RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia yang wajib dijamin pemenuhannya oleh negara. Sebagaimana dalam Pasal 28H (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI 1945) konstitusi mengamanatkan bahwa “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.
Kemudian dipertegas kembali pada Pasal 34 ayat (3) UUD NRI yang berbunyi: “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”.
Sebagai penjewantahan dari ketentuan tersebut, semestinya hal ini bermakna bahwa negara memiliki kewajiban yang bersifat mutlak dan sentral dalam menunjang kelangsungan hidup seluruh warga negara, dengan menjamin ketersediaan fasilitas dan pelayanan kesehatan yang baik dan layak bagi siapa pun. Tidak terkecuali dalam hal penanganan pandemi covid-19 yang sedang mewabah di negeri ini.
Di tengah realisasi new normal life yang diputuskan oleh pemerintah, berdasarkan Surat Edaran Gugus Tugas (SEGT) Nomor 7 Tahun 2020 Tentang kriteria dan persyaratan perjalanan orang dalam masa adaptasi kebiasaan baru menuju masyarakat produktif dan aman Corona Virus Disease (COVID-19), salah satu persyaratan calon penumpang transportasi umum, baik laut dan udara untuk perjalanan harus tes PCR (polymerase chain reaction) dengan hasil negatif. Hal ini diberlakukan sejak 12 juni lalu bagi sopir bis antar kota, penumpang kereta api, dan penumpang pesawat terbang.
Namun permasalahannya, harga rapid test sangat sulit dijangkau. Sebagaimana diketahui harganya mulai dari Rp200.000 hingga Rp500.000, sementara untuk swab test (alat PCR) antara Rp1,5 juta hingga Rp2,5 juta, belum termasuk biaya-biaya lain. Sedangkan masa berlaku rapid test hanya tiga hari, dan swab test tujuh hari. Setelah itu, hasil tes sudah tidak berlaku dan harus tes ulang. (Kompas.com, 19/6/2020)
Sejumlah masyarakat pun mengeluh akan mahalnya harga rapid test dan swab test mandiri covid-19 yang menyebabkan terhambatnya aktivitas masyarakat. Padahal saat ini sudah diberlakukan new normal. Tidak hanya dibidang transportasi, keluhan rapid test dan swab test juga dirasakan oleh warga yang berobat ke rumah sakit. Bahkan mahalnya tes Covid-19 telah menelan korban.
Seperti yang diberitakan bbc.com (18/6/2020) ramai perbincangan di tengah publik, Seorang ibu di Makassar, Sulawesi Selatan dilaporkan kehilangan anak dalam kandungannya setelah tidak mampu membayar biaya tes swab sebesar Rp2,4 juta. Tes tersebut merupakan prasyarat operasi kehamilan yang harus ia lakukan.
Padahal kondisinya membutuhkan tindakan cepat untuk dilakukan operasi. Tingginya biaya tes disinyalir menjadi faktor penyebab sang ibu harus kehilangan buah hatinya.
Di sisi lain, terdapat suatu dilematika ditengah masyarakat bahwa covid-19 tidak menjadi bagian dari jaminan kesehatan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Ternyata sistem pelayanan kesehatan berbasis asuransi yang selama ini disediakan juga tidak memberikan solusi.
Masyarakat saat sudah dibebankan untuk membayar premi mahal, ketika membutuhkan layanan kesehatan justru masih harus membayar. Hal ini dikarenakan, Covid-19 terkategori kejadian luar biasa (KLB) atau wabah yang merupakan pengecualian dari pelayanan BPJS.
Dalam ketentuan Pasal 52 ayat (1) huruf o Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan menyebutkan “Pelayanan kesehatan yang tidak dijamin meliputi: … pelayanan kesehatan akibat bencana pada masa tanggap darurat, kejadian luar biasa/wabah”.
