Penulis: Maulani Asma Mardhiah | Mahasiswi Ma’had Pengkaderan Da’i Cinta Quran Center.
Proses hukum Ketua KPK nonaktif, Firli Bahuri, yang menjadi tersangka dalam kasus dugaan pemerasan menambah daftar panjang kasus korupsi sejumlah petinggi lembaga penegak hukum dan kementerian di penghujung pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW), Diky Anandya, menilai kasus-kasus elite ini menurunkan citra penegakan hukum di bidang korupsi. Ia mengestimasi Indeks Persepsi Korupsi (IPK) akan mengalami penurunan sejak mencapai puncaknya pada 2019 dengan skor 40 poin.
“Ini akan memalukan Indonesia di mata global,” katanya. Sementara itu, seorang praktisi hukum menengarai rentetan penangkapan terhadap petinggi negara belakangan ini bukan murni penegakan hukum, tapi ada kepentingan politis.
Dikutip dari situs www.tirto.id bahwa korupsi merupakan virus mematikan yang menggerogoti sendi negara demokrasi. Pemberantasan korupsi yang independen dan tidak tebang pilih, menjadi kunci agar infeksi virus korupsi tidak mengakar jauh.
Di negeri ini, tugas mencegah dan menangani praktik lancung tersebut, salah satunya diemban Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Banyak aktivis antikorupsi menilai ada beberapa faktor yang menyertai tumpulnya taji komisi antirasuah.
Revisi UU KPK salah faktor yang paling awal memicu goyangnya kinerja KPK. Diikuti dengan polemik tes wawasan kebangsaan (TWK), masuknya komisioner yang dianggap tidak mumpuni, ditambah pelanggaran kode etik oleh sejumlah petinggi KPK.
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Zaenur Rohman, menyatakan revisi UU KPK berperan penting dalam menggerus independensi KPK. Selain itu, konfigurasi pimpinan KPK yang dipilih saat ini dinilainya berasal dari orang yang tidak berkompetensi dalam pemberantasan korupsi.
“Itu problematik karena memasukkan orang-orang yang tidak punya rekam jejak yang bagus dalam integritas. Khususnya Fili Bahuri dan lain-lain, kombinasi itu kemudian mengakibatkan KPK menjadi problematik,” ujar Zaenur ditulus laman Tirto, Jumat (8/12/2023).
Mengembalikan independensi KPK merupakan urgensi agar tidak diacak-acak pihak luar. Menurut Zaenur, lembaga antikorupsi harus bebas intervensi dari sisi kewenangan, dasar hukum, sumber daya manusia, sumber daya keuangan, dan juga pelaksanaan kewenangan.
“Kalau KPK berada di bawah kekuasaan eksekutif, maka KPK tidak akan mungkin dapat melakukan kontrol kekuasaan eksekutif dengan efektif. Karena dia masih harus tergantung,” jelas Zaenur.
Jika menelisik lebih dalam, persoalan korupsi bukan hanya berbicara perilaku individu, melainkan sistemis. Buktinya, dari mulai negara ini berdiri, praktik tersebut telah ada, bahkan keberadaannya kian banyak saja. Apa saja faktor yang menjadi akar penyebab korupsi kian membudaya?
Dilansir dari situs www.muslimahnews.id ada empat factor yaitu, pertama, makin tertancapnya pemahaman sekularisme. Paham ini telah menghilangkan nilai-nilai ketakwaan dari politik dan pemerintahan.
Akibatnya, tidak ada kontrol internal dalam diri para pejabat. Mereka tidak takut akan dosa sebab sekularisme telah membuang ajaran agama dari kehidupan. Kedua, sistem politik demokrasi yang mahal meniscayakan adanya praktik korupsi. Butuh biaya besar untuk menjadi kepala daerah, apalagi presiden.
Alhasil, politik transaksional tidak bisa dihindari, para cukong politik pun bermain, mensponsori kontestan agar bisnisnya lancar.
Saat menjabat, alih-alih politisi itu fokus pada umat, mereka malah sibuk melayani para cukong politik. Belum lagi ada partai pendukung yang juga harus diberi suntikan agar mesin partai terus berjalan. Ketiga, sanksi bagi koruptor yang tidak menciptakan efek jera. Bukan lagi satu rahasia jika penjara para koruptor “mewah”.
