MHR. Shikka Songge: Pemimpin Terlahir Dari Rahim Rakyat Yang Terdidik

Berita506 Views
MHR. Shikka Songge.[Dok/radarindonesianews.com]
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Negara besar seperti Indonesia secara ideal mestinya dipimpin oleh pemimpin yang berkualitas dan memiliki kualifikasi terukur. Negara yang besar dengan beraneka ragam kekayaan kosmos dan kosmis tidak boleh dipimpin oleh orang serampangan apalagi tidak memiliki kualifikasi.

Beberapa kualifikasi yang diperlukan:

1. Pemimpin yang berintegritas, yaitu memiliki kepribadian yang kuat untuk menjaga kemuliaan diri sehingga tidak pernah berkeinginan untuk mencuri, meski ada kesempatan terbuka untuk merampok tapi tidak mau melakukan. Diri orang yang berintegritas senantiasa menjadi potret, figur yang ditiru dan diteladani. Pemimpin yang berintegritas lebih mementingkan sosok kediriannya menjadi milik rakyat.

2. Pemimpin yang berkompentensi, yaitu pemimpin yang berkeahlian yang sanggup mendefinisikan setiap masalah dengan mengetahui sebab dan akibatnya serta segala yang diakibatkan baik maupun buruk bagi rakyat.

3. Sanggup mendeskripsikan dengan jelas setiap realitas sosial, fenomena sosial maupun noumena, secara tepat dan konseptual sehingga tidak salah memberikan jawaban solutif pemecahan dalam bentuk kebijakan.

Namun, anehnya ketiga kualifikasi penting itu sepertinya terabaikan oleh masyarakat. Akhirnya masyarakat gagal memilih pemimpin. Hal yang demikian bisa terjadi karena rakyat kita suka terhadap pola partisan penipuan. Pola penipuan ini sudah biasa karena setiap hari kita terbiasa dengan tipuan bergaya pencitraan. Media publik seperti televisi, koran, lembaga survei bahkan pengamat ikut mendukung pencitraan sehingga masyarakat gagal melahirkan pemimpin yang benar dan diharapkan.
4. Komitmen seorang pemimpin untuk tunduk pada janji dan tidak mengkhianati janji apalagi berbohong. Pengkhianat bisa menjadi pemimpin jika setiap hari diobral oleh media massa baik tulis maupun media elektronik. Kekurangan sang pengkhianat ditutup atau dikatrol sehingga rakyat gagal melahirkan pemimpin berkomitmen.
Suatu bangsa maju, sejahtera, bermartabat, atau sebaliknya bangsa itu hancur binasa akan sangat tergantung pada kualitas pemimpin. Olehnya rakyat sebagai ahli waris republik pemilik kedaulatan harus menuntut untuk mendapatkan pemimpin yang baik. Pemimpin bukan urusan media massa dan bukan urusan lembaga survei. Kedua lembaga itu cenderung menutp aib, membangun citra tanpa memperlihatkan kesejatian figur pemimpin secara eksistensial. Rakyat harus memiliki kesadaran bernegara untuk melahirkan pemimpin terbaik. Rakyat modern maupun tradisional pasti membutuhkan seorang pemimpin yang baik dan benar. Bukan pemimpin yang tipu menipu dengan sikap dan kata yang berbohong.

Jepang misalnya punya sistem kepemimpinan yang paten atau leadership system. Pemimpin yang baik harus diikuti dengan sistem sehingga bisa membantu pelaksanaan regulasi kebijakan yang dihasilkan. Sistem itu berupa peraturan yang mengatur. Pemimpin yang baik pasti membutuhkan sistem sehingga mudah mewadahi setiap kehendak kebijakan. Pemimpin buruk sudah pasti mengingkari sistem prosedural. Dan sistem itu dirasionalisasi agar bisa mendukung kekuasaan yang busuk dan jahat.

Indonesia bagai hutan rimba, banyak aturan yang saling bertabrakan. Aturan hukum amburadul. Contoh UU Pemilu, ambang batas pencalonan presiden sebesar 20% berdasarkan hasil pemilu 5 tahun sebelumnya, sebuah acuan yang absurd. Kedudukan MK melebihi kedudukan Tuhan. Keputusan final dan mengikat. Kita ini hidup seperti di zaman jahiliyah. Masyarakat seenaknya dengan aturan hukum. Mudah saja merubah regulasi jika bertentangan dengan kepentingan penguasa. Regulasi datang bukan untuk mengatur ketertiban pelayanan publik, melainkan mewadahi niat jahat dan busuk penguasa.

Korupsi lahir dari kekacauan sistem administrasi penyelenggaraan pemerintahan. Kekacauan administrasi ekonomi politik melahirkan ketidak adilan sosial ekonomi.

Ini semua akumulasi dari pemimpin tidak mempunya visi kenegarawanan dan visi kepresidenan. Pemimpin yang kuat akan mempengaruhi rakyat dan rakyat yang kuat karena pemimpin yang kuat. Jangan sampai rakyat salah dalam memilih pemimpin.

Kita baru sampai pada level demokrasi prosedural belum masuk demokrasi substansif. Sesungguhnya hakekat berdemokrasi bertujuan menciptakan keadilan sosial dan keadilan ekonomi bagi seluruh rakyat Indonesia. Tapi ternyata demokrasi kita melahirkan hutang negara yang tinggi, pengangguran dan kemiskinan, kesenjangan sosial yang melebar. Demokrasi melahirkan ketidakpercayaan rakyat pada negara semakin tinggi, rakyat antipati pada partai politik, rakyat saling mendistorsi dan saling membegal, demokrasi melahirkan kekerasan dan kriminalisasi sosial. Demokrasi melahirkan ketidak adilan hukum dan politik serta ekonomi. Demokrasi melahirkan wajah bangsa yang bopeng dan sangar.

Lantas pertanyaan yang muncul adalah, mengapa demokrasi justru melahirkan perilaku anomali publik seperti kelaparan dan kekerasan antara negara dan rakyat, serta antar rakyat? Di sinilah urgensi praktek demokrasi memerlukan kepemimpinan. Moral harus menjadi landasan kepemimpinan. Keteladanan menjadi penting.

Kenapa keadaan kita seperti ini? Karena kita berdemokrasi dengan terpaksa. Kita gagal menerima sistem pemerintahan otoritarian dan kita paksakan sistem demokrasi liberal.

Tujuan negara semakin tak jelas. Keadilan sosial ekonomi politik di balik telapak kaki. Kita mengkhianati spirit pendiri bangsa. Kita membangun negeri ini tanpa moral yang diinginkan oleh para pendiri bangsa.
Secara biologis negeri ini hampir kandas. Bahkan kondisi bangsa ini bisa mengarah bubar sebagaimana halnya Uni Soviet, Yugoslavia dengan beberapa alasan:

Krisis politik dan ekonomi;

Krisis disharmoni sosial;

Krisis pusat daerah;

Krisis politik;

Krisis hukum;

Intevensi internasional.

Dan nampaknya gejala-gejala yang demikian itu sudah semakin terasa nyata di tanah air.

Sesungguhnya musuh terbesar kita adalah ketidak adilan sosial ekonomi. Kemiskinan, kekacuan hukum, ketidakadilan dalam penegakan hukum merupakan ancaman bubarnya sebuah negara. Dan kita dalam ancaman bahaya itu. Satu-satunya pemecahan yaitu kita butuh pemimpin yang berkarakter dan berintegritas paripurna, sehingga kita punya optimisme yang utuh untuk menyelamatkan negeri ini dari jurang bahaya.[Wid]

Comment