Di saat masyarakat harus membayar sendiri biaya rapid test, tentu ini menjadi beban baru bagi mereka karena kondisi perekonomian melemah akibat pandemi. Birokrasi kesehatan dibuat berbelit-belit demi meraih banyak keuntungan. Publik pun mempertanyakan kemana anggaran penanganan virus corona yang mencapai Rpp905,1 triliun? Padahal jumlah ini naik signifikan dari sebelumnya yang ditetapkan sebesar Rp677 triliun.
Tidak hanya pada komersialisasi tes corona, siapapun yang melihat dengan pandangan jernih, mendalam dan menyeluruh akan sampai pada satu kesimpulan bahwa berlarut-larutnya krisis pelayanan kesehatan selama ini bukanlah persoalan teknis semata. Melainkan, persoalan yang sistemik. Buah penerapan sistem kehidupan sekuler, khususnya ekonomi kapitalisme dalam politik demokrasi. Semuanya diukur dengan takaran untung-rugi hingga menafikan nilai kebaikan alias halal-haram.
Tampak dari dominasi pandangan barat sekuler pada keputusan politik rezim tentang pelayanan kesehatan dalam penanganan covid-19 ini dimana fungsi negara hanya sebagai regulator bukan sebagai penanggung jawab (raa’in).
Yakni, pembuat aturan yang memuluskan kepentingan bisnis korporasi di bidang kesehatan, sehingga pelayanan kesehatan tunduk pada hasrat bisnis kapitalisme bukan pada kesehatan dan keselamatan jiwa publik.
Berbeda jauh dengan sistem Islam yang dibangun atas dasar keyakinan bahwa manusia sebagai ciptaan merupakan hamba Allah SWT, sehingga wajib untuk tunduk pada aturan hidup yang diturunkan dari Allah SWT yaitu syariat Islam secara menyeluruh.
Dalam ketentuan Islam, jaminan kesehatan merupakan hak seluruh rakyat dan kewajiban negara. Negara wajib menyediakan pelayanan keamanan, pendidikan dan pelayanan kesehatan untuk seluruh rakyat. Hal itu merupakan bagian dari kewajiban mendasar negara (penguasa) atas rakyatnya. Penguasa tidak boleh berlepas tangan dari penunaian kewajiban tersebut, sebab mereka akan dimintai pertanggungjawaban atas kewajiban ini di akhirat. Sesuai dengan sabda Rasul saw bahwa “Pemimpin adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus.” (HR al-Bukhari).
Jaminan kesehatan dalam Islam memiliki empat sifat. Pertama, universal, dalam arti tidak ada pengkelasan dan pembedaan dalam pemberian layanan kepada rakyat. Kedua, bebas biaya alias gratis. Rakyat tidak boleh dikenai pungutan biaya untuk mendapat pelayanan kesehatan. Ketiga, seluruh rakyat bisa mengaksesnya dengan mudah. Keempat, pelayanan mengikuti kebutuhan medis, bukan dibatasi oleh plafon.
Pemberian jaminan kesehatan seperti itu diberikan secara cuma-cuma pada masyarakat karena kebijakan ekonomi dan keuangan negara dalam Islam memungkinkan memperoleh pendapatan yang melimpah ruah. Termasuk dari kepemimpinan umum dan kekayaan alam maupun kepemilikan negara yang sepenuhnya dikelola secara mandiri oleh negara.
Mengungkap kesuksesan sistem Islam dalam pelayanan kesehatan publik, rahasianya ada di pelaksanaan hukum syariah yang dijadikan sebagai landasan sistem kehidupan.
Karena itu, kembali kepada Islam merupakan kunci solusi persoalan dan kebutuhan yang mendesak. Lebih dari pada itu, Islam adalah satu satunya yang dapat menjadi rahmat bagi seluruh alam tanpa melihat suku, agama dan ras.
“Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah seruan Allah dan Rasul, apabila Dia menyerumu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu” (Q S Al Anfaal ayat 24). Wallahu a’lam.[]
*Mahasiswi Fakultas Hukum, Universitas Bengkulu
Comment