Menurut riset Indonesia Corruption Watch (ICW), sebagian besar koruptor hanya dihukum dua tahun oleh pengadilan. Wacana hukuman mati pada koruptor kakap yang merugikan negara dan menzalimi rakyat malah terjegal HAM. Keempat, sebagian besar koruptor yang tertangkap berada dalam link kekuasaan.
Ini jelas menunjukkan bahwa koruptor yang “terbabat” lebih karena tebang pilih dan tidak memiliki bargaining position politik yang cukup kuat. Misalnya megaskandal Bank Century, KTP-el, dan BLBI yang hingga kini tidak bisa terusut tuntas, bahkan menguap. Mereka hanya membabat yang “bawah” tanpa berani menyentuh yang “atas”.
Keempat faktor di atas sesungguhnya telah menunjukkan pada kita bahwa budaya korup memang diciptakan oleh sistem hari ini, baik sekularisme, sistem politik demokrasi transaksional, juga sistem sanksi yang buruk dan tidak menjerakan. Oleh karena itu, agar terbebas dari budaya korupsi, kita harus mengubah sistem hari ini.
Sistem sekuler telah terbukti menjadi biang lahirnya budaya korup. Sudah saatnya kita membuangnya dan menggantinya dengan sistem Islam. Setidaknya ada empat sebab budaya korupsi niscaya akan hilang dalam penerapan sistem Islam.
Pertama, dasar akidah Islam akan melahirkan kesadaran penuh bahwa dirinya tengah diawasi oleh Allah Taala. Penerapan akidah Islam di tengah umat akan menjadikan para politisi bertakwa dan senantiasa takut melakukan dosa.
Inilah yang menjadi kontrol internal yang menyatu dalam diri pemimpin sehingga bisa mencegah dirinya untuk korupsi. Kedua, sistem politik Islam sangat sederhana, tidak mahal.
Kepemimpinan Islam bersifat tunggal, pengangkatan dan pencopotan pejabat negara menjadi kewenangan Khalifah. Alhasil, tidak akan muncul persekongkolan mengembalikan modal dan keuntungan kepada cukong politik. Inilah yang mencegah adanya praktik korupsi.
Ketiga, politisi dan proses politik tidak bergantung kepada parpol. Peran parpol dalam Islam adalah fokus mendakwahkan Islam, amar makruf nahi mungkar dalam mengoreksi dan mengontrol penguasa.
Jika seorang anggota partai sudah terpilih menjadi pejabat, ia harus melepaskan dirinya dari partai. Keempat, praktik korupsi yang mungkin terjadi akan diberantas dengan sanksi Islam dan dicegah agar tidak terjadi.
Harta ghulul telah jelas, yaitu harta yang diambil atau ditilap di luar imbalan legal. Harta yang diperoleh karena faktor jabatan, tugas, posisi, kekuasaan, dan sebagainya. Sekalipun mereka menamakan hadiah, haram hukumnya diambil.
“Siapa yang kami pekerjakan atas satu pekerjaan dan kami tetapkan gajinya, apa yang diambil selain itu adalah ghulul.” (HR Abu Dawud dan Ibnu Khuzaimah).
Adapun untuk membuktikannya, bisa menggunakan pembuktian terbalik sebagaimana dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khaththab. Khalifah Umar akan mencatat harta pejabat awal dan akhir masa jabatan.
Jika ada kelebihan yang tidak wajar, pejabat tersebut wajib membuktikan perolehan hartanya secara legal. Jika tidak bisa dibuktikan, hartanya akan disita dan dimasukkan ke baitulmal. Sanksi bagi pelaku akan memberikan efek pencegahan dan menjerakan.
Hukum sanksi bagi koruptor berbentuk takzir, yaitu sanksi yang bentuk dan kadarnya diserahkan kepada ijtihad khalifah atau kadi (hakim). Bisa disita seperti dilakukan Khalifah Umar. Bisa juga dengan tasyhir (diekspose), dipenjara, hingga hukuman mati. Khalifah Umar bin Abdul Aziz menetapkan sanksi kepada koruptor dengan hukuman cambuk dan ditahan dalam waktu yang sangat lama.
Sesungguhnya, para tikus berdasi itu tidak akan hilang selama sistem sekuler demokrasi korporatokrasi masih menjadi platform negeri ini. Justru sistem inilah yang melahirkan budaya korupsi.
Oleh karena itu,masyarakat perlu diedukasi pentingnya penerapan Islam secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan. Wallahu ‘alam bisshawab.[]
Comment