Menyorot Pemuda dalam Dunia Pendidikan

Opini328 Views

 

Penulis : Hasriati, SPi, Statistisi Badan Pusat Statistik Kabupaten Konawe

__________

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Jika merujuk ke –UU No. 40 tahun 2009 yang mengkategorikan pemuda terdiri dari penduduk berusia 16-30 tahun, maka berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional 2021 (Badan Pusat Statistik), diperkirakan jumlah pemuda Indonesia mencapai hampir seperempat penduduk Indonesia, yaitu 23,90 persen atau sebesar 64,92 juta.

Dari jumlah yang cukup besar tersebut, tentu kondisi ini adalah aset bangsa. Oleh karenanya pemuda selain pelaku perubahan, perlu dipersiapkan memajukan peradaban. Salah dengan mendapatkan kesempatan edukasi yang luas, fasilitas memadai agar pemuda bisa mengembangkan potensinya.

Pemuda yang memiliki gairah, semangat juang tinggi. Kekuatan fisik dan kekuatan otak yang besar. Tentu akan menjadi modal besar bangsa untuk menjadi bangsa maju. Namun jika kualitas pemuda tidak unggul, maka akan menjadi sampah masyarakat.

Potret Pendidikan Pemuda

Kualitas pemuda dapat diukur, salah satunya dari capaian pendidikannya. Dari catatan Badan Pusat Statistik dalam Publikasi Statistik Pemuda 2021, bahwa setidaknya terdapat 3 dari 1.000 pemuda Indonesia yang masih buta huruf. Sekitar 1 dari empat pemuda tercatat sedang bersekolah.

Dari hasil Susenas 2021, pendidikan tertinggi pemuda didominasi oleh pemuda yang tamat SMA/sederajat yaitu sebesar 38,93 persen dan tamat SMP/sederajat sebesar 35,55 persen. Sementara itu, pemuda yang menamatkan pendidikan perguruan tinggi sebesar 10,61 persen.

Pada tahun 2021 terdapat 0,79 persen pemuda yang tidak/belum pernah sekolah, masih terdapat 0,79 persen pemuda yang tidak/belum pernah sekolah dan 71,71 persen pemuda tidak bersekolah lagi.

Berdasarkan kelompok umur, persentase pemuda 19-24 tahun yang masih bersekolah sebesar 26,01 persen, jauh di bawah persentase pemuda usia SMA/sederajat 16-18 tahun yang masih sekolah (73,09 persen).

Hal ini menunjukan bahwa partisipasi bersekolah pemuda usia 19-24 tahun yang merupakan usia kuliah masih relatif rendah. Sementara itu, pada kelompok pemuda 25-30 tahun, terdapat sekitar 94,09 persen yang tidak bersekolah lagi.

Di sisi lain, dari Angka Partisipasi Sekolah (APS) dapat diketahui sejauh mana daya serap jenjang pendidikan terhadap penduduk kelompok umur tertentu. Semakin tinggi nilai APS menunjukkan bahwa semakin tinggi partisipasi sekolah penduduk kelompok umur tertentu. Semakin bertambahnya umur pemuda, nilai APS semakin menurun. APS paling tinggi terdapat pada kelompok umur 16-18 tahun (73,09 persen), diikuti kelompok umur 19-24 tahun (26,01 persen), dan 25-30 tahun (4,81 persen).

Akses penduduk terhadap layanan pendidikan, yaitu dilihat dari Angka Partisipasi Sekolah pemuda sangat dipengaruhi oleh status ekonomi rumah tangga. Terlihat bahwa pemuda pada kelompok pengeluaran rumah tangga 20 persen teratas menunjukkan nilai APS yang paling tinggi (34,62 persen), sementara kelompok pengeluaran 40 persen menengah nilai APS 27,17 persen dan kelompok pengeluaran 40 persen terbawah nilai APS 23,53 persen.

Hal ini sangat terkait dengan biaya pendidikan yang relatif mahal. Dimana kelompok ekonomi rendah dan menengah kesulitan dalam memenuhi biaya pendidikan, terutama ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Betapa tidak, pembiayaan sejumlah PTN yang berformat BHMN (Badan Hukum Milik Negara), tak lagi sepenuhnya ditanggung negara. Maka perguruan tinggi BHMN pun harus mencari biaya sendiri.

