Penulis: Yusriani Rini Lapeo, S.Pd. | Pemerhati Sosial
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– “Rasulullah melaknat penyuap dan yang menerima suap” (HR Khamsah kecuali an-Nasa’i dan dishahihkan oleh at-Tirmidzi).
Pemilihan umum adalah salah satu pesta demokrasi yang digelar setiap empat tahun sekali. Seperti biasa di musim ini banyak spanduk dan baliho yang kemudian berseliweran dimana-mana, mulai dari pelosok desa sampai pada kota-kota besar.
Tidak hanya di negara-negara Barat saja, khususnya di Indonesia tidak kalah juga dengan berbagai cara dalam menggelar pesta demokrasi ini.
Namun kemudian masa tersebut adalah masa yang rawan dengan istilah money politic atau politik uang. Ada lagi yang dimaksud serangan fajar, yaitu suap yang berlaku sebelum pemilihan dimulai baik itu berupa sejumlah rupiah maupun bingkisan sembako perorangan atau per kepala keluarga.
Miris memang, namun ini telah menjadi budaya di musim ini. Dalam sistem sekuler apapun bisa dihalalkan untuk mencapai tujuan tertentu meski telah ada larangan UU mengenai money politic namun kemudian ini dinilai tidak mampu untuk membendung keinginan para paslon (pasangan calon) untuk terpilih atau menang nantinya.
Bahkan dari ke-30 jenis korupsi tersebut, diklasifikasikan lagi menjadi tujuh kelompok tindak pidana korupsi diantaranya adalah suap menyuap.
Dalam demokrasi tidak ada lawan dan kawan sejati, yang ada hanya kepentingan nomor satu. Kepentingan untuk menang, kepentingan untuk menjabat, dan kepentingan untuk berkuasa. Maka tak heran bila seseorang sampai rela mengutang uang atau menggadaikan aset yang dimilikinya dengan cara ribawi, yang penting menang berdosa tak mengapa.
Islam Memandang
Pemilihan umum sebenarnya sah-sah saja. Sebagaimana pengangkatan Abu Bakar As Siddiq sebagai khalifah yang pertama adalah melalui pemilihan secara musyawarah yang dilakukan oleh umat Islam di Tsaqifah Bani Saidah setelah wafatnya Rasulullah SAW Saidah.
Tokoh-tokoh yang hadir pada saat itu pun tidak sekedar memilih beliau berdasarkan hawa nafsu semata, namun dengan mengedepankan petunjuk serta hidayah terhadap perlakuan dan keutamaan Abu Bakar di mata Rasulullah semasa hidupnya.
Pun dalam menunjuk Abu Bakar As Siddiq sebagai pengganti Rasulullah saat itu sangatlah sesuai dengan standar Islam. Sesuai dengan nama beliau Abu Bakar mendapat julukan Ash-Shiddiq karena ia selalu membenarkan dan mempercayai Rasulullah SAW baik dari perbuatan maupun sabdah-Nya yang tidak pernah menyelisihi syariat Islam.
Artinya dalam memilih pemimpin atau wakil tentunya harus sesuai standarisasi syariat Islam. Bukan karena ia lebih banyak memberi uang atau menyuap dengan dalih apapun.
Adapun dalil daripada orang yang menyuap dan disuap maka dalilnya telah jelas seperti pada paragraf pertama tulisan ini. Bahkan Bukan hanya pemberi dan penerima saja, orang yang menjadi perantara suap pun turut dalam murka Rasulullah SAW. Rasulullah SAW bersabda, “Allah melaknat orang yang menyuap, orang yang menerima suap, dan orang yang menjadi perantara antara keduanya” (HR Imam Ahmad dan ath-Thabrani).
Juga larangan Allah terhadap aktivitas suap menyuap. “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah:188)
Ayat di atas merupakan larangan dari Allah langsung agar tidak terjerumus kepada aktivitas suap menyuap, agar orang yang kemudian berusaha menjauhi suatu kemaksiatan, Allah akan memberi rahmat dalam dirinya.
Semoga Allah senantiasa memberikan kita hidayah serta petunjuk di setiap perbuatan kita. Pun semoga Allah menghadirkan pemimpin-pemimpin negeri muslim yang amanah, jujur, dan mau menerapkan syariat Islam secara kaffah agar dunia diberi rahmat kepada sang pemilik segalanya aamiin, Wallahu ‘alam bishowab.[]
Comment