinya mengungkap krisis moral dalam birokrasi kita.
Hingga saat ini, upaya memberantas judi online tampak ibarat api dalam sekam. Semakin membara seiring dengan tantangan sistemis yang semakin jelas yaitu sistem kapitalisme sekuler.
Kapitalisme dan sekulerisme, dua landasan sistem yang kini diterapkan di banyak negara, termasuk Indonesia, menjadi akar dari kompleksitas permasalahan ini. Sekularisme meletakkan agama di pinggiran kehidupan, menganggapnya hanya urusan privat dan menghapus perannya dari kebijakan publik.
Di sisi lain, kapitalisme memuja keuntungan materi di atas segala hal. Ketika agama dijauhkan dari politik dan ekonomi, hukum kehilangan pondasi moral dan tujuan luhur yang berakar pada ketentuan Allah.
Kapitalisme sendiri tak ubahnya mesin produksi yang terus memompa segala sumber daya demi keuntungan, tanpa memandang moralitas atau dampak sosial. Hasilnya, segala bentuk cara diperbolehkan asal mendatangkan keuntungan. Tak peduli apakah itu menzalimi atau merusak tatanan masyarakat.
Hal ini terlihat jelas ketika kita menengok bagaimana judi online menjelma menjadi industri yang bahkan “dibina” oleh segelintir oknum negara. Dalam kasus terbaru ini, Komdigi bahkan menempatkan delapan operator untuk mengelola 1.000 situs judi agar tidak diblokir sebagaimana ditulis Kompas.com (1/11/2024).
Ternyata, kompleksitas pemberantasan judi bukan hanya perkara hukum atau penegakan aturan, melainkan lebih dari itu. Judi online adalah salah satu penyakit sosial yang merusak pilar masyarakat. Pengaruh buruknya merambat jauh melampaui kerugian ekonomi pribadi.
Kehancuran rumah tangga, utang yang tak berujung, dan meluasnya kemiskinan akibat judi sebagaimana diuangkap republika (3/11/24) adalah dampak yang nyata. Dalam konteks ini, ujaran Farah Nahlia, Anggota Komisi I DPR, menjadi sangat relevan bahwa “judi online adalah musuh bersama masyarakat dan negara.”.
Sejatinya sebuah sistem berfungsi dan mampu melindungi masyarakat dari bahaya judi tapi sistem ini justeru menjebak pola pikir yang menghalalkan segala cara demi mengejar keuntungan. Kepala Badan Reserse Kriminal Polri, Ade Ary dalam laman viva.co.id (1/11/24) menyatakan bahwa dari 11 orang, beberapa orang di antaranya adalah oknum pegawai Kemkomdigi, antara lain ada juga staf-staf ahli dari Komdigi.
Mengapa ini terjadi? Tentu karena sekulerisme mengajarkan bahwa nilai-nilai moral tidak perlu dijadikan standar publik atau dasar pengaturan negara. Ketika pegawai yang seharusnya mengelola regulasi dan memberantas konten terlarang justru malah terlibat di dalamnya, yang terjadi adalah pengkhianatan terhadap amanah publik.
Dalam sistem kapitalisme sekuler, masyarakat dijauhkan dari kesadaran bahwa aturan tidak hanya soal untung-rugi, tetapi tentang benar-salah, tentang tanggung jawab untuk memerangi hal-hal yang merusak tatanan sosial, seperti judi.
Berbeda dengan sistem kapitalisme sekuler yang berorientasi pada materi, Islam menawarkan tiga pilar yang kokoh untuk mencegah judi dan segala bentuk kriminalitas serupa.
Pilar pertama adalah ketakwaan individu. Melalui pendidikan agama dan bimbingan moral, Islam membangun manusia berkarakter yang tidak sekadar tunduk pada hukum, tetapi memahami nilai dan prinsipnya. Dengan pendidikan agama yang kokoh, individu tidak mudah tergoda oleh uang haram atau keuntungan sesaat.
Pilar kedua adalah kontrol masyarakat. Dalam masyarakat yang menerapkan prinsip amar ma’ruf nahi munkar (menyuruh kepada kebaikan dan mencegah keburukan), judi bukan hanya dianggap sebagai tindakan kriminal melawan hukum negara melainkan sebagai pengkhianatan terhadap nilai bersama.
Masyarakat yang tangguh adalah masyarakat yang punya keberanian untuk mengingatkan dan menasihati anggotanya agar menjauhi segala bentuk kejahatan dan kesia-siaan.
Pilar ketiga dan yang terpenting, adalah penerapan sistem hukum yang tegas dan menjerakan oleh negara. Hukum dalam Islam tidak hanya bertumpu pada hukuman fisik atau materi melainkan juga pada prinsip pembinaan karakter masyarakat yang amanah, jujur, dan menghormati aturan-aturan Allah.
Islam melihat bahwa perjudian adalah kejahatan serius yang tidak hanya merusak individu tetapi juga menghancurkan struktur sosial. Hukum yang lemah, seperti yang kita lihat dalam sistem kapitalisme sekuler saat ini, hanya akan mengundang semakin banyak pelanggaran, karena tidak ada konsekuensi serius yang membuat jera pelaku.
Sistem Islam menawarkan keseimbangan antara edukasi, pengawasan sosial, dan penegakan hukum yang adil. Dalam Islam, penegakan hukum tidak dilihat sebagai sesuatu yang bisa diperjualbelikan atau disesuaikan dengan status sosial. Setiap pelaku, tanpa memandang posisi atau jabatannya, harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Hal inilah yang tidak kita temukan dalam sistem kapitalisme sekuler, di mana korupsi justru menjadi hal yang lumrah bahkan dalam pemberantasan kejahatan sekalipun.
Jika kita serius ingin memberantas judi yang terus menggerogoti moral masyarakat, kita harus memulai dengan mengakui kegagalan sistem kapitalisme sekuler yang selama ini kita anut. Mengubah pola pikir dan kembali kepada prinsip-prinsip moral yang tinggi adalah langkah penting menuju perubahan.
Dalam pernyataan yang menggetarkan hati, Farah Nahlia dari DPR menyatakan perlunya ‘jihad berjamaah’ untuk melawan judi online. (Republika, 3/11/2024).
Ini bukan sekadar seruan emosional, tetapi sebuah pengingat bahwa melawan kejahatan yang telah menyusup ke akar birokrasi kita memerlukan sinergi, komitmen moral, dan keberanian untuk melakukan perubahan.
Kapitalisme dan sekulerisme mungkin menjanjikan kebebasan, tetapi keduanya juga menjadi celah bagi ketidakadilan dan kriminalitas yang mengorbankan kepentingan rakyat banyak.
Tanpa landasan moral yang kuat, kebebasan justru berubah menjadi kebablasan, di mana aparatur negara yang seharusnya melindungi malah menyalahgunakan kewenangannya.
Menyerukan perubahan sistem dan kembali kepada prinsip-prinsip keadilan sejati adalah cara kita mengembalikan martabat bangsa di tengah maraknya perjudian dan berbagai bentuk kejahatan lainnya. Wallahu A’lam Bisshawaab.[]
Comment