Pembiayaan pendidikan lalu dibebankan kepada mahasiswa. Sebagai contoh, untuk masuk fakultas kedokteran sebuah PTN melalui “jalur khusus”, ada mahasiswa yang harus membayar Rp 250 juta bahkan Rp 1 miliar (www.wikimu.com).

Oleh karena itu, hal ini perlu menjadi perhatian dan menjadi PR bersama, dibutuhkan penyusunan ulang arah kebijakan dan strategi untuk mengatasi hal tersebut.

Pendidikan Tanggung Jawab Negara

Mahalnya biaya pendidikan tidak lepas dari kebijakan yang diadopsi dari ide neoliberalisme. Sebagai salah satu varian kapitalisme –seperti Keynesian yang mengutamakan intervensi pemerintah– neoliberalisme justru sebaliknya. Neoliberalisme merupakan bentuk baru liberalisme klasik dengan tema-tema pasar bebas, peran negara yang terbatas, dan individualisme (Adams, 2004).

Sayang sekali. Pemerintah yang semestinya bertindak sebagai pelayan, terlebih di tengah kesulitan hidup yang berat karena kemiskinan, seyogianya tidak tunduk pada agenda neoliberalisme global, karena agenda tersebut menjauhkan dari kesuksesan membangun kualitas pemuda.

Berkaca dari kebijakan pembiayaan pendidikan dalam Islam, seluruh jenjang pendidikan sepenuhnya merupakan tanggung jawab negara. Seluruh pembiayaan pendidikan, baik menyangkut gaji para guru/dosen, maupun menyangkut infrastruktur serta sarana dan prasarana pendidikan, sepenuhnya menjadi kewajiban negara. Ringkasnya, dalam Islam pendidikan disediakan secara gratis oleh negara diperoleh secara cuma-cuma sebagai hak rakyat atas negara (Usus Al-Ta’lim Al-Manhaji, hal. 12).

Sejarah Islam pun telah mencatat kebijakan kepemimpinan Islam, negara yang menyediakan pendidikan bebas pungutan bagi rakyatnya. Sepanjang kepemimpinan Islam, negara membangun berbagai perguruan tinggi dan berusaha melengkapinya dengan berbagai sarana dan prasarananya seperti perpustakaan. Setiap perguruan tinggi itu dilengkapi dengan “iwan” (auditorium), asrama mahasiswa, juga perumahan dosen dan ulama. Selain itu, perguruan tinggi tersebut juga dilengkapi taman rekreasi, kamar mandi, dapur, dan ruang makan (Khalid, 1994).

Di antara perguruan tinggi terpenting adalah Madrasah Nizhamiyah dan Madrasah Al-Mustanshiriyah di Baghdad, Madrasah Al-Nuriyah di Damaskus, serta Madrasah An-Nashiriyah di Kairo. Madrasah Mustanshiriyah didirikan oleh Imam Al-Mustanshir abad VI H dengan fasilitas yang lengkap. Selain memiliki auditorium dan perpustakaan, lembaga ini juga dilengkapi pemandian dan rumah sakit yang dokternya siap di tempat (Khalid, 1994).

Pada era Sultan Muhammad Al-Fatih (w. 1481 M) juga menyediakan pendidikan secara gratis. Di Konstantinopel (Istanbul) Sultan membangun delapan sekolah. Di sekolah-sekolah ini dibangun asrama siswa, lengkap dengan ruang tidur dan ruang makan. Sultan memberikan beasiswa bulanan untuk para siswa. Dibangun pula sebuah perpustakaan khusus yang dikelola oleh pustakawan yang cakap dan berilmu (Shalabi, 2004).

Meski pembiayaan pendidikan adalah tanggung jawab negara, rakyat dalam kepemimpinan Islam, khususnya mereka yang kaya, juga berinisiatif untuk berperan serta dalam pendidikan.

Melalui wakaf yang disyariatkan, sejarah mencatat banyak orang kaya yang membangun sekolah dan universitas. Hampir di setiap kota besar, seperti Damaskus, Baghdad, Kairo, Asfahan, dan lain-lain terdapat lembaga pendidikan dan perpustakaan yang berasal dari wakaf (Qahaf, 2005).

Demikianlah arah kebijakan pendidikan dalam Islam, setidaknya bisa menjadi cermin dalam menata ulang strategi pendidikan, sehingga pemuda yang ditelorkan, pemuda yang bisa membawa Indonesia maju. Wallahu’Alam.[]

Comment